Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benjang, Salah Satu Gulat Tradisional Kita

18 Oktober 2022   12:30 Diperbarui: 19 Oktober 2022   15:40 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam hari menjadi waktu yang sering dipilih untuk diadakannya pertunjukkan Benjang ini dikarenakan pada siangnya para warga terlebih dahulu harus ada wawaran atau diberitahukan dengan cara menabuh Waditra di arena lokasi yang rencananya akan dilakukan pertunjukkan.

Wawaran dapat dilakukan dengan cara mengelilingi desa atau antar desa yang biasanya dibarengi dengan seni tradisional lain seperti bangbarongan, kuda lumping, dan kesweh. 

Terkadang pertujukkan Benjang itu juga diadakan sebagai bagian dari acara hajatan seperti khitanan atau pernikahan. Untuk khitanan sejak tahun 1938 seni Benjang juga diikutsertakan untuk mengarak anak yang sudah dikhitan dengan nama Benjang Helaran.

Puncak dari pagelaran Benjang terjadi pada tahun 1955 hingga 1965, masa itu tercatat cukup banyak diadakan pertunjukkan Benjang dengan durasi waktu yang bisa memakan waktu cukup lama sekitar 24 jam atau seharian penuh.

Akan tetapi mungkin ada hubungannya dengan berakhirnya Orde Lama, 1965 menjadi akhir masa kejayaan Benjang. Bisa jadi karena seperti halnya kesenian rakyat yang lain, Benjang dikonotasikan agak kekiri-kirian sehingga agak dicurigai oleh aparat Orde Baru. 

Ironis karena bisa jadi Benjang hanya menjadi komoditas politik kelompok tertentu namun kemudian justru dianggap menjadi bagian tidak terpisahkan dari kelompok tersebut oleh kelompok lawannya tanpa mengecek terlebih dahulu bagaimana akar sejarah dari Benjang sebagai bagian budaya yang lahir dari masyarakat adat sejak dahulu di daerah Jawa Barat.

Di era modern ini setelah pergantian era perpolitikan dimana saat ini dikenal sebagai era Reformasi yang konon dikenal karena lebih mengedepankan keterbukaan, diharapkan Benjang sebagai salah satu kearifan lokal yang patut dilestarikan tidak punah karena tergerus oleh derasnya budaya asing yang masuk ke Indonesia, termasuk semakin banyaknya beladiri dari luar yang masuk dan justru kelihatannya lebih digandrungi oleh anak-anak muda di masyarakat kita. 

Peran serta banyak pihak, termasuk masyarakat tradisional sangat diperlukan untuk mempertahankan eksistensi seni beladiri atau olahraga kesenian ini supaya tidak hilang ditelan zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun