Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Lelang Online

11 November 2021   18:52 Diperbarui: 14 November 2021   01:06 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang yang menggadaikan jiwanya. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Baru pukul sepuluh lewat sedikit ketika Joko duduk seperti biasa di dalam bus. Dia menatap bayangannya di jendela berkabut di sampingnya dan melihat seorang pria yang lelah dan kalah balas menatap.

Ya Tuhan, pikirnya, meratapi kendurnya kulit di bawah matanya dan banyaknya helai rambut putih yang menyela di janggutnya. Aku terlihat seperti berumur lima puluh tahun.

Dia sebenarnya berusia tiga puluh enam tahun dan dalam perjalanan pulang setelah bekerja shift panjang. Seharusnya hanya bekerja dari jam delapan sampai jam empat, tetapi salah satu pekerja paruh waktu menelepon sekitar tengah hari, mengatakan bahwa dia tidak bisa masuk karena sedang belajar untuk ujian perguruan tinggi.

Ketika Joko mencoba menjelaskan bahwa mereka membutuhkannya di toko, anak muda sialan itu menertawakannya.

"Silakan pecat aku," katanya sambil tertawa riang. "Aku tidak peduli."

Kemudian anak itu menutup telepon.

Joko sebenarnya tidak terlalu keberatan karena dia membutuhkan uang tambahan lembur itu sendiri. Apa yang mengganggunya adalah bahwa anak itu begitu acuh tak acuh tentang kehilangan pekerjaannya. Itu membuat Joko merasa iri. Dia merindukan masa kuliahnya, di mana dia tidak perlu peduli tentang pekerjaan paruh waktu juga.

Joko mengambil giliran kerja dan bertahan beberapa jam lagi mengenakan kemeja karyawan denimnya yang gatal dan lencana nama kuningan.

Dia dipekerjakan oleh ElectriCity, sebuah toko elektronik yang sibuk di mal terbesar di kota. Dia menjual baterai, kabel komputer, adaptor stereo, dan beberapa barang elektronik kelas atas seperti komputer tablet atau pemutar blu-ray. 

Upah per jamnya rendah, mendekati minimum, dan dulunya diisi dengan bonus penjualan. Kantor pusat perusahaan ElectriCity baru-baru ini memutuskan untuk menghapus semua komisi. Sekarang yang diperoleh Joko hanyalah upah per jamnya, yang hampir tidak cukup untuk menghidupi satu orang, apalagi keluarganya yang terdiri dari lima orang.

Aku benci hidupku, pikir Joko, mengulangi pada dirinya sendiri kalimat tiga kata yang dia ucapkan sekitar satu juta kali setiap hari. Seharusnya tidak seperti ini...

Tiga tahun lalu, hidupnya sangat berbeda. Dia adalah seorang analis dan pemrograman komputer yang bekerja di sebuah perusahaan perangkat lunak terkemuka. Dia mempunyai gaji delapan digit dan tinggal di rumah sederhana dengan tiga kamar tidur. Kemudian ekonomi menjadi kacau. 

Perusahaannya bangkrut, dan asetnya, yang dikembangkan oleh Joko, dibeli oleh salah satu raksasa perangkat lunak yang lebih besar. Itu terjadi begitu cepat, hanya dalam hitungan hari.

Tanpa tanda-tanda, Joko kehilangan pekerjaannya dan hampir tidak mungkin menemukan pekerjaan lain di bidangnya. Dia telah beralih dari prospek 'karyawan yang tak tergantikan' menjadi penjual gawai dan aksesori di mal. Alih-alih mengendarai Toyota Yaris-nya ke tempat kerja, ia harus naik angkutan umum. Dia tidak mampu membayar cicilan rumah sehingga harus pindah ke rusun yang suram di bagian kota yang murah dan kumuh.

Memikirkan seberapa jauh dia jatuh sering membuatnya emosional, dan sekarang dia merasakan pedih di matanya. Ini adalah bagian terburuk dari rutinitas hariannya.

Di tempat kerja, dia bisa tetap sibuk dan menyingkirkan kesengsaraannya. Di rumah, jeritan anak-anaknya yang terus-menerus menenggelamkan pikiran hitam apa pun yang ada di kepalanya. Tapi perjalanan pulang dengan bus yang tenang, sambil duduk dalam celana jins murah, benar-benar menyakitkan.

Joko sangat ingin berteriak, mengamuk, mengutuk, dan memukul sesuatu, tetapi dia tidak ingin membuat keributan. Dia hanya menggertakkan gigi kuat-kuat dan menunggu dengan sabar sampai bus berhenti di tempat tujuan.

***

Turun dari bus dan masuk ke lingkungannya, sebuah kompleks rusunawa yang terbengkalai di pinggiran kota, Joko disergap oleh aroma pedas yang kuat. Tetangganya kebanyakan pendatang yang membuka jendela saat memasak hidangan asli mereka dan aroma rempah-rempah yang menyengat menghantam liang hidungnya, memperparah sakit kepalanya yang semakin berdenyut. Namun demikian, dia terus berjalan dengan susah payah di sepanjang trotoar yang retak sambil mengalihkan pandangannya dari grafiti penis yang digores kasar di dinding bangunan.

Dia bisa mendengar pertengkaran sengit dari pasangan asal Sumatera dari suatu tempat di kompleks serta suara serak musik metal berbahasa Sunda. Semuanya merupakan serangan terhadap indranya. Dia mempercepat langkahnya, hampir berlari mendaki tangga menuju pintu unit kontrakannya.

Istrinya sudah menunggunya saat Joko melangkah masuk. Dua balita masing-masing bergayut di lengannya dan seorang bocah tiga tahun menarik-narik dasternya. Seharusnya ada seorang anak lagi, berusia lima tahun, di suatu tempat di dalam rumah itu, tetapi Joko tidak melihatnya.

"Hei," kata istrinya, terdengar lelah, seolah-olah sedang mengumpulkan energi untuk menyambutnya. "PAM belum dibayar. Token listrik sebentar lagi habis. Dari Grapari ada pemberitahuan tunggakan. TV kabel juga mati."

"Semua hari ini?" tanya Joko. Dia bahkan belum sempat menggantung kunci rumahnya di rak kecil di dinding. "Semua sekaligus?"

"Kamu ingat ini tanggal berapa?"

Joko mengangguk, tiba-tiba teringat paket telepon seluler dan televisi kabel dia ambil dengan diskon premium melalui tunjangan karyawan ElectriCity. Tapi perusahaan baru-baru ini membatalkan tunjangan. Semua layanan itu tidak terjangkau lagi dengan penghasilannya yang sekarang.

"Aku akan mengurusnya," katanya, meski tidak tahu bagaimana caranya. "Bagaimana dengan internet?"

"Kami masih memilikinya," jawab istrinya. "Apakah kamu lapar?"

"Ya."

"Aku akan menyiapkan makan malam."

Joko melihat istrinya melangkah ke dapur kecil di belakang ruang depan sambil dua bayi, sementara anak berusia tiga tahun mengikutinya. Anak-anak tak dekat dengannya, tetapi dia tidak keberatan. Dia benar-benar tidak memiliki kekuatan untuk menjadi ayah yang penuh perhatian saat ini.

Menunggu makan malamnya, Joko memperhatikan istrinya saat dia menggendong anak-anak kecil yang merengek di lengannya sambil mencoba menenangkan anak berusia tiga tahun yang merintih di kakinya. Joko mencintainya, tetapi bisa merasakan cinta istrinya semakin jauh.

Sebelumnya, ketika dia sukses, istrinya biasa menyambutnya di pintu dengan ciuman penuh gairah. Ketika anak-anak lahir, berganti ke belaian lembut namun bermakna di bibir. Tetapi ketika Joko kehilangan pekerjaan sebagai sistem analis dan mereka harus pindah ke rusun yang kumuh, yang dia dapatkan hanyalah kecupan di pipi. 

Saat ini, dia bahkan tidak mendapatkannya lagi. Istrinya sepertinya tidak suka menunjukkan kasih sayang kepada pria yang dinikahinya, pecundang yang memaksa dia dan bayinya hidup dalam kemelaratan.

Sementara dia makan nasi goreng dengan telur dadar, Joko mendengarkan dengan penuh minat istrinya mengoceh tentang harinya dan berbagai kebutuhan anak-anak. Popok, bahan makanan, perlengkapan mandi, dan pakaian sekolah untuk anak berusia lima tahun yang akan masuk ke taman kanak-kanak dan kini muncul di ruang depan, mewarnai gambar di lantai. Joko mengangguk dan mendengus sepanjang percakapan dan bertanya-tanya untuk kesekian kalinya mengapa dia harus memiliki empat anak.

Putranya, yang tertua, dianggap sebagai "kecelakaan yang menyenangkan," kehamilan yang tidak direncanakan ketika mereka baru menikah. Namun Joko telah menghasilkan cukup uang untuk membuat semuanya berjalan lancar. Gadis kecilnya lahir dua tahun kemudian. Seorang anak yang direncanakan, karena dia dan istrinya menginginkan sepasang anak laki-laki dan perempuan. Kemudian istrinya hamil lagi beberapa bulan setelah dia kehilangan pekerjaannya. Kali ini sepasang bayi kembar.

Bagaimana aku bisa membiarkan ini terjadi? pikir Joko. Bagaimana aku bisa begitu bodoh memiliki keluarga sebesar ini yang tidak dapat aku nafkahi?

Joko merasakan matanya basah dan minta diri untuk pergi ke kamar mandi. Dia memberi tahu istrinya bahwa perutnya melilit sepanjang hari, yang cukup untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Begitu dia mengunci pintu dan merasa aman, dia duduk di toilet dan menangis terisak-isak.

***

Keesokan harinya, Joko kembali ke ElectriCity. Sif pagi yang tenang dan sebelum dia menyadarinya, sampai sudah waktu istirahat makan siang.

Dia berjalan ke food court untuk makan, tetapi tidak mampu membeli yang ada dalam menu dari berbagai kios makanan. Dia menemukan satu-satunya meja kosong dan menggigit sandwich selai stroberi yang dibuat istrinya untuknya. Rotinya kasar dan sedikit berjamur, tapi Joko tetap menelannya. Dia tidak punya pilihan. Hanya itu yang harus dia makan.

"Jok!" suara rekan kerjanya Luhut menggelegar dan duduk di kursi di seberangnya.

Luhut berusia akhir dua puluhan, salah satu bajingan yang tampan. Dia memiliki rambut ikal, bahu lebar dan tampak seperti pemain sinetron stripping. Pria yang menawan dan sering menunjuk pelanggan wanita muda yang ingin dia layani saat keduanya berdiri bersama di lantai penjualan ElectriCity. Kemudian Luhut akan berjalan ke gadis itu dan dengan mudah mendapatkan nomor teleponnya yang tercetak di struk pembelian. Tapi Luhut tak pernah sombong tentang kelebihannya itu. Joko menyukainya.

Joko mengangguk dan melirik nampan makanan Luhut. Sushi. Kesukaan Joko.

Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia makan sushi. Dulu adalah makan siangnya yang biasa di pekerjaan lamanya. Dia melihat jam tangan mahal di pergelangan tangan Luhut.

"Pantas, enggak?" tanya Luhut, menarik lengan bajunya dan memamerkan arloji platinum bertatahkan berlian.

"Ya," jawab Joko bersusah payah untuk terdengar acuh tak acuh. Dia melirik ke bawah dan melihat sepasang sepatu bot kulit Italia yang bergaya di kaki Luhut. Saat dia mendongak, dia melihat Luhut sedang tersenyum padanya.

"Aku tahu apa yang kau pikir," katanya, giginya yang putih sempurna berkilau. "Bagaimana bisa aku membeli semua ini padahal aku juga karyawan di Electrishit sama dengan kau, kan?"

Joko kaget. Persis seperti yang dia pikirkan. Namun dia tidak mengatakan apa-apa dan menunggu Luhut melanjutkan.

"Aku baru saja dapat banyak uang, Bro," kata Luhut. "Mau aku kasih tahu caranya?"

"Silakan," kata Joko datar. Meski rasa penasarannya sudah mencapai puncak ubun-ubun, tidak dia tak ingin terlihat terlalu bersemangat untuk mendengar cerita Luhut.

"Kau pernah mendengar tentang lelang online?"

"Tentu."

"Aku sudah menemukan yang lebih baik daripada eBay atau yang lain di luar sana. Tidak banyak orang yang mengetahuinya, tetapi kau bisa dapat duit yang jauh dari sedikit, kawan."

Joko ingin mencebikkan bibirnya tetapi menahan diri. Dia bersiap untuk mendengar penipuan internet bagaimana cepat kaya dan bodoh.

"Oke," katanya dengan nada bosan. "Lelang online. Apa yang kamu jual?"

"Sepotong diriku," jawab Luhut, dengan lihai menjepit sushi dengan sumpitnya dan menjatuhkannya ke mulutnya.

Joko mengangkat alis saat melihat rekan kerjanya mengunyah, membuat Luhut tertawa terbahak-bahak.

"Bukan, bukan organ tubuhmu atau apa pun," dia tersenyum. "Berpikirlah sedikit lebih spiritual." Luhut berhenti, tampaknya untuk menambah efek dramatis. "Jiwamu."

Sekarang giliran Joko yang tertawa, yang terasa menyenangkan. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia tertawa terbahak-bahak. Luhut telah menghiburnya, tetapi dia segera menyadari bahwa Luhut tidak ikut tertawa.

"Kamu serius?" Joko bertanya, sekarang merasa sedikit gugup.

"Seratus rius, Bro."

Joko menatap kosong ke arah Luhut dan kemudian menjatuhkan pandangannya ke meja. Kepalanya dipenuhi pertanyaan lanjutan, tetapi dia tetap diam dan mendengarkan ocehan para pengunjung food court lainnya.

"Berapa banyak uang yang bisa kamu dapat dari satu jiwa?" dia akhirnya bertanya.

"Tergantung jiwanya," jawab Luhut tanpa basa-basi. "Bisa banyak. Atau mungkin tidak sama sekali."

"Oke. Tapi siapa sebenarnya yang membeli jiwa?"

"Orang-orang bodoh yang percaya bahwa kau dapat membelinya. Apakah kau percaya pada jiwa?"

"Aku tidak tahu."

"Tak masalah. Aku tidak percaya pada Tuhan dan tidak memiliki agama atau apa pun, jadi aku tidak peduli ketika menjual milikku. Aku lebih suka uangnya, Bro."

Joko memperhatikan saat Luhut menggoyangkan tangannya, permata berkilauan di depan matanya.

"Bisakah kamu memberiku alamat web itu?" dia bertanya.

***

Jam kerjanya selesai. Joko terlambat menutup toko dan ketinggalan bus juga.

Tetapi alih-alih menunggu bus yang berikutnya, dia memutuskan untuk berjalan kaki pulang. Waktu tempuh lebih dari dua kali lipat biasanya. Malam itu cuaca cerah, untungnya, dan jalan-jalan yang menyenangkan membuat pikirannya berkeliaran.

Dia memikirkan ide Luhut untuk sementara waktu, tetapi mengusirnya keluar dari kepalanya, menganggapnya bodoh.

Ketika tiba di rumah, dia berharap istrinya menunggunya bersama anak-anak. Tapi tempat tinggalnya gelap dan dia menemukan catatan yang ditulis dengan tergesa-gesa di pintu kulkas. 'NGANTUK, TIDUR,' tanpa emoji senyum seperti yang biasa ditinggalkan istrinya ketika dia lembur di pekerjaan lamanya.

Joko tidak keberatan. Dia memasak mi instan dan duduk di depan laptopnya.

Laptop itu sudah tua dan butuh waktu lama untuk menyala, satu lagi yang mengingatkannya tentang kegagalannya menghidupi dirinya dan keluarganya.

Ketika layar laptop akhirnya menampilkan tampilan muka, dia memeriksa surelnya. Mencari lowongan pekerjaan baru, berselancar tanpa tujuan selama sekitar satu jam berikutnya.

Dia mencari skor liga sepak bola, ulasan film dan membuka situs porno.

Lalu dia mengeluarkan secarik kertas yang diberikan Luhut padanya saat makan siang. Keingintahuannya akhirnya menguasai dirinya.

Joko memindahkan kursor laptop ke bilah alamat dan menahannya selama beberapa detik, merenungkan apakah dia harus melakukannya atau tidak. Setelah mengumpulkan cukup keberanian, Joko akhirnya mengetikkan URL, lalu menekan 'Enter'.

Halaman beranda yang tampak profesional muncul, tak berbeda dengan situs lelang online lainnya. Joko adalah seorang ahli komputer dan dapat membedakan situs palsu dengan situs yang resmi. Dia menghabiskan setengah jam berikutnya mencoba mengautentikasi situs web. Dia memeriksa lelang saat ini serta laman FAQ. Semuanya tampak sah. Seorang pengguna dapat menempatkan jiwa untuk dilelang dan berbagai pihak terverifikasi dapat menawarnya.

Penawar yang menang akan memasukkan pembayaran ke rekening PayPal, dan jika sewaktu-waktu penjual ingin membatalkan penjualannya selama proses, mereka dapat melakukannya. Hak istimewa ini berakhir dengan masa penawaran. Semua penjualan adalah final.

Joko membuka Google untuk mencari ulasan buruk dari pembeli atau penjual sebelumnya. Anehnya, tidak ada. Faktanya, sebagian besar pengguna tidak memiliki apa-apa selain pujian bintang lima untuk situs lelang. Tentu saja, dia tahu pemilik situs bisa saja menanamkan komentar, yang merupakan praktik umum oleh pemilik situs yang pintar.

Ketika dia merasa nyaman dengan legitimasi situs tersebut, Joko menatap layar, sampai akhirnya dia mengangkat tangannya ke udara.

"Oh, terserah," katanya.

Memainkan jemarinya di keyboard yang sudah usang, dia dengan cepat membuat profil penjual dan menyerahkan jiwanya untuk dilelang, kemudian bersandar dan menunggu.

Kalau ada yang menawar, pikirnya, bagus untuk dijadikan lelucon...

Sepuluh menit pertama, tidak ada yang terjadi. Joko memuat ulang halaman setiap dua puluh detik atau lebih, tetapi tidak ada tawaran yang masuk. Dia menjadi gelisah dan hampir mencabut penawarannya dan pergi tidur. Bagaimanapun, dia harus bangun pagi untuk shiftnya di ElectriCity keesokan paginya. Dan kemudian tawaran mulai masuk.

Dimulai dengan harga rendah. Seratus ribu, dua ratus ribu, lima ratus ribu. Kemudian naik mendadak. Lima juta. Sepuluh juta. Seratus juta. Jumlahnya terus bertambah dan bertambah.

Tidak bisa mempercayai matanya, dia memeriksa untuk melihat siapa yang menawar.

Duel online antara dua penawar anonim yang saling berhadapan. Tawaran dibuat dan dibalas. Beberapa digandakan, bahkan lipat tiga. Dan akhirnya berhenti pada angka yang tidak diperkirakan Joko sama sekali. Sembilan belas miliar.

Joko melirik sisa waktu lelang. Dalam tujuh menit dia akan menjadi miliarder. Miliarder!

Dia mulai memikirkan kehidupan indah yang bisa diberikan oleh kekayaan barunya. Dia bisa pindah dari rusunawa yang menjijikkan ini, membeli mobil baru dan berkeliling dunia dengan penuh gaya. Dia bisa melakukan hal-hal yang selalu dia inginkan tetapi tidak pernah memiliki kesempatan. Dia juga akan membawa serta keluarganya. Atau sendirian?

Joko merenungkan keadaannya yang berubah. Dia bisa dengan mudah menceraikan istrinya. Dia tahu istrinya menginginkan itu. Dengan uang yang dimilikinya, dia akan menanggung biaya anak-anak mereka. Yang terbaik dari semuanya.

Dia sendiri akan bebas.

Joko tersadar dari lamunannya dan melihat kembali ke layar laptop. Tawaran telah berhenti dan jam lelang terus berjalan. Itu turun ke enam puluh detik terakhir. Tapi tiba-tiba, Joko merasa kedinginan.

"Ini jiwaku," bisiknya. "Apakah benar-benar bernilai sembilan belas miliar?"

Dia menggelengkan kepalanya dan matanya dengan cepat mencari tab "BATALKAN LELANG", lalu menggerakkan kursor dan jarinya bersiap-siap untuk mengkliknya.

Listrik mendadak padam.

"Tidak!" Joko berteriak, melompat dari meja dan menatap layar laptop yang gelap. Benda antik sialan itu hanya berfungsi saat dicolokkan ke stop kontak.

Apa yang terjadi? Aku membayar tagihan listrik, kan? Atau jangan-jangan---

Ketukan di pintu menginterupsinya, tetapi Joko mengabaikannya. Dia tidak ingin berurusan dengan tetangganya yang sok tahu. Ketukan itu berlanjut.

Dia membuka pintu dan bersiap untuk berteriak pada siapa pun yang ada di baliknya. Yang mengejutkannya, ternyata Luhut yang berdiri di depan pintu.

"Hei, Bro!" sapa rekan kerjanya dengan seringai lebar yang biasa.

"Luhut? Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Aku merasa agak tak enak di food court tadi. Boleh aku masuk?"

"Tentu, tentu."

Joko membawa Luhut ke ruang tamunya yang sempit. Sebenarnya hanya sebuah sofa di depan televisi bekas yang dibelinya tahun lalu. Dia juga meletakkan jarinya di bibirnya dan menunjuk ke dua kamar di lorong dengan pintu tertutup.

"Maaf di sini gelap, tapi aku punya masalah," kata Joko buru-buru. "Aku tidak bisa menahan diri dan ikut pelelangan dan itu berjalan lancar, tapi kemudian---"

"Tidak apa-apa, Bro," kata Luhut dengan suara tenang. Dia tersenyum tetapi matanya tampak berbeda. Tiba-tiba, Joko merasakan perutnya nyeri bagai ditusuk-tusuk. Lututnya lemas, tetapi sebuah tangan menangkapnya sebelum dia jatuh ke lantai.

"Hut," katanya. Kepalanya berdenyut-denyut. "Bagaimana kamu tahu di mana aku tinggal?"

"Jangan khawatir, Bro," jawab Luhut dengan nada lembut. "Dan jangan khawatir tentang keluargamu. Mereka akan mendapatkan semuanya."

Jari-jarinya yang besar merogoh ke dalam mulut Joko.

"Tapi sekarang, kau dan aku punya transaksi yang harus diselesaikan."

wallpaperflare.com
wallpaperflare.com

Bandung, 11 November 2021

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun