Yang fana adalah waktu.
Kita abadi:
menunggu detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.“Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.Sapardi Djoko Damono
Apakah pujangga dapat dikatakan sebagai filsuf? Aku tak tahu pasti. Tapi aku menemukan filosofi dalam sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Berbeda dengan penyair yang meski ingin hidup seribu tahun bergentayangan, filsuf tak pernah mati. Mereka bermetamorfosa layaknya larva kepompong menjelma rama-rama, dan saat kita sangkakan mereka pergi kepak sayapnya menderu-deru di telinga.
Adakah Sapardi Djoko Damono yang berulang tahun ke-77 kemarin menjadi kepompong yang tidak menerima kondisi sendiri seakan-akan ringan tubuhnya adalah disiplin cantrik Shaolin dengan ilmu ginkang-nya, maka ia menerbitkan 7 (tujuh) buku sekaligus?
“Buku yang saya sukai adalah buku yang belum saya tulis,” katanya.
Sontoloyo. Ini ilmu tanpa nama Nagabumi. Ini namanya koppig mencari melalui hati nurani, berpura-pura memiliki masa depan untuk membersihkan ruang dimensi masa lalu yang bila entah mencapai penyelesaian.
Oh, aku menikmati pembacaan puisi. Aku menikmati musikalisasi puisi atau apa pun nama yang kalian berikan. Aku tenggelam sebagai ‘penggemar’, suatu hal yang sudah lama tak kurasakan. Menggemari adalah hal mahal. Butuh biaya, korban perasaan.
Bayangkan, untuk hadir di Bentara Budaya Jakarta, Rabu malam, 22 Maret kemarin, aku dan istriku membatalkan tiket Argo Parahyangan kelas eksekutif keberangkatan siang harinya. Berkat bujukan mas TS:
“Mau hadir di acara 77 Tahun SDD, enggak?”
YA MAU, DONG!
Tapi kami—aku dan istri—belum daftar. Belum registrasi.
“Datang saja,” usul TS.
Nekad, dong. Memang!
Aku yang mengaku sebagai Penyair Majenun memang tak perlu malu, datang tanpa undangan. Hanya sedikit malu-malu, ikut menyantap semangkuk soto Kudus.
“Belum kenyang?” tanya istriku. Kami baru saja makan mi Aceh goreng basah Bang Din di Kantin Palbar.
Malam Lebaran
Bulan di atas kuburan
Puisi Sitor Situmorang mewakili galauku malam itu. Ada 7 (tujuh) buku SDD terbit sekaligus, dan aku hanya punya duit untuk beli satu. Bukan salahku jika bulan di atas kuburan, tanggal tua kok dilawan! Konon pula Penyair Majenun: setiap tanggal tua bangka.
Selamat lahir kembali, mas Sapardi. 77 tahun masih teramat muda itu!
Boleh minta tanda tangan di buku baru?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H