Dari kecil aku mendambakan tinggal di tepi pantai.
Jadi aku datang ke sini (yah, dulu sekali) dan membuka kedai kopi kecil ini. Dan seperti yang kubilang ke orang-orang termasuk kamu, aku melihat banyak hal gila di sini selama dua puluh tahun.
Beberapa di antaranya, aku tidak akan pernah lupa (ada juga beberapa yang pasti ingin kulupakan) dan sekali lagi, itu membuat kubahagia melakukan hal-hal seperti yang aku lakukan.
Seperti sepasang manusia di sana di sudut dekat toilet. Mereka tidak setua aku, tetapi mereka juga bukan remaja lagi. Pengamen, keduanya.
Yang pria bernama Tisna. Pasangannya Kokom (mereka memanggilnya Isye). Dia berasal dari sekitar sini. Nama Isye didapatnya di jalan.
Dulu sangat cantik, sangat populer. Pecundang sejati juga, jika menyangkut pria. Hanya memiliki bakat untuk menemukan pria yang akan memperlakukannya seperti sampah. Sangat berbakat. Sudah diterima di sebuah sekolah musik di Bandung, belajar menjadi pemain piano klasik.
Kemudian dia bertemu seorang pria (bukan yang sedang bersamanya kini) hanya seorang pria.
Ibunya (ibu yang baik, bekerja paruh waktu di kedai kopiku setelah shift kerjanya di pabrik pengepakan makanan) menyebut pria itu sebagai "pengalih perhatian."
Nah, suatu malam Isye ada di sini. Aku bisa mengingatnya seperti baru kemarin. Terjadinya dalam bulan ketika nelayan menarik perahu mereka dari air ke darat.
Isye baru saja mengalami sederet kekalahan dengan salah satu pengalih perhatiannya. Saat itu musim yang buruk bagi para nelayan penangkap udang. Mereka juga merasakan sederet kekalahan mereka sendiri.
Suasana kedai kopi tenang. Mereka tidak memainkan apa pun di jukebox (hei, kedai kopi kecilku juga untuk wisatawan!) bahkan lagu-lagu lambat.
Jadi, pria ini, Tisna (pria yang bersama dengannya), masuk melalui pintu. Dia berdiri di sana, mengedarkan pandangannya ke setiap sudut. Dan kamu dapat mengatakan bahwa dia tidak berpikir ini adalah tempat yang terlalu rendah untuknya. Dia membawa ransel salah satu perguruan tinggi ternama yang disampirkan di satu bahu, dan di bahu yang lain, tali lebar besar yang dihubungkan ke kotak gitar, disatukan dengan benang dan pita tua.
Dia datang ke meja barista (aku berada di situ) dengan sopan (umumnya pengamen sopan era itu) dan bertanya, bisakah aku membayarnya untuk memainkan beberapa lagu.
Aku langsung tahu dia pria yang sangat lembut, dan sangat ingin membantunya, tapi ini baru tahun keduaku di tempat itu, dan tahun buruk yang dialami para nelayan juga akan mengacaukan neraca keuanganku.
Tapi aku memberinya secangkir kopi dan setangkup sandwich keju bakar. Dan uang receh.
Dia meminumnya sampai habis, mengucapkan terima kasih, dan berjalan ke pintu. Aku memanggilnya dan berkata jika dia mau, dia bisa bermain dan membalikkan topinya di atas meja di sampingnya. Tetapi kukatakan juga untuk terlalu berharap topinya akan terisi karena ekonomi sedang sulit.
Nah, inilah saat yang tidak akan pernah kulupakan.
Isye di sana dengan kepala tertunduk di lengannya yang terlipat, seperti anak kecil yang sedang beristirahat. Itulah cara dia menyembunyikan wajahnya, menyuruh semua orang untuk menjauh. Pengamen ini, berjarak beberapa meja darinya, tapi aku yakin dia memperhatikan Isye.
Dan dia (Tisna) mulai memainkan sebuah lagu yang sepertinya berasal dari tempo dulu. Dia memainkannya lebih lambat dari aslinya. Dan, kukatakan padamu, dia adalah pemain gitar yang bagus.
Bukan musik yang membuat orang berbalik di kursi mereka dan menonton, Tapi kamu bisa melihat pendengar menjadi lebih santai, memesan lebih banyak minuman, berbicara sedikit dengan sangat pelan.
Aku benar-benar mengamatinya. Lagu itu membuat jari-jarinya bergerak daripada sebaliknya.
Pengamen itu duduk di sana dalam dunianya sendiri, dan seolah-olah musik itu mengalir melalui dirinya. Dan tidak lama kemudian musik yang mengalir dengan mudah itu mulai menggerakkan Isye juga. Dia memutar kepalanya ke samping dan melihat, bukan ke drifter, tapi ke piano (seperti kubilang, kedai kopiku juga untuk wisatawan).
Isye bangkit dan berjalan ke piano seperti itu adalah satu-satunya hal yang wajar untuk dilakukannya.
Dia tidak mabuk atau kesurupan. Tapi, sepertinya itu satu-satunya hal di dunia yang diharapkan siapa pun darinya.
Pertama, dia hanya memainkan satu nada dan membiarkannya berdengung lama. Dan itu sangat cocok karena lagu si pengamen menari naik turun di atas satu nada itu. Dan saat nada mulai bergeser sedikit, Isye memainkan nada yang berbeda, dan hal yang sama terjadi lagi. Pada waktunya, dia harus memainkan nadanya lebih dekat dan lebih dekat, dan segera itu menjadi duet.
Padahal lagu yang dimainkan bukanlah lagu yang pernah kudengar, dan aku yakin Isye juga tidak.
Kamu tahu? Mereka memainkan satu lagu itu tanpa melihat satu sama lain selama empat puluh menit. Tetapi ketika mereka selesai, mereka saling memandang (sama seperti mereka saling memandang sekarang) seperti dua pengamen yang tidak takut lagi karena mereka saling memiliki. Membuatku merinding untuk mengingatnya.
Tuhan, aku merasa dibuai oleh gelombang!
Bandung, 22 Agustus 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H