Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tebak-Tebakan

9 Agustus 2021   21:34 Diperbarui: 10 Agustus 2021   06:07 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau kamu bisa menebak apa isi kantongku, Kakek akan memberikannya untukmu."

Aku melihat ke dalam mata Kakek yang berwarna hijau tua dan bunga jagung, saat dia duduk di seberang meja. Hari ini tampak jelas seolah-olah dia tahu di mana dia dan siapa aku.

"Baiklah, Kek. Kakek tahu aku suka main tebak-tebakan. Berapa kali aku boleh bertanya sebelum menjawab?"

Wajah lebar Kakek menyunggingkan senyum yang meluluhkan hati.

"Ya, harus ada tantangan. Yang pasti kamu suka, jadi Kakek ingin membuat kamu berusaha untuk itu. Bagaimana kalau sepuluh pertanyaan?" jawab Kakek. Suaranya dalam dan serak, dan menggelegar. Ketika kecil, berhasil membuatku takut, sampai aku menyadari bahwa Kakek menggonggong dan tidak menggigit. Bahkan Kakek sangat baik, hatinya selembut arum manis.

"Baik. Pertanyaan pertama: Apakah itu terbuat dari kertas?"

Dia meraba-raba saku baju terusan usangnya, sebelum menjawab, "Tidak."

Aku berpura-pura memikirkan pertanyaan berikutnya, sambil menatapnya. Kakek masih mengesankan dengan tubuh sebesar beruang. Rambutnya sudah menipis dan putih, tapi seperti biasanya dicukur pendek dan kasar.

Begitu banyak kenangan indah masa kecilku melekat pada pria di hadapanku itu.

"Apakah sesuatu yang bisa dimakan?"

Dia tertawa terbahak-bahak. "Kakek yakin tidak!"

Matanya berkilau.  Dia menikmati kesenangan seperti anak kecil. Aku tidak bisa menahan senyum karenanya.

"Beri aku waktu untuk berpikir, Kek. Tidak terbuat dari kertas dan tidak bisa dimakan. Apakah itu sesuatu yang bisa dipakai?"

"Ya, tapi kamu harus lebih spesifik."

Aku mengunci tatapanku padanya, mencoba membaca apa yang ada dalam pikiran Kakek.

Selama beberapa saat, pemandangan dan bau ruang makan lenyap. Aku tak lagi mendengar gumaman penghuni panti dan pengunjung lain, atau dentingan piring beradu sendok garpu. Aroma roti bakar yang menguar hangat telah berhenti menggelitik hidungku.

Saat-saat seperti inilah yang membuatku marah pada alam semesta. Mengapa kakek tidak dibiarkan menua dengan anggun dan bermartabat? Mengapa dia harus kehilangan ingatannya yang tajam, kepribadiannya besar dan selera humor yang luar biasa yang sangat kucintai?

Tidak adil jika kenangan seumur hidupnya hilang kecuali sedikit yang tersisa.

Pikiranku berkabut dan masam. Emosi pasti tercermin di wajahku. Kebiasaan yang tak kusuka.

"Apa masalahnya? Kamu terlihat kesal," tanya Kakek dengan ekspresi khawatir, menambah kerut di wajahnya.

Aku membuang pikiran tidak menyenangkan yang meracuniku untuk kesejuta kalinya, sadar bahwa harus memusatkan perhatian pada pria yang duduk di seberang, menyerap setiap senyum dan gelak tawa. Meskipun tak mudah menyingkirkan gelembung emosi yang bersemayam di hati, aku pasti bisa mengubah tampangku menjadi lebih manis.

Aku mencoba tersenyum, "Tidak ada, Kek. Aku teringat lupa mematikan lampu di ruang kerja. Oh ya, sampai mana tadi?"

Ekspresinya tidak mengungkapkan apa pun, tapi aku mendapat kesan bahwa itu adalah sesuatu yang sangat berharga.

"Apakah itu perhiasan?"

Dengan tangannya yang ada di atas meja dia meraih dan meremastanganku. "Kamu memang pintar! Benar, perhiasan, tapi apa?"

Dia tidak akan pernah tahu betapa berartinya kata-kata itu bagiku. Kakek selalu menyebutku pintar semasa kecilku!

"Apakah itu kalung?"

Dia menggelengkan kepalanya, "Coba lagi, Deli."

Kakek adalah satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama itu, dan kupikir dia sudah lama melupakannya.

"Apakah itu gelang?"

"Tidak, hampir. Bentuknya sudah tepat." Dia terkekeh puas.

Tuhan, betapa aku senang melihatnya seperti ini. Garis tawa berkerut di sekitar mata bersinar menyala-nyala.

"Aku tahu! Apakah itu cincin?" tanyaku penuh semangat.

"Kau bisa menebaknya, Deli! Sekarang aku harus menepati janjiku."

Aku memperhatikan dengan seksama saat Kakek mengeluarkan tangannya dari saku. Di dalamnya berkilau lingkaran emas dengan berlian kecil. Aku tahu cincin itu!

"Kakek ingin kamu memiliki ini. Itu adalah cincin nenekmu, satu-satunya yang bisa kuberikan saat menikahinya."

Aku tertegun kehilangan kata-kata.

"Kakek, aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak bisa menerimanya."

"Deli, hari-hari Kakek tak banyak lagi yang tersisa, tetapi Kakek ingin mengingat momen ini selama Kakek bisa. Kakek senang bisa memberikan cincin itu kepadamu, dan Kakek tahu Nenek pasti setuju. Kamu takkan pernah tahu betapa banyak kebahagiaan yang kamu berikan kepada kami selama bertahun-tahun dengan kunjungan dan panggilan telepon yang memberi tahu kami tentang petualanganmu di seluruh penjuru dunia. Kamu punya bakat mengubah cerita sederhana menjadi kisah luar biasa yang kami-Kakek dan nenekmu-nikmati dengan gembira. Itu sebabnya Kakek ingin kamu mendapatkan hadiah ini dari kami. Nenekmu datang dalam mimpi Kakek akhir-akhir ini, dan Kakek tahu bahwa Kakek akan segera bersamanya. Jadi, Kakek mau kamu memahami betapa berharganya kamu bagi Kakek. Kakek menyayangi, Deli. Jangan pernah lupakan itu."

Pada saat itu, semua tahun kemarahan yang kupendam pada takdir tersapu, dan sebagai gantinya kebahagiaan yang murni. Jelaslah, hadiah yang sebenarnya adalah setiap detik yang kuhabiskan bersamanya, melihat matanya yang berbinar, dan mendengar gelak tawanya.

Jiwaku merasa disucikan dari semua kegetiran, dan hatiku lebih ringan dari tahun-tahun sebelumnya.

Aku merasa yakin bahwa nenek memiliki andil dalam merekayasa ini, termasuk percakapan jernih terakhir dengan kakek, yang bergabung dengannya beberapa hari kemudian.

Bandung, 9 Agustus 2021

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun