Saya sedang mengancing lengan kemeja kerja pagi itu, ketika teringat percakapan saya dengan seorang rekan di kantor sehari sebelumnya.
Saya mengatakan bahwa pria dewasa sungguh sia-sia bermain dengan kereta api mainan.
"Sungguh sia-sia," kata saya, "pria dewasa bermain dengan kereta api mainan."
Rekan itu menjawab bahwa laki-laki dewasa bukan hanya bermain dengan kereta api mainan, tetapi juga menghabiskan puluhan juta untuk kereta api mainan, berlangganan majalah tentang kereta api mainan, membuat video tentang kereta api mainan dan mengunggahnya ke internet, membentuk komunitas penggemar kereta api mainan dan mengadakan muktamar tahunan.
Rekan itu tertawa. Saya tidak.
Seharusnya masalah itu selesai dengan saya tidak ikut tertawa, tetapi nyatanya, keesokan paginya, saya kembali memikirkannya.
Setelah melihat sekilas ke cermin, saya menuju ke tempat kerja. Saya berencana untuk singgah di 5Sec untuk mencucikan pakaian kotor, tetapi saya lupa berbelok dan melewatkan tikungan karena masih memikirkan tipe pria yang bermain dengan kereta api mainan.Â
Karena banyak kemeja kotor di kursi belakang, saya berputar dan kembali ke binatu. Saat itulah saya melihat papan nama toko hobi khusus mainan kereta api. Rekan itu tidak menyebutkan adanya toko kereta api mainan, padahal jaraknya hanya satu blok dari kantor kami. Sepertinya dia tidak ingin membuat saya marah.
Di kaca jendela ada dua tanda persimpangan kereta api. Merah dan kuning. Apa yang kemarin hanya imajinasi sekarang tepat berada di depan saya. Saya bukan tipe pria yang menyukai tantangan, tapi tanda OPEN adalah undangan yang sayang jika dilewatkan.
Saya mendorong pintu kaca dan terdengar siulan peluit kereta api.