Aku menjulurkan kepala mengintip. Tidak ada orang. Tidak ada yang tidur berjalan di sepanjang selasar.
Aku tahu dapur berada di samping ruang makan di ujung koridor, jadi aku berjingkat ke sana, masuk dan menutup pintu, menyalakan lampu senter ponsel murahanku dan memindai sekitar. Akhirnya aku melihat panci di atas kompor gas. Dengan perlahan tanpa suara aku membuka tutupnya dan aku rasanya mau menangis. Karena gembira.
Nasi. Nasi uduk yang harum. Ada telurnya juga. Dengan lembut kuletakkan penutupnya di sisi, mengambil piring dari rak di wastafel dan menumpuk membuat gunung nasi uduk. Menutup panci, duduk dan makan.
Setelah selesai, aku ingin mencuci piring dan kembali tidur ketika melihat panci yang berisi ayam yang disajikan sebelumnya.
Akal sehatku menyuruhku untuk mencuci piring dan kembali ke kamar, tetapi tanganku tanpa sadar mengangkat tutupnya dan, lihatlah, ayam bakar yang lezat! Aku mengambil dua potong dada untuk menyamai rekor Herkules, meletakkannya di piring dan duduk untuk makan.
Kemudian, terjadilah.
Baru saja akan menggigit ayam kedua ketika-entah datang dari mana-seekor tikus besar berlari melintasi kakiku. Aku melompat kaget dan piring itu jatuh dari tanganku, pecah berkeping-keping. Suaranya seperti guntur. Karena terkejut, aku jatuh terjengkang ke belakang dan menabrak kuali berisi nasi yang jatuh menghantam lantai. Bunyinya bagai ledakan bom.
Untuk beberapa saat aku terlalu kaget untuk bergerak. Ketika sadar, naluriku adalah lari ke kamar dan naik tempat tidur berkemul selimut. Lalu aku mendengar suara pintu terbuka dan langkah kaki berlari menuju dapur.
Aku sedang mencari tempat untuk bersembunyi ketika pintu dapur terbuka dan lampu menyala. Jenderal, nyonya jenderal, Chika, saudara-saudaranya, dan laras pistol yang terlihat sebesar moncong meriam, semuanya menatapku.
Aku mengangkat tangan tanda menyerah, sepotong dada ayam di tangan kanan dan ponsel dengan senter menyala di tangan kiri.
Singkat cerita, Chika akan menikah minggu depan dan aku masih tetap menjomlo.