Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salinan Digital

25 Mei 2021   19:34 Diperbarui: 25 Mei 2021   19:57 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya bukan diri saya hari ini.

Pikiran itu terus meresap ke dalam pikiran sadar saya, di tempat kerja, di rumah, atau ketika berada di taman bersama anak-anak.

Saya bukan diri saya hari ini.

Itu adalah sesuatu yang terlalu sering saya katakan dengan lantang hingga tidak dapat dihitung berapa kalinya, namun saya tidak pernah memikirkan apa artinya sebenarnya.

Saat pertama kali saya melihat teleporter, saya berpikir, "Mainan satu persen crazy rich."

Saat itu saya masih remaja dan berpikir bahwa masa depan adalah harapan yang cerah bagi umat manusia. Saat itu, saya masih percaya bahwa saya bisa menjadi sesuatu yang lebih dari ayah saya.

Jika saja itu adalah teleporter terakhir dan satu-satunya yang saya lihat, mungkin saya sudah menjadi pria yang jauh lebih bahagia daripada saya sekarang ini. Namun, seperti yang kerap terjadi, barang konsumsi orang kaya akan menemukan jalan ke dalam rumah orang kebanyakan pada waktunya. Seperti komputer dan televisi pintar, teleporter mulai menyebar.

Saya adalah seorang mitra senior di sebuah firma konsultan di tengah kota ketika saya pertama kali mempertimbangkan untuk membeli satu untuk diri saya sendiri. Sebagian besar rekan memilikinya, kecuali yang tinggal di kota. Pengoperasian sangat sulit, tetapi jika saya jujur pada diri saya sendiri, alasan sebenarnya saya menginginkannya adalah karena hal itu membuat saya merasa sukses.

Istri saya menentangnya sejak awal. "Papa bercanda, kan?" tanyanya ketika teknisi datang untuk memasang unit pemroses terpusat. Kami tinggal di di kota satelit kecil di lingkungan kelas menengah. Jalanan dipenuhi pohon sukun dan kabel serat optik, dan sebagian besar tetangga memarkir mobil listrik Esemka di jalan masuk yang retak.

Hidup kami nyaman, tapi kami tidak kaya. Tidak sekaya yang saya inginkan.

"Sayang, ini cara paling aman untuk bepergian," jawab saya, mengamati teknisi menghubungkan prosesor ke digitizer, bagian dari teleporter yang mengubah pengguna menjadi sinyal digital. "Dan yang tercepat. Bepergian dengan kecepatan cahaya, lebih cepat dan saya akan berada di rumah sebelum meninggalkan kantor. "

"Itu membuatku gugup," keluhnya.

Itu dulu, lebih dari satu dekade yang lalu, sebelum anak-anak lahir, sebelum rumah baru dengan cicilan baru, sebelum saya membangun firma sendiri, dan sebelum teleporter sama lazimnya dengan ponsel. Saya sering berpikir betapa lucunya kemajuan itu.

Ketika pertama kali melihat teleporter, benda itu tidak terlalu membuat saya terkesan. Itu hanyalah gawai baru, menarik, tetapi tidak ada yang perlu dikagumi.

Sekarang, melihat lingkungan sekitar, saya hampir tidak mengenali dunia lagi. Sejuta kemajuan yang tidak penting ditambahkan ke masa depan yang tidak dapat dikenali.

Saya bukan diri saya hari ini.

Saya sedang mendengarkan musik di kantor ketika gagasan beracun itu ditanam di benak saya.

Komputer menyenandungkan musik klasik, Le Nozze di Figaro Mozart atau Hungarian Dance no.5 Brahms, ketika Wakil, anak magang, muncul di pintu.

"Apakah Anda membutuhkan saya untuk hal lain, bos?" tanyanya.

Saya melihat jam, terkejut. "Tidak, kamu boleh pergi. Terima kasih atas kerja kerasmu," ucap saya, di luar kebiasaan. Sebenarnya, Wakil jarang bekerja keras.

"Bos sedang mendengar apa?"

"Musik klasik," jawab saya meremehkan seleranya.

"Di komputer?"

"Ya," jawab saya singkat.

"Saya tidak pernah mendengarkan musik digital lagi," katanya.

"Mengapa?"

Dia masuk, menarik kursi dan duduk. "Saat mereka mengubah musik menjadi digital, mereka mengubah semua bunyi instrumen musik yang kompleks menjadi serangkaian satu dan nol."

"Ya, saya tahu apa artinya digital."

"Yah, tidak peduli berapa banyak satu dan nol yang ada, jumlahnya tidak pernah sama dengan informasi sebagai sinyal analog. Beberapa data hilang saat membuat salinan digital."

"Dan kamu bisa mendengar perbedaannya?" tantang saya.

"Yah ..." dia berhenti, terlihat tidak nyaman. "Tidak, tidak juga, maksud saya tidak dengan teknologi saat ini. Tapi ada perbedaan dalam musiknya."

"Menarik," jawab saya.

Setelah hening sejenak yang tidak nyaman, Wakil minta diri.

Tapi benihnya sudah ditanam. Kamu kehilangan sesuatu saat beralih ke digital. Satu dan nol. Saya menghabiskan malam itu menatap langit-langit dan bertanya-tanya apakah saya analog. Apa yang hilang dari salinan diri saya saat pergi ke kantor setiap pagi?

Saya menelepon Solusi Transportasi Logistika keesokan harinya. Gina, gadis yang menjawab panggilan saya, sangat manis dan seksi. Saya bertanya tentang proses digitalisasi.

"Terima kasih atas pertanyaan Anda, Pak. Kekhawatiran Anda menjadi perhatian penting bagi kami. Sinyal digital tidak hanya sejernih kristal tetapi juga sangat akurat."

"Tapi bukankah ada sesuatu yang hilang dalam salinan itu?" Saya tak menyerah.

"Meski ada, kehilangannya sangat kecil."

Itu lima tahun yang lalu. Dua ribu seratus dua puluh delapan teleportasi yang lalu, seorang putri dan seorang putra yang lalu, kanker prostat dan kemitraan yang lalu. Berapa banyak bagian "sangat kecil yang tak terlihat" dari diri saya yang lalu?

Saya memperhatikan hal-hal kecil. Dari lahir, telinga kiri saya memiliki tahi lalat yang sangat kecil, dan suatu hari bintik itu hilang. Saya mengabaikannya pada awalnya, karena potongan-potongan diri saya meluruhnya sedikit demi sedikit.

Saya telah kehilangan banyak hal. Gigi saya terlalu lurus. Dulu ada celah di antara gigi depan saya, tapi sekarang sudah hilang. Saya sekarang adalah salinan dari salinan dari sebuah salinan. Saya tidak bisa lagi merasakan rasa semangka buatan lagi. Ketika saya memasukkan permen tiga rasa ke dalam mulut saya, saya bisa merasakannya dan mencium baunya, tetapi tidak mencicipinya. Saya rasa saya juga kehilangan satu warna, tetapi ada begitu banyak warna sehingga saya tidak tahu yang mana.

Seberapa banyak bagian kecil jiwa? Bisakah itu dibulatkan menjadi satu atau nol?

Malam ini saya duduk di meja dapur, makan malam bersama keluarga saya dan mencoba mengingat nama putri saya. Memeras otak, menjelajahi ingatan demi ingatan dan hanya menemukan titik-titik kosong, bilangan pecahan yang mengalami pembulatan. Satu-satunya pikiran yang muncul di kepala saya saat menatap dengan bodoh ke seberang meja pada seorang gadis yang tidak lagi saya kenal adalah kebenaran sederhana yang nyata yang saya temukan satu dekade lalu, saat membeli teleporter.

Saya bukan diri saya lagi hari ini.

Bandung, 25 Mei 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun