Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lebaran bersama Calon Mertua

24 Mei 2021   19:19 Diperbarui: 24 Mei 2021   19:25 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sudah menjalin hubungan selama dua tahun dengan Chika, dan Lebaran tahun lalu keluarganya memintaku untuk ikut menghabiskan liburan di bungalo milik mereka.

Tentu saja aku senang, sekaligus takut. Membayangkan berada di bawah satu atap dengan calon mertua, terutama papa Chika, membuat bulu kudukku meremang. Beliau adalah seorang Jenderal di Angkatan Darat, dan mendengar namanya saja sudah membuat orang-orang ketakutan setengah mati.

Ketika aku memberi tahu ibu tentang undangan tersebut, awalnya ibu melarangku untuk pergi. Namun, setelah aku memberi tahu dia betapa pentingnya bagiku untuk berada di sana demi calon menantunya, dia bersikeras agar aku mengajak Herkules, sepupuku yang lebih tua tiga tahun. Istri dan anaknya mudik ke kampung halaman di Padang Sidempuan sampai liburan sekolah berakhir.

Alasan ibu menyuruhku mengajaknya pergi denganku karena dia lebih tua dan sudah menikah, karena itu dia lebih berpengalaman, dan akan memastikan tidak ada hal buruk yang akan terjadi padaku.

Aku memberi tahu Chika dan dia tidak keberatan Herkules ikut. Bungalonya besar, dan semakin banyak orang akan semakin meriah. Jadi, dua hari sebelum Lebaran, saat dunia masih terlelap dan menggigil karena semalam hujan turun dengan gembira, kami meninggalkan Bekasi menuju menuju Cipanas. 

Herkules dan aku berganti mengemudikan Honda Jazz 2007 milikku, dan sepanjang jalan dia memberi nasihat tentang bagaimana caranya berhubungan dengan mertua. Kalau kalian mendengarkan ocehannya, maka kalian akan memintanya untuk menulis buku petunjuk Menaklukkan Mertua.

"Salaman sama jenderal jangan dengan dua tangan. Tatap matanya dan goyangkan dengan mantap. Dia akan tahu kalo lu lelaki sejati dan bisa menjaga anaknya."

"Jangan banyak bicara. Bicaralah seperlunya. Dia akan tahu lu itu bijak, karena orang bijak sedikit bicara dan lebih banyak mendengarkan."

"Jika mereka mengajukan pertanyaan yang enggak mau lu jawab, jangan ragu untuk menolak. Dia akan tahu bahwa lu bukan penurut."

Dan seterusnya.

Aku terus mengangguk dan mendengus saat dia mengajariku. Meskipun di wajahku terpasang ekspresi acuh tak acuh dan bosan, aku tahu aku akan mengikuti sebagian besar nasihat yang dia berikan. 

Aku tak ingin mempermalukan diriku  sendiri di depan keluarga Chika, dan jika memang ada metode yang memastikan aku tak melakukannya, maka aku akan mematuhinya dengan senang hati.

"Dan satu lagi," katanya saat kami melewati papan petunjuk menuju bungalo. Aku melirik dengan sudut mataku, jengkel, dan kembali fokus ke jalan. "Ini penting banget, bro," lanjutnya. "Jangan makan terlalu banyak. Pokoknya jangan. Karakter seorang laki-laki diukur dari seberapa banyak dia makan saat diundang."

"Siapa yang mengukur karakter dengan makanan?" Aku mendesah. "Apa judul bukunya?"

"Bro, gue udah pengalaman menghadapi keluarga calon istri. Gue tahu apa yang gue omongin," tegurnya. "Orang yang makan terlalu banyak adalah orang yang rakus. Rakus adalah salah satu pangkal segala kemungkaran, itu ada hadisnya. Gue tahu lu kalau makan banyak, tapi untuk kali ini, kendalikan nafsu makan dan makanlah dengan bertanggung jawab," katanya.

Aku menghela nafas lagi. "Oke," gumamku. "Aku tidak akan makan terlalu banyak. Tapi, seberapa banyak menurutmu terlalu banyak? Dua piring dibandingkan dengan tiga yang biasa?"

"Buset!" serunya, sambil terbahak-bahak seperti kebiasaannya. "Emangnya lu ular kadut?"

"Oke, gimana kalau satu setengah?" tanyaku malu-malu.

Air mata mengalir di pipinya saat dia mencoba berhenti tertawa. "Gini aja," desahnya. "Lu duduk di samping gue dan kalau gue tepuk paha lu, berarti jangan nambah."

"Baiklah," desahku. "Aku berhenti makan begitu pahaku kamu tepuk."

Kami sampai di bungalo dan diterima dengan sepenuh hati. Jenderal adalah lelaki yang tangguh dan dingin saat mengenakan seragam, tetapi di sini, dia benar-benar ceria dan hangat. Ibu Chika menyambut kami seakan-akan aku sudah menjadi menantunya. Abang Chika memeluk kami seakan-akan kami adalah saudara yang sudah lama hilang, dan putrinya-keponakan Chika-memberi kami pelukan dan kecupan di pipi kami. Hatiku diliputi sukacita. Benar-benar rasanya seperti di rumah sendiri. Padahal rumahku tak sampai sepersepuluhnya.

Setelah tidur siang, mandi air panas dan mengobrol sebentar, tibalah waktunya berbuka. Meja makan besar itu menampung 10 orang dengan dua kursi tersisa. Oh, aku belum menyebutkan bahwa Chika memiliki lima saudara kandung, tiga laki-laki dan dua perempuan. Menu yang disajikan adalah nasi uduk, ayam bakar, pisang goreng, dan rujak. Di perjalanan tadi, kami berhenti hanya sekali untuk makan dan sekarang kami berdua sangat lapar.

Aku menitikkan air liur saat adik Chika berkeliling melayani semua orang. Dia mendatangiku, dan, mengingat nasihat Herkules, aku memintanya untuk berhenti setelah dua sendok nasi. Jumlah yang sama dengan yang dia berikan untuk jenderal dan aku tidak ingin makan lebih dari dia.

Dia mendekati Herkules dan rahangku hampir copot ketika dia memintanya untuk berhenti di sendok keenam. Bajingan!

Ketika dia berkeliling dengan porsi lainnya, aku meniru jenderal lagi dan mengambil sepotong sayap ayam, dan sambal beserta lalapan. Herkules mengambil tiga potong potong dada, telur balado, sambal goreng ati, kerupuk, dan sambal. Isi piringnya serupa gunung. Gunung yang kucintai. Rasanya aku ingin menangis.

Andaikan semua keluarga mempunyai acara makan malam semeriah ini, maka dunia akan menjadi tempat yang lebih baik.

Kami berbicara tentang sepak bola sambil makan, dan yang mengejutkan bahkan nyonya Jenderal dan anak gadisnya itu sangat interaktif. Jenderal penggemar Liverpool sedangkan istrinya fans berat Manchester. Dua abang Chika dan Chika penggemar United sementara sisanya adalah Gunners. Herkules, penggemar berat Chelsea mendebat semua orang, sementara aku-penggemar pasif Persib-diam-diam memakan makananku, tertawa ketika harus dan mengangguk ketika bisa.

Lalu dia menepuk pahaku. Herkules menepuk pahaku. Aku baru makan 4 sendok dan secuil daging sayap ayam ketika bajingan itu menepukku.

Aku ingin menangis. Nasi di piringku saja sudah sedikit dan bahkan belum seperempat pun ketika dia memberi tanda.

Makanannya belum sampai sekadar cukup di perut. Aku masih lapar, tetapi dia memiliki pengalaman dalam 'hal-hal ini' dan aku bertekad untuk tidak mempermalukan diri sendiri.

Aku mengunyah sisa daging ayam dan meletakkan sendok garpu.

Chika menatapku dan berkata, "Kamu baik-baik saja?" Pacarku tahu aku punya nafsu makan yang sangat normal.

Aku tersenyum dan berkata, "Aku baik-baik saja."

Nyonya Jenderal menoleh karena percakapan kami dan bertanya mengapa aku berhenti makan. Semua kepala menoleh ke arahku.

Sesaat aku tergoda untuk mengambil garpu dan melanjutkan makan, tapi aku tersenyum dan berkata aku kenyang. Makanannya sangat enak, tapi tentu saja aku tak boleh makan banyak. Semua mengangkat bahu dan kembali makan dan berbantahan tentang sepak bola, kecuali Chika, dan Herkules. Raut bingung di wajah pacarku cocok sekali dengan yang ada di muka Herkules.

Barulah aku sadar bahwa dia lupa tentang rencananya. Tersesat dalam euforia suasana kekeluargaan yang luar biasa, makanan yang luar biasa, dan wacana yang penuh gairah tentang permainan favoritnya, dia tak sengaja menepuk pahaku. Dia salah menepuk pahaku dan membuatku berhenti makan.

Aku ingin menangis. Aku masih sangat lapar dan setan di sampingku memindahkan gunung di depannya ke dalam perut dengan penuh semangat.

Makanan penutup berupa beragam macam buah-buahan keluar. Aku mengambil sedikit lebih banyak dari yang lain, tetapi tetap saja tidak berhasil meredakan pemberontakan para cacing di perutku.

Setelah makan, kami salat magrib berjemaah, lalu ke ruang keluarga dan menonton film komedi yang sangat lucu. Aku hanya ingat bahwa itu lucu karena semua orang tertawa, kecuali aku. Aku menyimpan tenaga untuk bertahan sepanjang malam hingga sahur terakhir nanti.

Setelah film selesai, kami mengucapkan selamat tinggal dan masuk ke kamar untuk tidur. Aku dan Herkules berbagi kamar dan segera setelah kami masuk, aku memandangnya dengan mata melotot sampai mau copot.  Dia tampak bingung sejenak, lalu ketika dia ingat, sepupuku yang bajingan  itu tertawa terbahak-bahak. Tanganku sudah terangkat ingin mencekiknya. Ketika dia melihat betapa marahnya aku, dia berhenti tertawa dan meminta maaf. Katanya, dia benar-benar lupa tentang tanda 'berhenti makan' itu. Dia benar-benar tidak melakukannya dengan sengaja. Aku yakin air mata mengalir di pipiku.

Saat itu hampir pukul 10 malam dan jika santap sahur disajikan pada pukul empat dini hari keesokan harinya, aku bertanya-tanya bagaimana akan bertahan selama enam jam berikutnya. Satu-satunya yang  aku makan pada hari itu adalah dua piring nasi dengan telur dadar pada pukul empat pagi, di sebuah rumah makan padang sebelum jalan masuk gerbang tol.

Aku naik ke tempat tidur dengan perut keroncongan. Selama dua jam berikutnya aku mencoba tidur, tapi gagal. Aku tidak bisa tidur dengan perut lapar. Pemandangan Herkules tidur mendengkur dengan damai di sampingku membuat segalanya menjadi jauh lebih buruk. Ketika aku semakin tak tahan, aku mulai mondar-mandir.

Kemudian aku memutuskan untuk membuat kesalahan terbesar dalam hidupku.

Dengan sangat perlahan, aku membuka pintu kamar. Untung saja tidak berderit, mungkin rajin diminyaki.

 Aku menjulurkan kepala mengintip. Tidak ada orang. Tidak ada yang tidur berjalan di sepanjang selasar.

Aku tahu dapur berada di samping ruang makan di ujung koridor, jadi aku berjingkat ke sana, masuk dan menutup pintu, menyalakan lampu senter ponsel murahanku dan memindai sekitar. Akhirnya aku melihat panci di atas kompor gas. Dengan perlahan tanpa suara aku membuka tutupnya dan aku rasanya mau menangis. Karena gembira.

Nasi. Nasi uduk yang harum. Ada telurnya juga. Dengan lembut kuletakkan penutupnya di sisi, mengambil piring dari rak di wastafel dan menumpuk membuat gunung nasi uduk. Menutup panci, duduk dan makan.

Setelah selesai, aku ingin mencuci piring dan kembali tidur ketika melihat panci yang berisi ayam yang disajikan sebelumnya.

Akal sehatku menyuruhku untuk mencuci piring dan kembali ke kamar, tetapi tanganku tanpa sadar mengangkat tutupnya dan, lihatlah, ayam bakar yang lezat! Aku mengambil dua potong dada untuk menyamai rekor Herkules, meletakkannya di piring dan duduk untuk makan.

Kemudian, terjadilah.

Baru saja akan menggigit ayam kedua ketika-entah datang dari mana-seekor tikus besar berlari melintasi kakiku. Aku melompat kaget dan piring itu jatuh dari tanganku, pecah berkeping-keping. Suaranya seperti guntur. Karena terkejut, aku jatuh terjengkang ke belakang dan menabrak kuali berisi nasi yang jatuh menghantam lantai. Bunyinya bagai ledakan bom.

Untuk beberapa saat aku terlalu kaget untuk bergerak. Ketika sadar, naluriku adalah lari ke kamar dan naik tempat tidur berkemul selimut. Lalu aku mendengar suara pintu terbuka dan langkah kaki berlari menuju dapur.

Aku sedang mencari tempat untuk bersembunyi ketika pintu dapur terbuka dan lampu menyala. Jenderal, nyonya jenderal, Chika, saudara-saudaranya, dan laras pistol yang terlihat sebesar moncong meriam, semuanya menatapku.

Aku mengangkat tangan tanda menyerah, sepotong dada ayam di tangan kanan dan ponsel dengan senter menyala di tangan kiri.

Singkat cerita, Chika akan menikah minggu depan dan aku masih tetap menjomlo.

Bandung, 24 Mei 2021

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun