Dahulu kala, kala masih dahulu, hiduplah seekor kodok bangkong di tepi danau yang terdapat di tengah hutan hujan semi lindung yang setengah perawan. Hari demi hari dia akan mengisi malam dengan suara tiga setengah oktafnya menyanyikan iklan tentang pelestarian alam.
Pada suatu malam di musim kemarau, seorang putri bangsawan mengenakan gaun polos tanpa simbol desainer baik berupa huruf terbalik ataupun hewan melata memutuskan untuk berjalan-jalan di hutan kediaman kodok bangkong tersebut. Ketika dia sampai di tepi kolam yang sejuk dan sedikit berbau metana akibat pembusukan daun yang gugur, dia duduk untuk beristirahat sejenak dan menghela napas panjang.
Dengan santai sang kodok meluncur dari tengah daun teratai di tengah kolam, datang menghampiri sang putri, yang helaan napasnya berubah menjadi erangan paling keras mengalahkan suara penghuni hutan lainnya.
Tidak tahan untuk berpura-pura tidak terganggu, kodok itu berseru:
"Mengapa kamu mengerang, putri?"
"Aku tidak mengerang. Aku hanya mendesah karena sedih, kecewa, sengsara dalam duka lara. "
"Baiklah. Apa yang membuatmu begitu sedih, kecewa, sengsara dalam duka lara sampai napasmu mendesah, putri? "
"Hidup," jawabnya.
"Kehidupan?"
"Betul. Kehidupan."
"Bisakah kamu menjelaskan lebih detail?"
Sang putri berpikir sejenak.
"Seluruh kehidupan."
Bingung oleh penjelasan yang tidak juga menambah jelas, kodok bangkong:
"Angkat aku dari air dan cium aku, maka aku akan berubah menjadi pangeran tampan, lalu kita menikah, dan kita akan bersama-sama memerintah kerajaanku dan hidup bahagia selamanya "
"Tidak, kodok bangkong," jawab sang putri, mengerutkan hidungnya jijik. "Aku sudah memiliki kerajaan. Aku memiliki panglima perang yang berani untuk memimpin tentara ke medan pertempuran. Aku memerintah dengan adil. Rakyatku sangat setia dan rajin bekerja, menghasilkan barang dan jasa untuk konsumsi dalam negeri dan ekspor. Taat membayar pajak. Aku tidak membutuhkan pangeran, tampan maupun kurang tampan. Apa lagi yang kamu tawarkan?"
"Angkat aku dari air dan cium aku," kata kodok bangkong, "dan aku akan memberikan kekayaan berupa perak dan emas juga perhiasan berharga sehingga kamu tidak akan pernah menginginkan apa pun lagi selama hidupmu."
"Tidak, kodok bangkong," jawab sang putri, sambil mengerutkan dahinya. "Aku memiliki menteri ekonomi, pertanian, industri dan perdagangan terbaik di dunia. Dewan penasehatku terdiri dari pakar-pakar lulusan universitas terbaik yang siap membantuku menyusun anggaran yang seimbang dengan pertumbuhan ekonomi yang baik dan suku bunga yang masuk akal. Kekayaan besar yang kamu tawarkan akan menciptakan inflasi yang melambung  dan melumpuhkan nilai tukar mata uang kami. Apa lagi yang bisa kamu tawarkan?"
"Angkat aku dan cium aku," kata kodok bangkong, "dan kamu akan mendapatkan kecantikan dan memiliki pesona yang luar biasa."
"Tidak, bangkong," jawab sang putri, sambil meremas sehelai daun yang dipegangnya. "Memang benar bahwa saya polos dan lugu dan tidak pintar dandan, tetapi cantik itu luka kata Eka Kurniawan, dan kecantikan cepat berlalu. Yang penting adalah tingkat intelektual, emosional, dan spiritual seseorang."
Kodok bangkong itu sekarang benar-benar frustrasi, akhirnya bertanya, "Lalu sebenarnya apa yang kamu inginkan, sih?"
Sang putri menjawab, "Aku ingin bahagia."
Lalu dengan lembut dia mengangkat kodok bangkong dari air kolam dan menciumnya.
"Aku telah menawarkan kamu cinta, kekuasaan, kekayaan dan kecantikan. Semuanya kamu tolak. Namun kamu ingin bahagia karena mencium seekor kodok?"
"Betul."
"Semoga beruntung," tawa kodok bangkong.
Lalu dia melompat dari tangan sang putri ke dalam kolam dan tidak pernah muncul lagi.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H