Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Rasain!

17 Juni 2020   08:24 Diperbarui: 17 Juni 2020   09:13 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kurang dari satu menit setelah mengiriminya pesan WhatsApp, gawaiku berdering.

"Mereka pasti sudah kehabisan akal sampai menjejalkan semua orang di satu lantai."

Rani tak pernah membuang-buang waktu. Seperti biasa, tanpa basa-basi ketika dia yang menelepon. Dia jarang menyebutkan namanya atau bertanya apakah kamu baik-baik saja, langsung masuk inti persoalan yang mengisi benaknya.

"Hai," jawabku, "kupikir pesan yang kukirim akan menghiburmu."

Sebelumnya, aku mendapat telepon dari seorang temannya yang masih bekerja dengan mantan bosku, bos yang sama yang telah membuat Rani dan aku menyia-nyiakan hidup kami tiga tahun percuma.

Tampaknya kondisi berubah dari buruk menjadi lebih buruk.

Sudah lebih dari setengah karyawan di-PHK. yang tersisa bekerja bergantian shift sehari kerja sehari libur. Yang terakhir, karena kondisi ekonomi terbaru, mereka menjejalkan semua staf dan karyawan yang tersisa ke satu lantai di gedung yang bertingkat dua.  Membiarkan lantai lain kosong meskipun masih ada dua puluh empat bulan lagi masa sewa.

"Kamu tahu dari siapa? Nola?" tanya Rani.

Tentu saja dari dia. Pengaturan baru menempatkan bagiannya, tepatnya yang masih tersisa, ke lokasi di samping tangga tempat Amir biasa duduk. Rupanya area kerja Nola sekarang yang kecil dan sempit sehingga punggungnya hampir bersentuhan dengan Narto yang duduk di belakangnya.

"Bahkan bos lama kita harus pindah juga. Kamu ingat berapa banyak koleksi barangnya, kan? Waktu kita masih di situ saja aku dikelilingi lemari arsipnya. Dinding di belakangnya ditutupi kotak-kotak berdebu, tingginya kurang sepuluh senti dari plafon."

Dia terbahak-bahak. "Aku ingat itu. Kamu sampai tidak kelihatan. Orang-orang tak tahu kalau kamu ada."

Aku meneruskan informasi yang kuterima dari Nola tentang siapa dan duduk di mana mereka yang tersisa dipindahkan. Sesekali Rani memotong dan bertanya di mana si Anu ditempatkan, tetapi setelah dua tahun di-PHK, aku kesulitan mengingat nama dan wajah yang pernah setiap hari berjumpa.

"Bagaimana dengan kantor cabang Surabaya?" Rani bertanya.

"Masih bertahan dengan tiga orang. Nola sensitif banget waktu aku tanya tentang itu. Dia tidak bisa mengerti mengapa kantor sekecil itu harus tetap buka."

"Itu 'kan karena gedungnya punya keluarga bos. Kamu kira mereka mau kehilangan sumber penghasilan meski harus memotong keuntungan kantor pusat?"

"Kurasa tidak," aku mengakui kebenaran kata-katanya. "Tapi itu tidak masuk akal secara ekonomi."

"Sejak kapan 'masuk akal secara ekonomi' ada hubungannya dengan itu? Bagaimana dengan 'mitra perusahaan'?. Apakah mereka harus pindah juga?"

"Oh, yang itu. Mereka ikut pindah ke lantai satu bersama yang lain. Pak Binsar ditempatkan ke ruangan kecil di depan yang dulu dia gunakan sebelum menjadi Anggota Dewan Komisaris, tetapi yang lain semua di lantai satu. Lantai dua hanya akan digunakan untuk bertemu klien, begitu kata Nola. Lantai paling atas yang pernah di sewa perusahaan lain akan dibiarkan kosong."

Dia memberi komentar yang meremehkan tentang bangkrutnya perusahaan yang dulu begitu perkasa, dan kami tertawa bareng.

Rani begitu membenci Citra, yang di matanya hanya bisa bertahan dan mendaki dari mitra junior ke posisi yang lebih tinggi karena menjilat bos.

"Kamu tahu di mana mereka menempatkan teman lamamu Citra?"

Suaranya terdengar sangat antusias saat bertanya, "Di mana?"

"Di belakang tepat di samping pintu darurat dekat toilet."

"Yang bener?" tanyanya ceria tanpa menyembunyikan kegembiraan sama sekali. "Tempat terburuk di seluruh gedung. Dingin berangin, dan kapan pun seseorang ingin menyelinap ke tempat parkir mobil, pasti menggunakan pintu darurat. Dia menjadi penjaga toilet!"

Giliranku tertawa terbahak-bahak.

"Aku tidak ingin perusahaan tutup atau bangkrut. Tapi ... sejujurnya aku benar-benar berharap perusahaan itu pailit," katanya, dengan cepat mengubah pikiran. Suaranya getir menampilkan sakit hati yang tak terlupakan.

"Mereka membuatku hilang rasa percaya diri, seolah-olah aku tak cukup baik dalam pekerjaanku. Sekarang mereka rasakan sendiri akibatnya. Aku tahu biasanya aku selalu berdoa yang baik-baik, tetapi sekali ini aku berharap mereka hancur. Jika kamu mendengar hal lain, jangan lupa beri tahu aku, ya."

"Pasti. Tenang saja dan nikmati hari-harimu."

"Aku tenang sekarang. Jaga diri baik-baik. Sampai jumpa!"

"Sampai jumpa."

Bandung, 17 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun