"Itu membuatku gugup," keluhnya.
Itu dulu, lebih dari satu dekade yang lalu, sebelum anak-anak lahir, sebelum rumah baru dengan cicilan baru, sebelum saya membangun firma sendiri, dan sebelum teleporter sama lazimnya dengan ponsel. Saya sering berpikir betapa lucunya kemajuan itu.
Ketika pertama kali melihat teleporter, benda itu tidak terlalu membuat saya terkesan. Itu hanyalah gawai baru, menarik, tetapi tidak ada yang perlu dikagumi.
Sekarang, melihat lingkungan sekitar, saya hampir tidak mengenali dunia lagi. Sejuta kemajuan yang tidak penting ditambahkan ke masa depan yang tidak dapat dikenali.
Saya bukan diri saya hari ini.
Saya sedang mendengarkan musik di kantor ketika gagasan beracun itu ditanam di benak saya.
Komputer menyenandungkan musik klasik, Le Nozze di Figaro Mozart atau Hungarian Dance no.5 Brahms, ketika Wakil, anak magang, muncul di pintu.
"Apakah Anda membutuhkan saya untuk hal lain, bos?" tanyanya.
Saya melihat jam, terkejut. "Tidak, kamu boleh pergi. Terima kasih atas kerja kerasmu," ucap saya, di luar kebiasaan. Sebenarnya, Wakil jarang bekerja keras.
"Bos sedang mendengar apa?"
"Musik klasik," jawab saya meremehkan seleranya.