Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sapardi 77

25 Maret 2017   01:01 Diperbarui: 25 Maret 2017   09:00 2225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Yang fana adalah waktu.
    Kita abadi:
 menunggu detik demi detik,  
    merangkainya seperti bunga
 sampai pada suatu hari
 kita lupa untuk apa. 

“Tapi,
 yang fana adalah waktu, bukan?”
    tanyamu. Kita abadi. 

Sapardi Djoko Damono 

Apakah pujangga dapat dikatakan sebagai filsuf? Aku tak tahu pasti. Tapi aku menemukan filosofi dalam sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Berbeda dengan penyair yang meski ingin hidup seribu tahun bergentayangan, filsuf tak pernah mati. Mereka bermetamorfosa layaknya larva kepompong menjelma rama-rama, dan saat kita sangkakan mereka pergi kepak sayapnya menderu-deru di telinga.

Adakah Sapardi Djoko Damono yang berulang tahun ke-77 kemarin menjadi kepompong yang tidak menerima kondisi sendiri seakan-akan ringan tubuhnya adalah disiplin cantrik Shaolin dengan ilmu ginkang-nya, maka ia menerbitkan 7 (tujuh) buku sekaligus?

“Buku yang saya sukai adalah buku yang belum saya tulis,” katanya.

Sontoloyo. Ini ilmu tanpa nama Nagabumi. Ini namanya koppig mencari melalui hati nurani, berpura-pura memiliki masa depan untuk membersihkan ruang dimensi masa lalu yang bila entah mencapai penyelesaian.

Oh, aku menikmati pembacaan puisi. Aku menikmati musikalisasi puisi atau apa pun nama yang kalian berikan. Aku tenggelam sebagai ‘penggemar’, suatu hal yang sudah lama tak kurasakan. Menggemari adalah hal mahal. Butuh biaya, korban perasaan.

Bayangkan, untuk hadir di Bentara Budaya Jakarta, Rabu malam, 22 Maret kemarin, aku dan istriku membatalkan tiket Argo Parahyangan kelas eksekutif keberangkatan siang harinya. Berkat bujukan mas TS:

“Mau hadir di acara 77 Tahun SDD, enggak?”

YA MAU, DONG!

Tapi kami—aku dan istri—belum daftar. Belum registrasi.  

“Datang saja,” usul TS.

Nekad, dong.  Memang!

Aku yang mengaku sebagai Penyair Majenun memang tak perlu malu, datang tanpa undangan. Hanya sedikit malu-malu, ikut menyantap semangkuk soto Kudus.

“Belum kenyang?” tanya istriku. Kami baru saja makan mi Aceh goreng basah Bang Din di Kantin Palbar.

Malam Lebaran

Bulan di atas kuburan

Puisi Sitor Situmorang mewakili galauku malam itu. Ada 7 (tujuh) buku SDD terbit sekaligus, dan aku hanya punya duit untuk beli satu. Bukan salahku jika bulan di atas kuburan, tanggal tua kok dilawan! Konon pula Penyair Majenun: setiap tanggal tua bangka.

Selamat lahir kembali, mas Sapardi. 77 tahun masih teramat muda itu!

Boleh minta tanda tangan di buku baru?

dokpri
dokpri
Bandung, 25 Maret 2017  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun