Aku mencoba tersenyum, "Tidak ada, Kek. Aku teringat lupa mematikan lampu di ruang kerja. Oh ya, sampai mana tadi?"
Ekspresinya tidak mengungkapkan apa pun, tapi aku mendapat kesan bahwa itu adalah sesuatu yang sangat berharga.
"Apakah itu perhiasan?"
Dengan tangannya yang ada di atas meja dia meraih dan meremastanganku. "Kamu memang pintar! Benar, perhiasan, tapi apa?"
Dia tidak akan pernah tahu betapa berartinya kata-kata itu bagiku. Kakek selalu menyebutku pintar semasa kecilku!
"Apakah itu kalung?"
Dia menggelengkan kepalanya, "Coba lagi, Deli."
Kakek adalah satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama itu, dan kupikir dia sudah lama melupakannya.
"Apakah itu gelang?"
"Tidak, hampir. Bentuknya sudah tepat." Dia terkekeh puas.
Tuhan, betapa aku senang melihatnya seperti ini. Garis tawa berkerut di sekitar mata bersinar menyala-nyala.