Hasto masih berada pada tahap depresi dari '5 Stage of Grief' (setidaknya dia cukup yakin bahwa itu adalah salah satu tahap).
Tidakkah Sonya tahu betapa pentingnya dia untuknya? Bahkan jika Sonya hanya melihatnya melalui jendela kamar yang buram. Dia menunggunya setiap pagi, yakin suatu waktu dia akan beruntung.
Sudah berapa kali mereka meninggalkan rumah masing-masing pada waktu yang bersamaan, masuk ke mobil masing-masing secara bersamaan, tidak mempunyai bayangan tentang apa yang sedang terjadi di kepala satu sama lain, tetapi berasumsi bahwa mereka berdua melakukannya.
Hasto tidak bisa tidak memikirkannya, bahkan sekarang. Wajahnya yang polos namun anggun dan selalu terlihat sangat serius. Tangannya yang berjari panjang dia bayangkan menekan tuts piano--kulit lembut menyentuh resin. Dia mengenakan rok panjang menyapu lantai dan membawa tas kamera kulit cokelat yang lapuk.
Sonya baru pindah ke rumah sebelah sekitar enam bulan lalu, tapi dia tahu---jangan tanya bagaimana dia tahu---bahwa Sonya memahaminya dengan cara yang tidak dilakukan orang lain. Seiring waktu, pemahaman itu mulai mendukungnya, mendefinisikannya. Diamnya wanita itu yang memberitahunya hal ini. Keheningan yang memeluknya, diam-diam menyetujui keberadaannya.
Ketika istrinya memenuhi udara dengan suara, Sonya memotongnya. Di sebelahnya, perilaku Fani yang sebelumnya dianggapnya sebagai wanita yang menawan dan positif, tiba-tiba berubah menjadi kasar dan vulgar, dan Hasto sendiri baru saja lahir kembali ke dalam gambaran kehidupan yang membuatnya lebih menjadi dirinya sendiri daripada sebelumnya. Menjadikan pengkhianatan itu semakin mengganggunya, membuatnya bingung dan marah karenanya. Hasto tidak pernah menyangka sebelumnya.
Pagi yang nahas itu dia tidak melihat Sonya, meski hanya bayangannya di balik tirai jendela.
Dia menghela napas, menuang kopi ke dalam tumbler plastik hitam yang persis sama dengan warna kopinya. Langit kelabu mengawang-awang di atasnya saat dia mengemudi di jalan raya pinggiran kota.Â
Perjalanan yang telah dia lakukan ribuan kali, sehingga hampir setiap dia tiba di tempat kerjanya, Hasto sepenuhnya melupakan semuanya. Dia memarkir mobilnya di tempat biasa di dekat tiang lampu, berhati-hati agar bumpernya tidak membentur trotoar. Menjatuhkan kuncinya di atas meja di bilik kubusnya dan menyalakan komputer.
Username-nya adalah HastFast, dan ini adalah karena kesalahan orang tuanya. Mereka menamainya Hastono Hartato, dan tidak terpikir oleh mereka pada saat semua orang akan memanggilnya Hasto Tato, memberinya rima pertama dan terakhir.
Dia tidak bisa menghilangkan rasa malu dalam versi analog hidupnya, dan ingatannya masih bisa menggali ejekan dan pantun jenaka dari anak-anak sebelas tahun. Tapi secara daring, dia bisa menjadi siapa saja.Â