Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 19: Tuhan, Aku Merasa Dibuai Gelombang!

22 Agustus 2021   09:26 Diperbarui: 22 Agustus 2021   19:16 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
londonpianoinstitute.co.uk

Dari kecil aku mendambakan tinggal di tepi pantai.

Jadi aku datang ke sini (yah, dulu sekali) dan membuka kedai kopi kecil ini. Dan seperti yang kubilang ke orang-orang termasuk kamu, aku melihat banyak hal gila di sini selama dua puluh tahun.

Beberapa di antaranya, aku tidak akan pernah lupa (ada juga beberapa yang pasti ingin kulupakan) dan sekali lagi, itu membuat kubahagia melakukan hal-hal seperti yang aku lakukan.

Seperti sepasang manusia di sana di sudut dekat toilet. Mereka tidak setua aku, tetapi mereka juga bukan remaja lagi. Pengamen, keduanya.

Yang pria bernama Tisna. Pasangannya Kokom (mereka memanggilnya Isye). Dia berasal dari sekitar sini. Nama Isye didapatnya di jalan.

Dulu sangat cantik, sangat populer. Pecundang sejati juga, jika menyangkut pria. Hanya memiliki bakat untuk menemukan pria yang akan memperlakukannya seperti sampah. Sangat berbakat. Sudah diterima di sebuah sekolah musik di Bandung, belajar menjadi pemain piano klasik.

Kemudian dia bertemu seorang pria (bukan yang sedang bersamanya kini) hanya seorang pria.

Ibunya (ibu yang baik, bekerja paruh waktu di kedai kopiku setelah shift kerjanya di pabrik pengepakan makanan) menyebut pria itu sebagai "pengalih perhatian."

Nah, suatu malam Isye ada di sini. Aku bisa mengingatnya seperti baru kemarin. Terjadinya dalam bulan ketika nelayan menarik perahu mereka dari air ke darat.

Isye baru saja mengalami sederet kekalahan dengan salah satu pengalih perhatiannya. Saat itu musim yang buruk bagi para nelayan penangkap udang. Mereka juga merasakan sederet kekalahan mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun