Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

NU Studies, NU dan Muhammadiyah

1 Februari 2019   10:23 Diperbarui: 1 Februari 2019   21:03 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tanggal 31 Januari kemaren adalah hari lahir NU (Nahdlotul Ulama), organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan mungkin di dunia jika hanya dilihat berdasrkan jumlah massa yang dimiliki. Kemaren NU merayakan Harlah (hari lahirnya) yang ke-93. Meskipun tulisan ini telat sehari, tapi saya kira tidaklah mengapa.

Sebelum tahun 1980an NU barangkali  merupakan organisasi Muslim di Indonesia yang paling tidak mendapat perhatian dari para pengamat. Para ilmuwan Barat yang mengamati Indonesia pun pada awalnya lebih tertarik untuk mengamati kelompok-kelompok modernis seperti Muhammadiyah dari pada mengamati NU. Bagi mereka kelompok modernis lebih dinamis dan lebih menarik secara akademis.

Nama-nama seperti MT. Kahin, Harry J. Benda, James L. Peacock dan yang lainnya bahkan hampir-hampir tidak pernah menyinggung tentang NU. Demikian pula para akademisi lain. Para Ilmuwan Sosial Amerika yang datang ke Indonesia antara tahun 1950an samapai 1960an lebih teratrik pada gerakan modernisme Islam seperti Muhammadiya, Masyumi dan sama sekali mengabaikan NU.

Muslim tradisional, NU dan pesantrennya sering dianggap sebelah mata oleh para akademisi karena dianggap terlalu terbelakang, sehingga tidak pantas mendapatkan perhatian akademik. Dalam periode ini NU tidak hanya "terabaikan" secara akademis, namun juga sering disalah pahami.

Clifford Geertz dalam karyanya yang sangat terkenal The Religion of Java yang menggambarkan tradisi keagamaan masyarakat Jawa secara etnografis, ia justru menyebut muslim tradisional dan pesantren yang menjadi basis NU sebagai Muslim kolot, "anti modernisme", sebuah term yang benar-benar negatif.

Islam tradisional, pesantren sering digambarkan oleh para pengamat tak lebih sebagai "muslim kolot", "kaum sarungan", "cap kuburan" karena mereka sering berziarah kubur, dan gambaran-gambaran lain yang peyoratif. Bahkan pesantren digambarkan tak lebih sebagai tempat anak-anak ndeso yang belajar Al-Qur'an dan belajar dasar-dasar agama.

Anehnya pandangan-pandangan para ilmuwan Barat juga didukung oleh para akademisi dalam negeri yang mengkaji gerakan-gerakan Islam. Mungkin karena masih bias latar belakang. Kebanyakan pengkaji dalam negeri berlatar belakang modernis, seperti Deliar Noer, yang menulis Disertasinya pada 1960an, Mukti Ali (yang meskipun pernah belajar di pesantren Termas, Pacitan, dia adalah seorang tokoh Muhammadiyah) dan lain sebagainya.

Pada periode-periode ini memang hampir tidak ada akademisi yang berlatar belakang NU atau pesantren yang bisa memberikan penjelasan akademik tentang dunianya. Deliar Noer misalnya dalam karyanya yang terkenal, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 ia memberi kesimpulan yang sama sekali bias tentang kelompok tradisi, sebuah kelompok yang dipertentangkannya dengan kelompok modernis. Berikut 

"Golongan tradisi lebih banyak menghiraukan soal-soal agamanya, din atau ibadah belaka. Bagi mereka Islam seakan sama dengan Fikih...Walaupun golongan ini mengaku menjadi pengikut mazhab, umumnya Syafi'i, mereka umumnya tidak mengikuti ajaran pendiri mazhab itu langsung, melainkan ajaran imam yang datang kemudian, sering pula ulama yang menyimpang dari ajaran pendiri mazhab itu. 

Dalam rangka tasawuf, banyak dari golongan ini jatuh pada perbuatan yang termasuk syirk, mempersekutukan Tuhan dengan benda-benda. Mereka menghormati keramat, memberikan sajian-sajian, mengadakan slametan atau kenduri sebagai sedekah kepada arwah, memamkai azimat, jimat, atau tangkal penolak balak untuk melindungi diri, semuanya dengan akibat mengaburkan pengertian tauhid" (lihat Noer, 1982: 320 ).

Namun meskipun memberikan gambaran yang bias tentang kelompok tradional, Noer dalam kajian tersebut memberikan "sedikit" kontribusi kepada NU, dengan memberikan uraian sekilas tentang sajarah berdirinya organisasi Muslim tradisional tersebut.

Pada era Presiden Soeharto, NU tidak hanya terpinggirkan secara akademis, namun juga secara politik. Apalagi Suharto dalam kebiajakan-kebijakannya lebih banyak memihak ke Muhammadiyah dan cenderung mengesampingkan NU secara politis. Misalnya pada pemilu 1971 Soeharto mulai mengangkat menteri agama pertama kali dari Muhammadiya, Mukti Ali.

Kebijakan ini berlangsung hingga seterusnya. Padahal era-era sebelumnya Departemen agama terutama pada era presiden Soekarno merupakan patron yang penting bagi NU. Hal ini secara perlahan membuat NU terdepak dari Departemen Agama yang sebelumnya menjadi sumber patronasenya ( Martin van Bruinessen, NU, 204: 98-99).

Orde Baru juga melakukan pembersihan terhadap anggota-anggota DPR NU yang dianggap vokal. Demikian pula pemerintah-pemerintah lokal di seluruh Indonesia mulai memperlakukan anggota NU dengan penuh kecurigaan (Ibid., 101).

Adalah Benedict Anderson orang Barat pertama yang dianggap memberikan perhatian tentang NU. Dalam tulisannya yang berjudul "Religion and Pilitics in Indonesia since independence (1977) ia menyoroti tentang penelantaran-penelantaran ilmiah (scolarly prejudices) yang telah mengakibatkan penelantaran NU.

Selanjutnya muncul Mitsuo Nakamura, ilmuwan sosial dari Jepang, melalui tulisannya berjudul "The Radical Tradisionalism of Nahdlotul Ulama in Indonesia: A Personal Account of Its 26th National Congress, June 1979, Semarang", setelah sebelumnya diundang oleh Gus Dur untuk menghjadiri Mukatamar NU ke-26 di Semarang pada 1979.

Meskipun Nakamura sejatinya adalah seorang pengkaji Muhammadiyah yang serius. Catatan Nakamura tentang Muktamar ke-26 tersebut ditebitkan dalam Tonan Ajia Kenkyu (Southeast Asian Studies), volume 19, no 2, (CSEAS, Kyoto University, 1981).

Pada 1980 Zamakhsary Dhofier, seorang yang meski mungkin bukan santri, tapi berlatar belakang Muslim tradisional, muncul dengan Disertasinya "The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in the Maintenance of Traditional Ideology of Islam in Java" di Australian National University.

Kajian yang kemudian terbit dengan judul (bahasa Indonesia), Tradisi Pesantren: Studi Terhadap Pandangan Hidup Kyai (LP3ES, 1982), menggambarkan tentang pesantren dari perspektif muslim tradional bagaimana mereka memaknai dan memandang dunianya sendiri. Dhofier sejatinya juga ingin mengoreksi gambaran-gambaran akademis yang selama ini bias tentang pesantren dan muslim tradisional pada umumnya.

Berikutnya mulai bermunculan kajian-kajian akademis baik tentang pesantren maupun NU. Misalnya tulisan C. van Dijk, "Survey of Major Development in Indonesia-June 1892 to June 1983: The Nahdhatul Ulama Crisis and the General Session of People's Conggress" yang diterbitkan oleh jurnal Review of Indonesian and Malaysian Affairs, No 1, 1984.

Dari dalam negeri misalnya juga muncul, Einar Martahan Sitompul yang merupakan seorang kristiani dengan karyanya yang berjudul, NU dan Pancasila: Sejarah dan Peranan NU dalam Peranan Umat Islam dalam Rangka Penerimaan Pancasila sebagai Satu-Satunya Asas (Jakarta, Sinar Harapan: 1989).

Berikutnya ada pula Martin van Bruinessen, seorang akademisi dari Belanda yang pada 1990an mulai menerbitkan karya-karya tentang NU maupun tentang aspek-aspek tardisionalisme Islam secara umum, semisal "The 28th Congress of Nahdhatul Ulama: Power Strugle and Social Concern" yang diterbitkan oleh jurnal Archipel, Paris, No 41. Kemudian Kitab Kuning (Mizan, 1995) yang memetakan kitab-kitab yang diajarkan di pesantren-pesantren tradisional, dan beberapa karyanya yang lain. Hingga kini van Bruinessen kemudian menjadi pengamat Islam tradisional yang berbakat.

Pasca tahun 1980an tidak hanya pengkaji dari luar yang ramai-ramai mengkaji NU, Islam tradisional, ataupun pesantren, tapi juga pengakaji dari dalam. Pada periode ini akademisi-akademisi yang lahir dari rahim NU, pesantren atau setidaknya berlatar belakang Muslim tradisonal mulai bermunculan.

Mereka banyak yang kemudian mencurahkan perhatiannya pada dinamika internal NU, intelektualisme pesantren (lihat misalnya Abdurrahman Mas'ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, 2004), biografi intelektual tokoh-tokoh pesantren dan NU, manuskrip-manuskrip pesantren, dinamika pesantren hingga respon pesantren terhadap globalisasi.

Belakangan kajian-kajian tentang Tradisionalisme Islam, sangat banyak diminati. Jurnal-jurnal internasional di luar negeri yang paling bergengsi sekalipun sekarang beramai-ramai memuat kajian-kajian tentang Muslim tradisional, khususnya tentang pesantren. Bahkan tampaknya kini para pengkaji dari Barat pun mulai mengalihkan perhatian mereka dari modernisme Islam ke tradisonlisme Islam

Pesantren, NU, dan Islam tradisonal pada umumnya kini tidak lagi dilihat sebagai sebuah entitas yang "mandek" tetapi sebagai sesuatu yang dinamis dan memiliki vitalitas. Berikut misalnya pernyataan van Bruinessen yang mungkin sedikit bisa menggambarkan hal itu,

"Dalam kenyataannya, sebagian dari pemikir muslim paling menarik di Indonesia berasal dari latar belakang tradisionalis, bukan modernis. Abdurrahman Wahid, Mustofa Bisri, dan Masdar Farid Mas'udi---untuk menyebut tiga nama saja---adalah pemikir nonkonformis yang, justru karena mereka telah menjalani pendidikan tradisional di samping pengetahuan tentang dunia modern, telah memberikan sumbangan penting bagi wacana Islam di Indonesia" (van Bruinessen, NU, 2004).

Meskipun demikian NU, Pesantren, tampaknya tetap harus belajar kepada Muhammadiyah dalam mengelola rumah sakit-rumah sakit, perguruan tinggi serta lembaga sosial lainnya. Meski banyak pesantren-peantren di bawah NU atau paling tidak sepaham dengannya yang kemudian mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, dan perguruan tinggi, bahkan juga bank namun kebanyakan mereka masih banyak yang terkendala dari segi manegemen dan pengelolaan administrasi.

Dari sini mereka bisa saling menegok dan melengkapi. Muhammadiyah sekarang sangat sukses dalam mengelola perguruan tinggi, rumah sakit, namun mereka mengalami kelangkaan kader yang mampu memahami ilmu-ilmu keislaman dengan mendalam, melalui literatur-literatur klasik Islam (meskipun ada beberapa tokoh Muhammadiyah yang kompeten di bidang itu, namun jumlahnya mungkin tak semelimpah di kalangan NU).

Demikian pula NU, terutama melalui pesantren-pesantrennya tampaknya juga lebih siap dalam membendung ancaman radikalisme dan ekstrimisme yang tengah mengancam bangsa Indonesia. Sementara Muhammadiyah secara teologis menurut Nakamura masih belum jelas bagaimana akan bisa menahan dorongan puritannnya  yang kadang-kadang mendorongnya untuk menyelaraskan diri dengan permintaan ekslusif dari para Islamis yang 

merasa benar sendiri (Nakamura, Bulan Sabit Terbit di Atas  Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Sekitar 1910-2010, xxv1)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun