Museum Sejarah Jakarta dikenal juga sebagai Museum Fatahilah. Bangunan yang secara resmi berusia tiga ratus tujuh tahun ini menyimpan sejarah panjang penjajahan Belanda di indonesia.
Sebenarnya, bangunan ini pertama kali dibangun tahun 1627 sebagai Stadhuis (Balaikota) atas perintah Gubernur Hindia Belanda, Pieter de Carpentier. Saat pertama dibangun hanya bertingkat satu dan dididrikan di atas tanah yang tidak stabil. Pengganti sekaligus pendahulunya, Gubernur Hindia Belanda ke-4 dan ke-6, Jan Pieterszoon Coen yang dianggap sebagai pendiri kota Batavia dimakamkan di sini, sebelum dipindahkan ke Nieuw Hollandche Kerk (Museum Wayang sekarang).
Akhirnya Gubernur Jenderal Joan van Horn memerintahkan agar dibongkar dan dibangun ulang pada tahun 1707, meniru Paleis op de Dam di Amsterdam. Diresmikan pada tanggal 10 Juli 1710, dua tahun sebelum bangunan selesai seluruhnya.
Perluasan menyebabkan kota Batavia ditingkatkan statusnya Gemeente (kotapraja) Batavia dan aktivitas balai kota dipindahkan ke Tanah Abang West (sekarang jalan Abdul Muis No. 35, Jakarta Pusat) pada pada tahun 1913, sebelum dipindahkan lagi ke Koningsplein Zuid (sekarang Jl. Medan Merdeka Selatan No. 8-9, Jakarta Pusat) pada tahun 1919 sampai saat ini.
Pada tahun 1937, Stichting Oud-Batavia (Yayasan Oud Batavia) mengajukan rancangan untuk mendirikan museum sejarah dengan maksud mengoleksi, merawat dan memamerkan benda-benda yang berkaitan dengan sejarah Batavia. Maka pada tanggal 22 Desember berdirilah Oud Bataviaasche Museum yang dibuka untuk umum di Gedung Nieuw Hollandche Kerk (Museum Wayang sekarang), sebelum namanya menjadi Museum Djakarta Lama pada tahun 1952 di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia). Diserahkan kepada Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan RI tahun 1962, sebelum akhirnya dikelola oleh pemerintah DKI sejak 23 Juni 1968. Pada tanggal 30 Maret 1974, Gedung Stadhuis mendapat nama resmi Museum Sejarah Jakarta dan seluruh koleksi Museum Djakarta Lama dipindahkan ke sana.
Tak jauh dari pintu masuk terdapat diorama yang menggambarkan Peristiwa Penangkapan Pangeran Wijayakrama (Pangeran Jayakarta III) dan Penyerangan Kraton Jayakarta (30 Mei 1619).
Di pintu keluar, kita akan menemukan patung Hermes (Yunani) atau Mercurius (Romawi) memunggungi pengunjung yang hendak turun dari tangga belakang. Sebelumnya, patung ini terletak di Jembatan Harmoni yang menghubungkan Jl. Ir. H. Juanda dengan Jl. Veteran sebelum dipindahkan ke halaman belakang Museum ejarah Jakarta. Patung yang kini berada di Jembatan Harmoni merupakan duplikat dari patung aslinya.
Jadilah kami berenam melongok-longok sel penjara bawah tanah Museum Fatahilah. Dalam ruangan-ruangan yang sempit, pengap dan rendah itu konon dulu diisi antara 50 -- 70 tahanan. Segala kegiatan dilakukan di dalam sel tersebut, termasuk buang air kecil dan besar. Tak heran banyak tehanan yang gagal keluar hidup-hidup dari sana. Konon lagi, mayat-mayat tahanan kemudian dilemparkan ke dalam sumur yang terdapat di halaman belakang tersebut. Pangeran Diponegoro dan Tjoet Njak Dhien pernah ditahan di penjara ini.
Setelah puas melihat-lihat, kami berenam mengaso sejenak sambil menunggu satu orang Kompasianer lagi. Tak lama kemudian beliau yang dnanti-nanti muncul juga. Meski sama-sama berpangkat admiral di komunitas Indo Starstrek, namun beliau lebih senior dalam segala hal dari saya termasuk usia, sehingga saya tak lagi menjadi yang tertua di situ.
Karena peserta acara Jelajah Museum Kota Tua Bersama CLICKompasiana kini komplit sebanyak tujuh orang dari rencana delapan, maka selanjutkan kami menuju ke Museum Seni Rupa dan Keramik yang letaknya tak jauh dari Museum Sejarah Jakarta.
Â
Bandung, 23 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H