Pengamen itu duduk di sana dalam dunianya sendiri, dan seolah-olah musik itu mengalir melalui dirinya. Dan tidak lama kemudian musik yang mengalir dengan mudah itu mulai menggerakkan Isye juga. Dia memutar kepalanya ke samping dan melihat, bukan ke drifter, tapi ke piano (seperti kubilang, kedai kopiku juga untuk wisatawan).
Isye bangkit dan berjalan ke piano seperti itu adalah satu-satunya hal yang wajar untuk dilakukannya.
Dia tidak mabuk atau kesurupan. Tapi, sepertinya itu satu-satunya hal di dunia yang diharapkan siapa pun darinya.
Pertama, dia hanya memainkan satu nada dan membiarkannya berdengung lama. Dan itu sangat cocok karena lagu si pengamen menari naik turun di atas satu nada itu. Dan saat nada mulai bergeser sedikit, Isye memainkan nada yang berbeda, dan hal yang sama terjadi lagi. Pada waktunya, dia harus memainkan nadanya lebih dekat dan lebih dekat, dan segera itu menjadi duet.
Padahal lagu yang dimainkan bukanlah lagu yang pernah kudengar, dan aku yakin Isye juga tidak.
Kamu tahu? Mereka memainkan satu lagu itu tanpa melihat satu sama lain selama empat puluh menit. Tetapi ketika mereka selesai, mereka saling memandang (sama seperti mereka saling memandang sekarang) seperti dua pengamen yang tidak takut lagi karena mereka saling memiliki. Membuatku merinding untuk mengingatnya.
Tuhan, aku merasa dibuai oleh gelombang!
Bandung, 22 Agustus 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H