Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bermula dari Canda Biasa

10 Juni 2021   09:52 Diperbarui: 10 Juni 2021   10:08 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hudsonshakespeare.org

Bermula dari tantangan Kompasianer senior mendiang mas Thamrin Sonata yang penulis hormati, sehingga pada waktu itu penulis tak bisa tidur. Daripada begadang percuma, maka lahirlah shakespearean sonnet corona ini.

Sonnet berasal dari Italia (sonetto) berupa stanza 14 baris, mempunyai struktur terukur (sepuluh ketukan/suku kata per baris) dan berima/bersajak. Shakespearean sonnet adalah varian yang diperkenalkan William Shakespeare dari Inggris.

Struktur Shakespearean sonnet terdiri dari 3 quatrain (stanza 4 baris) dan 1 kuplet (stanza 2 baris). Pola rimanya: abab cdcd efef gg.

Daur sonnet (sonnet cycle) adalah beberapa sonnet dalam satu judul sebagai kesatuan utuh. Penulis telah membuat sebuah shakespearean sonnet cycle dengan judul Oase Warna.

Sonnet mahkota (crown sonnet/sonnet corona) adalah lingkaran tujuh sonnet dengan baris akhir sonnet menjadi baris awal sonnet berikutnya. Baris penutup sonnet ke 7 (terakhir) adalah baris satu sonnet pertama.

 

Bermula dari Canda Biasa
 

(1)

bermula dari canda biasa
jemari kita bersentuhan,
arus listrik menyentak di dada;
rasanya aku terjatuh, pingsan

kutahu kau sandang reputasi,
perayu ulung bukan sekadar-
gelar kosong, tapi tlah terbukti,
kau ada, maka gosip beredar.

ku selalu dan selalu dengar
celoteh gadis sebut namamu
dirimu bagi mereka: pacar
ku tak sudi dibakar cemburu

hati yang kau remukkan, berapa?
mengigau namamu, selamanya.

(2)

mengigau namamu, selamanya
seperti lantunan mantra magis
jauhlah dariku, pindah kota,
jangan jadikan taruhan iblis

pergilah jauh, jangan kembali
biar ku lupa, kau pernah ada.
air mata yang turun di pipi?
satu sapuan, mengering sirna

ah, masih adakah yang menitik?
biar, tertutup rambut menjulai
melambai, dalam dada tercabik
tadi setitik, menganak sungai

masih terus mengalir, membanjir,
bayangmu tak pudar: ada, hadir.

(3)

bayangmu tak pudar: ada, hadir
penuhi relung, mengisi ruang
kau bawa daku ke titik nadir,
racau namamu berulang-ulang

o, kau buat segala merana!
tidur gelisah makanpun susah,
antara tidurku dan terjaga-
ku sebut namamu—bisik desah.

memandang kaki langit, langkahmu
berhembus angin barat, terpana—
senja yang turun di hutan bambu
kau mainkan suling ocarina.

maka ku tulis stanza berbaris
soneta lama: puisi liris

(4)

soneta lama: puisi liris,
kujadikan lagu duka lara
tangga nada di kanvas; melukis
hati yang telah tertipu cinta—

bukan, aku membohongi diri
siapa aku, tolak pesona?
seharusnya jujur pada hati
ketika getar merasuk sukma.

apakah terlambat? tanya hati
jangan membayang yang tidak-tidak
bisik renjana yang tak henti,
mendaras namamu rima detak

rindukan aku, aku merindu
kembalilah, aku kan menunggu.

(5)

kembalilah, aku kan menunggu.
meski terik mentari membakar
biarkan hujan badai menderu
aku di sini menanti, sabar

aku masih berdiri, menanti
berteman siang berkalang bintang
ramai yang lalu, ku tak peduli!
ku bahagia menanti, sayang

mungkin kakiku telah mengakar
tertanam di bumi, tak bergerak
terbelit sulur semak belukar,
kokoh berharap suatu kelak—

saat bayangmu menjelma hadir
stanza soneta sebagai takdir

(6)

stanza soneta sebagai takdir;
membawa mimpi semasa kecil
kau dan aku, minum teh secangkir,
bercengkerama di bawah kandil.

secangkir teh, habiskan berdua
pintar berkisah, mengalir lepas
aku terkikik mengumbar tawa
mungkin pertanda bukan berkelas

ceritakan tentang cita-cita
membumbung terbang tinggi ke langit
katamu kan mengajakku serta
mengambil sepotong bulan sabit

o, bulan sabit yang terselubung—
awan kelabu pembawa mendung!

(7)

awan kelabu pembawa mendung!
sadarkah, sudah tujuh purnama
aku menanti, jubah kerudung—
lapuk koyak diterpa cuaca?

masih menanti, ketika bayang
menjadi nyata di ujung jalan—
kau! akhirnya kembali pulang
kau berlari, aku rebah pingsan

lorong cahaya, butakan mata
o, ibu! ulurkan lah tanganmu,
satu suara menahan jiwa
mata terbuka, jumpa rupamu.

wajahmu begitu dekat, nyata
bermula dari canda biasa

 

Bandung, 19 Desember 2015

 

Catatan: Shakespearean crown sonnet di atas sudah pernah dimuat di linimasa media sosial penulis dan dibagikan pada laman grup Rumpies The Club.

 

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun