Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 10: Campur Tangan Malaikat

20 Juni 2021   10:03 Diperbarui: 5 April 2022   23:58 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jari-jari mereka bersentuhan. Arus listrik dua arah, konduktivitas sempurna, resistansi nol.

Polisi itu mengejapkan mata, membaca dan bergumam, "Jahanara Inaranti."

"Betul." Dia membaca nama di lencananya, "Pak Aiptu Jauhan Malik."

Namanya Jauhan. Hmmm ... dulu di kelas lima ada cowok namanya Jehan. Jauhan yang ini terlihat sama gantengnya. Lebih, malah.

Pak polisi mempelajari SIM-nya sedemikian rupa sehingga Jahanara mengira dia sedang menghafalnya. Apakah petugas patroli jalan raya diharuskan melakukan itu? Jahanara merasa tidak mungkin begitu. Lihat ke sini, pikirnya.

Dan Jauhan melakukannya. Matanya yang cokelat melebar dan menghangat, dan sepertinya tidak bisa berpaling.

Jahanara merasakan pipinya panas. Dia lupa memakai make-up pagi ini. 

Udara berbau seperti mawar. Berapa denda tilang karena melanggar batas kecepatan? Baiklah. Dia tersenyum padanya, menunggu pria itu bicara.

Jauhan menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti sedang mencoba melepaskan mantra pemikat. 

"Jahan ... eh, Nona Jahanara Inaranti, maksud saya, saya tidak akan menulis surat tilang kepada Anda, karena ini pelanggaran pertama Anda. Saya sudah memutuskan. Ini hak prerogatif saya. Tapi, demi Tuhan, apakah Anda tahu berapa kecepatan Anda tadi?"

Jahanara berdeham menguatkan degup jantungnya. "Seratus lima puluh kilometer per jam, saya sangat menyesal, Paki. Biasanya saya selalu mengemudi dengan kecepatan sewajarnya, empat puluh kilometer per jam dalam kota, delapan puluh kilometer per jam di jalan tol. Dan kalau padat ikut merayap. Kecuali hari ini, saya memiliki catatan mengemudi yang nyaris tanpa noda."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun