Obbie yang memecahkan tengkorak dua teman sekamarnya sampai mati dalam tidur mereka untuk mencegah dunia kiamat, mereguk kopi yang kutuangkan untuknya dan bertanya, "Boleh aku tinggal di sini beberapa hari sampai situasi tenang?"
Suaranya bergetar. "Aku sangat takut, Den. Polisi akan menembakku."
Aku heran mengapa polisi tidak mengintai apartemenku. Ketakutan terbesarku adalah bahwa polisi akan menyerbu dengan senjata teracung, Obbie panik dan 'dor-dor-dor'. Ada yang mati.
Bahkan, jika aku tidak terluka, aku takkan lolos begitu saja. Aku akan dikirim kembali ke Rumah Sakit Jiwa, atau-lebih parah lagi-Nusa Kambangan.
Aku harus tenang. Sebetulnya aku ingin pergi dan meninggalkan Obbie menerima takdirnya, tapi dia teman, dan ada kode etik napi di antara kami, "Jangan mengkhianati teman."
"Kamu harus kembali ke rumah sakit," kataku.
Dia mengangkat jari-jarinya yang bergetar ke mulanya. "Aku muak berada di luar sini." Bola matanya mengecil. Tangannya tersentak dan kopinya tumpah ke lantai. "Sialan," katanya.
Aku mengepel kopi yang berceceran dengan kakiku, menggunakan kolor yang tergeletak di lantai. "Panggil taksi," kataku padanya. "Suruh pengemudi mengantarmu ke rumah sakit. Terus ke pintu gerbang dan minta untuk diizinkan masuk. "
Aku mengambil kolor itu dan mencampakkannya ke tempat sampah.
"Aku akan pergi jalan-jalan," kataku. "Supaya polisi tidak curiga. Mereka akan mengikutiku jika mereka ada di luar sana."
"Terima kasih," kata Obbie.