"Orang-orang bodoh yang percaya bahwa kau dapat membelinya. Apakah kau percaya pada jiwa?"
"Aku tidak tahu."
"Tak masalah. Aku tidak percaya pada Tuhan dan tidak memiliki agama atau apa pun, jadi aku tidak peduli ketika menjual milikku. Aku lebih suka uangnya, Bro."
Joko memperhatikan saat Luhut menggoyangkan tangannya, permata berkilauan di depan matanya.
"Bisakah kamu memberiku alamat web itu?" dia bertanya.
***
Jam kerjanya selesai. Joko terlambat menutup toko dan ketinggalan bus juga.
Tetapi alih-alih menunggu bus yang berikutnya, dia memutuskan untuk berjalan kaki pulang. Waktu tempuh lebih dari dua kali lipat biasanya. Malam itu cuaca cerah, untungnya, dan jalan-jalan yang menyenangkan membuat pikirannya berkeliaran.
Dia memikirkan ide Luhut untuk sementara waktu, tetapi mengusirnya keluar dari kepalanya, menganggapnya bodoh.
Ketika tiba di rumah, dia berharap istrinya menunggunya bersama anak-anak. Tapi tempat tinggalnya gelap dan dia menemukan catatan yang ditulis dengan tergesa-gesa di pintu kulkas. 'NGANTUK, TIDUR,' tanpa emoji senyum seperti yang biasa ditinggalkan istrinya ketika dia lembur di pekerjaan lamanya.
Joko tidak keberatan. Dia memasak mi instan dan duduk di depan laptopnya.