Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bola Kristal Madam Citra

10 Januari 2022   07:58 Diperbarui: 10 Januari 2022   08:00 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Madam Citra jarang keluar, tetapi ketika dia keluar, sepatu hak tinggi tidak bisa ditawar lagi. Dia menyukai sepatunya yang hitam berkilau dan ujung runcing, sama seperti dia menyukai syalnya yang bertabur manik-manik di ujungnya, dan kukunya berwarna merah darah. Sempurna.

"Sayangku, kita harus pergi ke toko," katanya kepada pembantunya, Puan, hal pertama di pagi hari. Madam sedang dalam suasana hati yang buruk hari ini. Dia mengerang saat bergerak melintasi kios dan membungkus tubuhnya dengan kardigan.

"Kalau begitu, aku akan membeli lilin dan dupa," kata Puan tanpa menoleh.

Jawaban rutin. Setiap kali terjadi masalah kecil di kios peramal, lilin biasanya menjadi alasan atau bagian penting dari solusi. Tapi tidak hari ini.

Madam berhenti di dekat jendela kaca patri dan menghela napas, tangannya mengelus tenggorokannya, memainkan kalung garnet yang diikat dengan rantai perak. "Aku harus ikut. Aku harus."

Ketika dia yakin dia telah mendapatkan perhatian Puan, dia menambahkan, "Aku harus mendapatkan bola baru. Semalam aku bermimpi."

Puan menekan dadanya dengan telapak tangan. "Apa yang terjadi?"

"Apa yang akan terjadi, Sayang," kata Madam sungguh-sungguh. "Apa yang akan terjadi."

Menjelang tengah malam, bola kristal yang lama akan hancur. Seorang Madam tanpa bola kristal besar sama saja dengan tetangga sebelah yang memprediksi perubahan cuaca karena encoknya kumat. Dengan kata lain, seorang penipu.

Di bawah terik matahari, Madam mengenakan topi lebar dan kacamata mata kucing. Penampilan menunjukkan kepribadian yang harus disesuaikan setiap saat. Tanpa itu, manusia  merasa telanjang dan tidak sedap dipandang. Jadi, meski Madam membenci keramaian dan hiruk pikuk jalan-jalan yang dilapisi batu alam, dia mengenakan pakaian terbaiknya, lipstik Lancome Bordeaux yang mengisi lipatan bibirnya, dan ekspresi muram tapi baik hati yang dia kenakan dengan sangat baik. 

Beberapa manusia tidak punya estetika dalam apa yang mereka lakukan dan mengapa. Mereka telah memilih begitu banyak dalam hidup mereka, dan pada titik tertentu, semua pilihan baru menghilang. Ketika seseorang tahu persis bagaimana mereka akan berperilaku pada saat tertentu, apakah masa depan mereka sama merupakan misteri? Tidak, hanya takdir, pikir Madam.

Selain itu, dia benar-benar harus datang untuk membeli sendiri. Hanya orang yang tahu yang bisa memilih bola kristal yang bagus, dan Puan tidak memiliki kemampuan itu di dalam dirinya. Gadis itu hampir tidak memiliki bakat sama sekali. Dia bisa membaca petunjuk di bagian belakang tumpukan kartu Tarot, atau membuat kesimpulan secara acak pada saat berikutnya, tetapi hanya itu.

Gadis malang. Dalam bisnis ini, dia akan dimakan hidup-hidup.

Lonceng toko berdentang dan Madam berdiri di ambang pintu, melepas sarung tangannya, jari demi jari.

"Bola kristal. Tunjukkan pada saya yang paling kuat yang kalian punya," katanya kepada pemiliknya, tidak peduli dengan pelanggan lain yang berdiri malu-malu di pojok. "Berapa pun harganya."

"Tentu saja, Madam," kata pemilik toko. "Turut berdukacita untuk untuk bola kristal yang lama."

Dia memilih bola kristal terbesar dan termahal.  Kecantikan murni---terbuat dari selenite, berat, asap berputar-putar buram seperti susu dan janji-janji samar tentang apa yang mungkin terjadi. Puan harus membawa tiga tas bahu, masing-masing ditumpuk ke tas lainnya, untuk dapat membawanya kembali melintasi setengah kota ke kios Madam Citra: Peramal & Cenayang.

Pukul sepuluh empat puluh satu malam, Madam mengantar Puan keluar dari kios dan memberikan kecupan kering di pipinya, berterima kasih atas bantuannya. Puan akan mengalami malam yang luar biasa, seperti biasa, malam ini, dan Madam dengan senang hati memberitahunya.

Pukul sebelas tepat, Madam memeriksa semua pintu dan jendela kios dan menjerang air dalam ketel hingga mendidih.

Dia menyukai teh dengan susu yang banyak dan satu gula batu mungil. Rasanya bertahan lama di lidahnya, lama setelah dia duduk di kursinya untuk membaca novel yang dipilihnya karena dia punya firasat dia akan menyukainya. Dan memang, novelnya cukup bagus.

Maka ketika jam mulai berdentang dua belas kali, dan Madam menutup buku setelah menandai halamnnya, menunggu lonceng berbunyi. Dia sudah siap.

Bola kristal tua terletak di atas meja di sebelah kanannya. Madam menatapnya tanpa tersenyum.

Dia menghapus debu yang tidak terlihat dari kaki celananya dan berdeham, menunggu.

Jam berdentang tujuh dan kemudian delapan, lambat dan membosankan. Sebelum dentang kesepuluh, dia meletakkan jarinya yang terawat sempurna ke sisi bola dan mendorongnya sedikit.

Begitu saja sudah cukup. Bola kristal itu tergeletak di lantai, retak menjadi dua. Serpihan-serpihan kaca berserakan di bawah kakinya.

Madam memperhatikannya sejenak, lalu kembali ke bukunya. "Hmmm," gumam bibirnya.

"Seperti yang sudah diperkirakan. Persis seperti yang diharapkan," katanya ke udara hampa, seolah tidak yakin. Seolah membutuhkan penonton.

Terkadang dia merasa para arwah hadir menemaninya.

Lalu dia menyilangkan kakinya dan membalik halaman buku novel di tangannya.


Bandung, 10 Januari 2022

 

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun