"Oke," katanya dengan nada bosan. "Lelang online. Apa yang kamu jual?"
"Sepotong diriku," jawab Luhut, dengan lihai menjepit sushi dengan sumpitnya dan menjatuhkannya ke mulutnya.
Joko mengangkat alis saat melihat rekan kerjanya mengunyah, membuat Luhut tertawa terbahak-bahak.
"Bukan, bukan organ tubuhmu atau apa pun," dia tersenyum. "Berpikirlah sedikit lebih spiritual." Luhut berhenti, tampaknya untuk menambah efek dramatis. "Jiwamu."
Sekarang giliran Joko yang tertawa, yang terasa menyenangkan. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia tertawa terbahak-bahak. Luhut telah menghiburnya, tetapi dia segera menyadari bahwa Luhut tidak ikut tertawa.
"Kamu serius?" Joko bertanya, sekarang merasa sedikit gugup.
"Seratus rius, Bro."
Joko menatap kosong ke arah Luhut dan kemudian menjatuhkan pandangannya ke meja. Kepalanya dipenuhi pertanyaan lanjutan, tetapi dia tetap diam dan mendengarkan ocehan para pengunjung food court lainnya.
"Berapa banyak uang yang bisa kamu dapat dari satu jiwa?" dia akhirnya bertanya.
"Tergantung jiwanya," jawab Luhut tanpa basa-basi. "Bisa banyak. Atau mungkin tidak sama sekali."
"Oke. Tapi siapa sebenarnya yang membeli jiwa?"