Aku merokok sebatang demi sebatang, berjalan di sepanjang tepi sungai. Aku berdiri dan mendengar suara gemericik air di atas bebatuan. Tumpukan sampah mencuat dari permukaan air.
Aku terus berjalan, menuju ke jalan raya dan sampai ke terminal bus antar kota. Dua jam jalan kaki, tetapi aku butuh mendengarkan raungan bus melaju, dan lebih lega lagi berada di bangku ruang tunggu, menyaksikan bus keluar masuk dan para penumpang bergegas naik turun.
Aku meminta uang untuk ongkos angkot dan secangkir kopi dari seorang penumpang yang menunggu bus ke Jawa, lalu menuju terminal angkot.
Aku menaiki tangga apartemen dan membuka pintu. Ponsel tergeletak di atas meja dan tidak ada tanda-tanda Obbie. Pintuku diketuk. Tetangga sebelah, Susi.
"Polisi datang," katanya. "Mereka mencarimu."
"Terima kasih," kataku padanya dan menutup pintu tepat di pucuk hidungnya yang kepo.
Aku menyalakan televisi dan mengecilkan suaranya, mencari berita.
Breaking News pukul enam.
Aku melihat wajah Obbie yang pucat dan kumisnya yang berantakan. Teks berjalan di bagian bawah. "Pembunuh Martil kembali ditahan, kembali ke rumah sakit dengan taksi."
Aku telah melakukan kewajibanku. Mungkin menebus sebagian dosaku. Aku menangani situasi dengan belas kasihan, tanpa menjadi pengkhianat atau memanggil polisi.
Aku merindukan masa kejayaanku, perasaan berkuasa seperti saat berpikir bisa membakar rumah orang-orang yang menghinaku.