Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 10: Campur Tangan Malaikat

20 Juni 2021   10:03 Diperbarui: 5 April 2022   23:58 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jahanara memperlambat laju mobilnya hingga berhenti di bahu jalan tol Purbaleunyi, delapan puluh sembilan kilometer dari Jakarta menuju Bandung.

Sebagai sarjana biologi sekaligus penjual bunga, secara otomatis dia mencatat dalam hati bintik-bintik berwarna di perbukitan yang mengelilinginya. Meskipun saat itu pertengahan Juni, cuacanya sangat cerah. Lobi-lobi alias Flacourtia inermis mekar awal dan berbuah merah meriah. Cempaka putih atau Michelia alba kontras dengan rumput gunung yang hijau pucat. Namun, untuk sekali ini, tumbuhan gagal membangkitkan semangat Jahanara.

Tetap membiarkan lightbar rotary-nya menyala, petugas patroli di belakangnya melangkah keluar dari mobil sambil berbicara ke perangkat genggam. Tidak diragukan lagi, pikir Jahanara murung, dia sedang memeriksa apakah mobilnya dicurigai terlibat dalam perampokan di Pondok Indah.

Entah dari mana, seekor burung gagak dengan ganas mendarat tepat di atas kap mobilnya, mengepak=negapkkan sayap hitamnya begitu dekat sehingga dia bisa melihat tampang marah dan paruh bengkoknya. Oh, tidak! Apakah sedang ada syuting sinetron horor di sekitar sini?

Setidaknya, polisi itu tidak mengenakan kacamata hitam cermin yang biasa dipakai polisi jahat di film. Dia tidak perlu menjelaskan dirinya kepada mata yang tak tampak. Tapi bagaimana dia bisa menjelaskan kecepatannya 120 km per jam? Dia tidak mungkin menyangkalnya. Jahanara tidak tahu berapa lama polisi itu telah mengejarnya sebelum membunyikan sirine dan berseru melalui pengeras suara, "Minggir! Minggir!" dan akhirnya meledak dengan "Wah, wah, wah, Nyonya ... KEBELET PIPIS, YA?"

Bolak-balik mata Jahanara berpindah antara polisi di kaca spionnya dan burung gagak pemarah yang menatapnya melalui kaca depan. Seberapa buruk peristiwa ini akan berlanjut?

Dengan dada tertahan sabuk pengaman, dia menempelkan jidatnya ke roda kemudi dan bergumam, "Ya Tuhan, help me pleeeease!"

***

Malaikat utusan Tuhan yang menyamar sebagai burung gagak belum mengambil keputusan apa yang harus dilakukannya selain menunggu. Dia membuka sayapnya yang lebih lebar dari gagak biasa dan menganalisis situasi berdasarkan data yang masuk.

Di satu sisi, Jahanara adalah wanita tangguh yang menjadi ancaman di jalan raya, tinggal menunggu waktu untuk 'kejadian'. Seratus dua puluh kilometer per jam! Tak termaafkan! Bahkan Tuhan yang Maha Pengampun juga tak suka orang-orang yang melampaui batas, termasuk batas kecepatan di jalan tol.

Di sisi lain, Jahanara baru saja kehilangan pekerjaannya di perusahaan pembibitan tanaman langka, putus dengan pacarnya, pada usia tiga puluh tiga sehingga jam biologisnya berdetak sangat kencang, hampir tidak bisa membayar sewa apartemen bulan depan, dan sedang dalam perjalanan pulang ke rumah orang tuanya. Wajar saja dia ngebut gila-gilaan.

Yah, setidaknya Jahanara bukanlah orang jahat. Dan kata jahanara yang bermakna 'bunga kehidupan' menyukai bunga. Mencintai mereka, merawat mereka, melindungi mereka. Dan bunga adalah ciptaan Tuhan yang paling indah. Tuhan juga sangat mencintai bunga. Malaikat juga.

Yang dibutuhkan Jahanara yang malang adalah pria yang penuh kasih, yang mampu berkomitmen pada istri dan anak. Dan lahan pembibitan tanamannya sendiri. Jadi tidak ada yang bisa memecatnya lagi. Lagi pula, Tuhan telah membantu para pengemudi seperti Jahanara dengan mobil yang dilengkapi airbag.

Malaikat melirik petugas polisi. 

Kenapa tidak? Masih bujangan, memiliki pekerjaan tetap dengan jaminan hari tua, tinggal di kota di mana pembibitan tanaman masih belum digarap. Tidak pernah menembak mati siapa pun, baik di dalam atau di luar tugas.

Mengapa tidak!

Dengan memohon izin kepada-Nya yang Maha Pengampun, malaikat membuat beberapa penyesuaian kecil pada cuaca. 

Haruskah dia tetap tinggal untuk mengamati hasilnya? Tentu saja tidak! Pasangan itu perlu privasi.

Mengangkat sayapnya untuk memberi hormat, malaikat naik menumpang arus udara hangat dan terbang menuju Surga.

***

Jahanara mengangkat kepalanya dari roda kemudi. Syukurlah, burung gagak itu sudah pergi.

Polisi itu muncul di jendelanya. Dia meminta SIM Jahanara. Jahanara menyerahkan benda yang diminta dengan kedua tangan. 

Jari-jari mereka bersentuhan. Arus listrik dua arah, konduktivitas sempurna, resistansi nol.

Polisi itu mengejapkan mata, membaca dan bergumam, "Jahanara Inaranti."

"Betul." Dia membaca nama di lencananya, "Pak Aiptu Jauhan Malik."

Namanya Jauhan. Hmmm ... dulu di kelas lima ada cowok namanya Jehan. Jauhan yang ini terlihat sama gantengnya. Lebih, malah.

Pak polisi mempelajari SIM-nya sedemikian rupa sehingga Jahanara mengira dia sedang menghafalnya. Apakah petugas patroli jalan raya diharuskan melakukan itu? Jahanara merasa tidak mungkin begitu. Lihat ke sini, pikirnya.

Dan Jauhan melakukannya. Matanya yang cokelat melebar dan menghangat, dan sepertinya tidak bisa berpaling.

Jahanara merasakan pipinya panas. Dia lupa memakai make-up pagi ini. 

Udara berbau seperti mawar. Berapa denda tilang karena melanggar batas kecepatan? Baiklah. Dia tersenyum padanya, menunggu pria itu bicara.

Jauhan menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti sedang mencoba melepaskan mantra pemikat. 

"Jahan ... eh, Nona Jahanara Inaranti, maksud saya, saya tidak akan menulis surat tilang kepada Anda, karena ini pelanggaran pertama Anda. Saya sudah memutuskan. Ini hak prerogatif saya. Tapi, demi Tuhan, apakah Anda tahu berapa kecepatan Anda tadi?"

Jahanara berdeham menguatkan degup jantungnya. "Seratus lima puluh kilometer per jam, saya sangat menyesal, Paki. Biasanya saya selalu mengemudi dengan kecepatan sewajarnya, empat puluh kilometer per jam dalam kota, delapan puluh kilometer per jam di jalan tol. Dan kalau padat ikut merayap. Kecuali hari ini, saya memiliki catatan mengemudi yang nyaris tanpa noda."

"Sebenarnya hanya seratus dua puluh kilometer per jam," kata Aiptu Jauhan. Kemudian, dengan desahan bingung dia menambahkan, "Oke, Anda boleh pergi."

Jahanara mengulurkan tangan kanannya untuk mendapatkan SIM-nya kembali.

Jauhan menatap jari-jari Jahanara dan tergagap, "Anda ... tidak memakai cincin kawin." Lalu tersipu-sipu salah tingkah.

Jahanara mengangkat bahu. Aku harus bertindak.

Dia berkata, "Aiptu ... maksudku, Mas Jauhan, apakah Mas tahu di mana kita bisa ngopi enak di dekat sini?"

Bandung, 20 Juni 2021 

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun