Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Infeksi Mawar

5 Januari 2022   17:14 Diperbarui: 5 Januari 2022   17:26 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokter berkata bahwa air akan menyebabkan infeksi berkembang, dan dia mencoret-coret sesuatu di buku resep biru, yang dia berikan kepada ibuku. Aku harus minum dua pil sehari dan tetap kering. Ibuku melipat kertas resep dengan hati-hati, menyimpan di dompetnya, lalu memelukku dan berbisik bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa bunga itu tidak akan menumbuhkan akar.

Aku mengabaikan kata-katanya dan melenturkan buku jariku yang terikat perban.

Percik darahku menjadi amuba yang beringsut di tengah bantal, dan duri mawar yang diekstraksi tergeletak mati di antara pinset dokter.

Aku sangat bahagia ketika Tony menjejalkan bunga mawar ke tanganku.

Hari-hari berlalu dan perban mengering. Ujung-ujungnya bernoda kotoran hitam dan tetap saja ibuku tidak mengizinkanku mandi. Suatu pagi aku lupa menelan pil putihku, dan ketika aku menyendok sereal ke dalam mulut. Rasanya seperti mawar yang basah dan manis. Aku memungut keping sereal terakhir dari tepi mangkuk dengan jari, dan tidak memberi tahu ibu.

Tony menawarkan untuk mengantarku pulang dari sekolah saat aku sudah sehat kembali. Aku menjawab 'ya', berharap suaraku tidak bergetar karena gembira.

Tatapannya membuat tubuhku menggigil. Dia tersenyum lebar hingga matanya setengah terpejam, dan kami berjalan bersama saling bergandengan mengayunkan tangan. Aku tidak bertanya mengapa dia tidak pernah menelepon.

Di langit, awan kelabu tebal bergulung seperti kucing tidur, dan aku mengabaikannya sampai rintik hujan pertama menghantam trotoar.

Aku melesat ke bawah ceruk perpustakaan kota, dan Roger mengerutkan kening. Hujan mengguyur tempat parkir dan genangan air terbentuk di pelataran.

Tony meringkuk denganku sejenak, tapi kemudian dia melangkah keluar. Hujan membasahi kemejanya, gumpalan gel rambut mengalir ke dahinya. Dia memberi isyarat agar aku mengikutinya, menyeringai.

"Ayolah. Mandi gratis."

Aku tahu lukaku belum sembuh. Aku tahu hujan akan merembes di bawah perbanku, dan mungkin sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Tetapi aku tahu bahwa tangan Tony akan terasa hangat dan licin di antara jari-jariku. Dan jika aku berlari, aku tidak akan terminum tetesan air hujan.

Jadi aku berlari menyusul di belakang Tony, dan air memenuhi mata dan hidungku, menembus bajuku pakaianku bahkan sampai ke dalam. Aku basah dan lengket.

Guntur membahana. Alas kaki memercikkan cipratan air, dan kami memanjat kaki lampu tempat parkir dan berayun saat lampu itu berkedip. Petir tidak akan menyambar kami.

Tony menciumku dengan lembut di bibir, dan aku berbisik, "Terima kasih untuk mawarnya."

Sesampai di rumah, ibu membungkusku dengan handuk tebal dan menelepon dokter sambil mengerang. Aku menutup pintu kamarku.

Aku kering sekarang, dan untuk pertama kalinya setelah beberapa hari, aku merasa hidup.

Ketika infeksi akhirnya berkembang, hanyalah berupa tusukan duri di pergelangan tanganku. Kemudian duri itu tumbuh, dan aku menggigit bibir agar tidak menangis. Darah di lidahku terasa seperti madu.

Meski tidak berniat untuk menelepon Tony, tetapi tetap saja aku menekan nomornya. Dia menjawab pada dering keempat dan aku memberitahunya bahwa rasanya sangat menyakitkan, dan dia seharusnya bersamaku di sini, sekarang, selamanya.

Aku mendengar jarinya mengetuk, dan dia berkata, "Kita akan bersama saat kita harus bersama, sayang. Bagaimana jika kita bertemu di taman?"

Hening kemudian. Aku duduk dengan ponsel menempel di pipiku, ingin tahu apakah dia bisa mendengar rasa sakit yang bersiul dalam rongga mulutku.

Dia berbicara lagi. "Ayolah, bukankah itu sepadan? Ini adalah malam yang luar biasa."

Jari-jarinya terdengar mengetuk-ketuk, mengingatkanku pada deru hujan. Untuk pertama kalinya, aku menangis. Aku meredam suara di lengan bajuku. "Itu gila," kataku.

Dia berkata, "Akan terjadi badai malam ini, dan aku akan pergi ke sana."

"Dengan atau tanpaku?"

"Terserah," katanya.

Aku melirik tanganku. Duri itu membengkak di bawah kulitku seperti sirip hiu menembus dagingdan aku bisa merasakan kuncupnya terbentuk di sumsumku.

Aku tidak yakin kapan itu akan tumbuh besar, tapi aku tidak yakin bisa menunggunya sendirian.

Bandung, 5 Januari 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun