Mohon tunggu...
Rizky Purwantoro S
Rizky Purwantoro S Mohon Tunggu... Lainnya - pegawai biasa

Membaca, mengkhayal dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benjang, Salah Satu Gulat Tradisional Kita

18 Oktober 2022   12:30 Diperbarui: 19 Oktober 2022   15:40 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benjang, bagi masyarakat Jawa Barat, tidak dikategorikan bukan sebagai olahraga beladiri murni, melainkan sebagai praktik seni budaya (Foto: Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)

Konon akar dari semua olahraga beladiri adalah gulat. Namun hal ini masih terdapat pro dan kontra lantaran tidak semua praktisi olahraga beladiri non-gulat dapat mengamini pendapat tadi, dan mereka pasti memiliki argumentasinya masing-masing.

Akan tetapi pasti ada alasan mengapa masih ada saja yang menganggap gulat sebagai awal mula setiap olahraga beladiri atau minimal sebagai jenis olahraga beladiri tertua dalam sejarah umat manusia.

Alasan tersebut biasanya didasarkan kepada bukti pra-sejarah yang telah ditemukan. Sebagai contoh, misalnya, gambar pahatan orang bergulat yang ada di gua Perancis diperkirakan telah berusia 15.000 tahun yang lalu.

Jika memang benar itu menunjukkan beladiri gulat seperti yang ada saat ini berarti gulat telah ada bahkan sebelum tulisan ditemukan. 

Kemudian beberapa mitologi dari Mesir dan Mesopotamia cukup banyak mengisahkan kegiatan dan pertandingan gulat, sebagai contoh kisah Gilgamesh yang telah dikenal di kalangan peneliti Eropa. 

Gilgamesh menceritakan bagaimana dirinya telah mempunyai keahlian bergulat yang mumpuni dan digunakannya dalam mengalahkan lawan-lawannya hingga akhirnya dikalahkan oleh Enkidu lewat pertandingan gulat juga. 

Lalu di Mesir Kuno juga ada beberapa catatan sejarah yang memperlihatkan bahwa gulat dijadikan sebagai salah satu pelatihan yang diberikan kepada para tentara dan terkadang bangsawannya supaya dapat menjadi bekal beladiri mereka apabila nanti diterjunkan di medan perang.

Cina sebagai salah satu tempat peradaban manusia tertua lahir juga tidak kalah dalam mengenal gulat. Ada yang memperkirakan jika gulat di Cina Kuno telah dikenal sejak tahun 2500 SM dan tidak hanya itu ada kemungkinan sejak itu gulat telah menjadi salah satu pelajaran yang diberikan pada anak-anak di sekolah.

Yunani merupakan salah satu negeri yang berjasa mengenalkan gulat ke seluruh dunia, termasuk sejak zaman kuno. Banyak sekali sumber sejarah yang menceritakan bagaimana gulat telah menjadi salah satu olahraga yang digemari warga Yunani pada masa itu. Contoh-contohnya terlihat pada gambar pegulat yang ada di koin dari Syracuse dan Alexandria. 

Plato sebagai salah satu filosofis legendaris dunia ternyata pernah mengikuti turnamen gulat yang pernah diadakan di Nema dan Delphi.

Ada juga tulisan-tulisan dari Quintus dan Humer yang menceritakan tentang bagaimana olahraga gulat telah dipraktekan oleh warga Yunani zaman kuno.

Di dalam sejarah Islam pun dapat ditemukan adanya praktek gulat yang dilakukan oleh banyak umat Islam pada sejarah awal mereka. Bahkan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin mereka juga menggemari gulat sebagai olahraganya sehingga pernah beberapa kali ikut berlatih gulat dengan sahabat-sahabatnya termasuk dengan Rukanah ibn Abd Yazid bin Hasyim yang merupakan salah satu pegulat terlatih pada waktu itu. 

Sebelum kedatangan Islam di Persia juga telah mengenal gulat sebagai suatu olahraga beladiri sejak 238 SM, dan ada beberapa catatan bahwa olahraga gulat memiliki nama sendiri yaitu Pehlivan.

Berdasarkan itu sumber-sumber sejarah itulah yang menyebabkan banyak praktisi beladiri berpendapat kalau gulat dinobatkan sebagai beladiri tertua.

Penyebaran gulat atau olahraga yang mirip dengan gulat juga sepertinya hampir ada di seluruh peradaban manusia, sebagian besar masyarakat tradisional di dunia ini pasti mempunyai olahraga yang gerakan atau tehniknya itu mirip dengan gulat. Hal itulah yang juga memperkuat alasan bahwa gulat bisa dianggap sebagai olahraga beladiri tertua.

Di Indonesia sendiri juga banyak ditemukan praktek-praktek olahraga pada masyarakat tradisional mereka. Diperkirakan hampir pada beberapa daerah dapat ditemukan adanya praktek gulat tradisional yang merupakan kearifan lokal pada masyarakat disana. 

Salah satunya adalah Benjang yang masih banyak dilestarikan prakteknya pada beberapa daerah di Kecamatan Cimenyan, Kecamatan Cileunyi, dan Kecamatan Cilengkrang yang berada di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Eksistensi praktik Benjang diperkirakan sudah ada sejak abad 19, waktu yang belum terlalu tua dibandingkan praktik yang sudah dilakukan pada beberapa peradaban kuno yang sudah diceritakan di atas.

Benjang pada masyarakat di sana, cenderung tidak dikategorikan bukan sebagai olahraga beladiri murni melainkan lebih sebagai praktik seni budaya.

Seperti halnya pada beladiri dan gulat tradisional menjadi warisan turun temurun yang telah berkembang dalam waktu yang cukup lama didalam masyarakat setempat. 

Kelihatannya hampir pada seluruh beladiri tradisional karena terkadang juga dianggap menjadi pertunjukkan yang dapat menghibur masyarakat maka sering diiringi dengan musik tradisional, dimana pada saat pertunjukkan Benjang juga hampir tidak pernah luput dari pengiringan alunan alat musik tradisional yang dinamakan Waditra.

Waditra ini terdiri dari beberapa alat musik seperti 1 buah kendang, 1 buah Terompet, 1 buah Bedug, 1 buah Krecek dan 4 buah Terebang.

Arti nama Benjang ini merupakan singkatan dari kata sasamben budak bujang yang dapat diartikan sebagai permainan yang dilakukan oleh para anak muda bujangan di amben atau bale, dimana anak muda bujangan ini sendiri terkadang ada juga yang menafsirkan sebagai pekerja atau budak perkebunan. 

Apabila kita melihat dari awal kemunculannya pada abad 19 yang masa itu memang banyak dibukanya perkebunan di daerah Jawa Barat dan penamaannya yang dapat diartikan sebagai pekerja atau budak, bisa jadi asal mulanya olahraga Benjang ini dilakukan oleh para pekerja perkebunan dalam rangka untuk menghibur diri pada saat mereka istirahat setelah sekian lama lelah bekerja.

Dapat dikatakan kalau Benjang bisa jadi lahir bukan sebagai beladiri praktis seperti yang ada pada beladiri modern atau beladiri turnamen seperti yang memang diciptakan untuk para atlit olahraga. 

Akan tetapi beladiri gulat ini lebih condong mendekat sebuah pertunjukkan tradisional yang diadakan sebagai hiburan bagi masyarakat yang memang pada masa tersebut hiburannya tidak sebanyak seperti sekarang. 

Hiburan ini menjadi bertambah penting dikarenakan masyarakat tempat lahirnya Benjang adalah masyarakat buruh atau pekerja kasar yang tidak memiliki akses kepada hiburan memadai, sehingga dengan sumber daya seadanya yang dimiliki maka lahirlah pertunjukkan Benjang ini.

Kalau mau dicari mana beladiri yang mirip mungkin adalah Capoeira, mengapa dianggap mirip karena sama-sama dipraktekkan oleh pekerja atau buruh perkebunan di sela waktu istirahat mereka dengan tujuan untuk menjadi pertunjukan yang menghibur.

Ditambah lagi dengan keberadaan musik tradisional yang tidak pernah absen dalam mengiringi pertunjukkan kedua jenis olahraga beladiri ini, sehingga menambah atraktif dan menarik bagi yang menonton.

Namun dalam perjalanannya, seperti banyak bela diri lainnya yang terus berevolsi, Benjang kemudian tidak lagi hanya menjadi pertunjukan para pekerja perkebunan saja.

Hal tersebut tak lepas dari perkebunan di daerah Jawa Barat yang sudah tidak terlalu terkenal lagi dan berakibat tidak lagi membutuhkan banyak pekerja kasar untuk dapat diekploitasi tenaganya. Tidak menutup kemungkinan banyak mantan pekerja perkebunan berpindah tempat dan profesi menjadi petani yang telah memiliki dan membuka lahan pertanian di dusunnya sendiri.

Maka sejak 1923 Benjang tidak lagi menjadi hiburan bagi para pekerja atau buruh perkebunan, akan tetapi praktiknya berpindah ke masyarakat pertanian dengan bukti beralihnya praktik pertunjukan Benjang menjadi ajang silahturahmi antarwarga, yang kemudian diadakan di pekarangan rumah, tanah lapang, ataupun persawahan. Penamaannya pun bertambah menjadi Benjang Gelut, yang berarti lebih menitikberatkan kepada gelut atau berkelahi dengan gulat.

Malam hari menjadi waktu yang sering dipilih untuk diadakannya pertunjukkan Benjang ini dikarenakan pada siangnya para warga terlebih dahulu harus ada wawaran atau diberitahukan dengan cara menabuh Waditra di arena lokasi yang rencananya akan dilakukan pertunjukkan.

Wawaran dapat dilakukan dengan cara mengelilingi desa atau antar desa yang biasanya dibarengi dengan seni tradisional lain seperti bangbarongan, kuda lumping, dan kesweh. 

Terkadang pertujukkan Benjang itu juga diadakan sebagai bagian dari acara hajatan seperti khitanan atau pernikahan. Untuk khitanan sejak tahun 1938 seni Benjang juga diikutsertakan untuk mengarak anak yang sudah dikhitan dengan nama Benjang Helaran.

Puncak dari pagelaran Benjang terjadi pada tahun 1955 hingga 1965, masa itu tercatat cukup banyak diadakan pertunjukkan Benjang dengan durasi waktu yang bisa memakan waktu cukup lama sekitar 24 jam atau seharian penuh.

Akan tetapi mungkin ada hubungannya dengan berakhirnya Orde Lama, 1965 menjadi akhir masa kejayaan Benjang. Bisa jadi karena seperti halnya kesenian rakyat yang lain, Benjang dikonotasikan agak kekiri-kirian sehingga agak dicurigai oleh aparat Orde Baru. 

Ironis karena bisa jadi Benjang hanya menjadi komoditas politik kelompok tertentu namun kemudian justru dianggap menjadi bagian tidak terpisahkan dari kelompok tersebut oleh kelompok lawannya tanpa mengecek terlebih dahulu bagaimana akar sejarah dari Benjang sebagai bagian budaya yang lahir dari masyarakat adat sejak dahulu di daerah Jawa Barat.

Di era modern ini setelah pergantian era perpolitikan dimana saat ini dikenal sebagai era Reformasi yang konon dikenal karena lebih mengedepankan keterbukaan, diharapkan Benjang sebagai salah satu kearifan lokal yang patut dilestarikan tidak punah karena tergerus oleh derasnya budaya asing yang masuk ke Indonesia, termasuk semakin banyaknya beladiri dari luar yang masuk dan justru kelihatannya lebih digandrungi oleh anak-anak muda di masyarakat kita. 

Peran serta banyak pihak, termasuk masyarakat tradisional sangat diperlukan untuk mempertahankan eksistensi seni beladiri atau olahraga kesenian ini supaya tidak hilang ditelan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun