Jari-jari mereka bersentuhan. Arus listrik dua arah, konduktivitas sempurna, resistansi nol.
Polisi itu mengejapkan mata, membaca dan bergumam, "Jahanara Inaranti."
"Betul." Dia membaca nama di lencananya, "Pak Aiptu Jauhan Malik."
Namanya Jauhan. Hmmm ... dulu di kelas lima ada cowok namanya Jehan. Jauhan yang ini terlihat sama gantengnya. Lebih, malah.
Pak polisi mempelajari SIM-nya sedemikian rupa sehingga Jahanara mengira dia sedang menghafalnya. Apakah petugas patroli jalan raya diharuskan melakukan itu? Jahanara merasa tidak mungkin begitu. Lihat ke sini, pikirnya.
Dan Jauhan melakukannya. Matanya yang cokelat melebar dan menghangat, dan sepertinya tidak bisa berpaling.
Jahanara merasakan pipinya panas. Dia lupa memakai make-up pagi ini.Â
Udara berbau seperti mawar. Berapa denda tilang karena melanggar batas kecepatan? Baiklah. Dia tersenyum padanya, menunggu pria itu bicara.
Jauhan menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti sedang mencoba melepaskan mantra pemikat.Â
"Jahan ... eh, Nona Jahanara Inaranti, maksud saya, saya tidak akan menulis surat tilang kepada Anda, karena ini pelanggaran pertama Anda. Saya sudah memutuskan. Ini hak prerogatif saya. Tapi, demi Tuhan, apakah Anda tahu berapa kecepatan Anda tadi?"
Jahanara berdeham menguatkan degup jantungnya. "Seratus lima puluh kilometer per jam, saya sangat menyesal, Paki. Biasanya saya selalu mengemudi dengan kecepatan sewajarnya, empat puluh kilometer per jam dalam kota, delapan puluh kilometer per jam di jalan tol. Dan kalau padat ikut merayap. Kecuali hari ini, saya memiliki catatan mengemudi yang nyaris tanpa noda."