Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 15: Juli Jatuh Cinta

25 Juli 2021   09:22 Diperbarui: 6 April 2022   00:07 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juli Pepa jatuh cinta pada Wiro Alas tepat pukul 12:34---tepatnya di bawah pohon ki hujan. 

Bukan cinta yang romantis dan lembut, tetapi ragu-ragu, dan sangat canggung.

Wiro menempatkan tangannya di pinggul Juli, dengan rokok di mulutnya. Asapnya berputar-putar di sekeliling mereka seperti semacam mantra sihir panas melekat yang dilepaskan penyihir jahat dalam sinetron kolosal lokal.

Tapi kemudian Wiro terbatuk, dan ciuman Juli yang menutup mata meleset dari sasaran, mendarat di dagunya yang kasar, bukannya di bibir yang mengerut---dan rasa nyeri yang menyengat memelintir tepat di bawah tulang rusuk dada.

Kemudian Juli terayun miring. Bukan karena ciuman yang gagal atau karena malu, tetapi karena apa pun yang baru saja menjepit jantungnya telah membuatnya pusing dan lemah, dan  ... ini bukan seperti yang dia pikir akan terjadi. Tidak seperti ini. Jangan ...  seperti ini---

***

Dan ketika Juli siuman, dia sedang berbaring di ranjang rumah sakit.

Di sekelilingnya mesin berbunyi bip bersahut-sahutan. Selang menjuntai dari lengannya.

Seorang dokter, atau mungkin seorang perawat pria, mendongak dari papan penjepit kertas di tangannya dan tersenyum. "Kamu beruntung," katanya, menepuk kakinya. "Jika kamu terlambat dibawa ke sini---"

Tapi Juli sudah bangun dan bergerak menuju pintu.

Baju rumah sakitnya dicampakkannya ke ranjang. Sikunya berayun di udara menyentak selang hingga jarum IV copot dan cairan infus menetes di lantai. Mesin meraung dan menjerit.

Juli mendorong dokter atau perawat dan terseok-seok hampir tersandung membuka pintu bertanda Tangga Darurat.

Bukankah ini darurat? Mendarat di rumah sakit sendirian, terluka, terhubung mesin, tepat setelah bertemu cinta sejatimu?

Bukankah cinta datang kapan saja secara mendadak?

Di belakangnya, suara perawat atau dokter bergema di udara, berteriak, "Hei!" dan "Tolong!" dan "Tunggu!". Tapi Juli tetap menyeret kakinya yang telanjang melangkah menuruni tangga beton, meskipun jantungnya berdegup kencang sampai memekakkan telinganya. Meskipun dunia mulai  berputar menari salsa.

Dan ketika dia akhirnya mencapai dasar tangga, dengan pandangan gelap dan keringat mengalir membasahi lehernya, Juli Pepa menendang pintu keluar seperti hendak meruntuhkan tembok China. Dan gemuruh riuh lalu lintas kota menyembur seperti tepuk tangan dan sorak sorai yang menggelegar dan---

***

Pria berkacamata hitam itu terus mondar-mandir di ruangan bercahaya temaram itu.

"Dia membuang-buang waktu kita," katanya. Dia menendang sesuatu---keranjang sampah, mungkin. Juli tidak bisa melihat dengan baik dari sudut ini---dan dia berkata, "Kita hanya punya waktu beberapa menit, dan dia malah mencium si bodoh itu di taman. Dan kemudian tertangkap di rumah sakit!"

Tapi Agustus memegang tangan Juli dan menyorotkan senter ke matanya, lalu berkata kepada pria itu, "Dia bisa melakukannya. Dia adalah kesempatan terbaik yang kita punya."

Kemudian dia mematikan lampu senter dan menatap Juli yang balas menatap melalui bintik-bintik dan kabut silau akibat lampu sorot. "Juli?" katanya. "Kamu harus mendapatkan kode peluncuran itu. Dunia, dipertaruhkan di sini. Dapatkah engkau melakukannya?"

Dan Juli hanya menyipitkan matanya dan berkata, "Kalau begitu, berhentilah membuang-buang waktu. Kirim aku kembali ke sana."

***

Dan Juli bertemu Wiro Alas di bawah pohon ki hujan saat hujan gerimis merinai. Kali ini dia mengenakan gaun malam dan semuanya hitam. Wiro bercerita tentang ketika dia mulai mendengkur di bioskop, dan bagaimana, ketika dia bangun, wajahnya basah dan orang-orang di sekitarnya tertawa terbahak-bahak. Tapi Juli tidak mendengarkan. Tidak sama sekali. Tidak, dia melihat ke menara jam, pada jarum menit yang bergerak.

12:34. Lagi.

Dan dia ingin mengatakan, "Beri tahu kode peluncurannya."

Dia ingin berkata, "Kalau tidak, aku akan membunuhmu!"

Namun senyum polos di wajah Wiro sepertinya dia tidak tahu apa-apa.

Yang dilihat Juli tentang Wiro hanyalah dia. Dan Juli lupa ... sesuatu. Sesuatu yang seharusnya telah dia lakukan ... akan dilakukannya.

Bandung, 25 Juli 2021

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun