Aku meneruskan informasi yang kuterima dari Nola tentang siapa dan duduk di mana mereka yang tersisa dipindahkan. Sesekali Rani memotong dan bertanya di mana si Anu ditempatkan, tetapi setelah dua tahun di-PHK, aku kesulitan mengingat nama dan wajah yang pernah setiap hari berjumpa.
"Bagaimana dengan kantor cabang Surabaya?" Rani bertanya.
"Masih bertahan dengan tiga orang. Nola sensitif banget waktu aku tanya tentang itu. Dia tidak bisa mengerti mengapa kantor sekecil itu harus tetap buka."
"Itu 'kan karena gedungnya punya keluarga bos. Kamu kira mereka mau kehilangan sumber penghasilan meski harus memotong keuntungan kantor pusat?"
"Kurasa tidak," aku mengakui kebenaran kata-katanya. "Tapi itu tidak masuk akal secara ekonomi."
"Sejak kapan 'masuk akal secara ekonomi' ada hubungannya dengan itu? Bagaimana dengan 'mitra perusahaan'?. Apakah mereka harus pindah juga?"
"Oh, yang itu. Mereka ikut pindah ke lantai satu bersama yang lain. Pak Binsar ditempatkan ke ruangan kecil di depan yang dulu dia gunakan sebelum menjadi Anggota Dewan Komisaris, tetapi yang lain semua di lantai satu. Lantai dua hanya akan digunakan untuk bertemu klien, begitu kata Nola. Lantai paling atas yang pernah di sewa perusahaan lain akan dibiarkan kosong."
Dia memberi komentar yang meremehkan tentang bangkrutnya perusahaan yang dulu begitu perkasa, dan kami tertawa bareng.
Rani begitu membenci Citra, yang di matanya hanya bisa bertahan dan mendaki dari mitra junior ke posisi yang lebih tinggi karena menjilat bos.
"Kamu tahu di mana mereka menempatkan teman lamamu Citra?"
Suaranya terdengar sangat antusias saat bertanya, "Di mana?"