Pasca tahun 1980an tidak hanya pengkaji dari luar yang ramai-ramai mengkaji NU, Islam tradisional, ataupun pesantren, tapi juga pengakaji dari dalam. Pada periode ini akademisi-akademisi yang lahir dari rahim NU, pesantren atau setidaknya berlatar belakang Muslim tradisonal mulai bermunculan.
Mereka banyak yang kemudian mencurahkan perhatiannya pada dinamika internal NU, intelektualisme pesantren (lihat misalnya Abdurrahman Mas'ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, 2004), biografi intelektual tokoh-tokoh pesantren dan NU, manuskrip-manuskrip pesantren, dinamika pesantren hingga respon pesantren terhadap globalisasi.
Belakangan kajian-kajian tentang Tradisionalisme Islam, sangat banyak diminati. Jurnal-jurnal internasional di luar negeri yang paling bergengsi sekalipun sekarang beramai-ramai memuat kajian-kajian tentang Muslim tradisional, khususnya tentang pesantren. Bahkan tampaknya kini para pengkaji dari Barat pun mulai mengalihkan perhatian mereka dari modernisme Islam ke tradisonlisme Islam
Pesantren, NU, dan Islam tradisonal pada umumnya kini tidak lagi dilihat sebagai sebuah entitas yang "mandek" tetapi sebagai sesuatu yang dinamis dan memiliki vitalitas. Berikut misalnya pernyataan van Bruinessen yang mungkin sedikit bisa menggambarkan hal itu,
"Dalam kenyataannya, sebagian dari pemikir muslim paling menarik di Indonesia berasal dari latar belakang tradisionalis, bukan modernis. Abdurrahman Wahid, Mustofa Bisri, dan Masdar Farid Mas'udi---untuk menyebut tiga nama saja---adalah pemikir nonkonformis yang, justru karena mereka telah menjalani pendidikan tradisional di samping pengetahuan tentang dunia modern, telah memberikan sumbangan penting bagi wacana Islam di Indonesia" (van Bruinessen, NU, 2004).
Meskipun demikian NU, Pesantren, tampaknya tetap harus belajar kepada Muhammadiyah dalam mengelola rumah sakit-rumah sakit, perguruan tinggi serta lembaga sosial lainnya. Meski banyak pesantren-peantren di bawah NU atau paling tidak sepaham dengannya yang kemudian mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, dan perguruan tinggi, bahkan juga bank namun kebanyakan mereka masih banyak yang terkendala dari segi manegemen dan pengelolaan administrasi.
Dari sini mereka bisa saling menegok dan melengkapi. Muhammadiyah sekarang sangat sukses dalam mengelola perguruan tinggi, rumah sakit, namun mereka mengalami kelangkaan kader yang mampu memahami ilmu-ilmu keislaman dengan mendalam, melalui literatur-literatur klasik Islam (meskipun ada beberapa tokoh Muhammadiyah yang kompeten di bidang itu, namun jumlahnya mungkin tak semelimpah di kalangan NU).
Demikian pula NU, terutama melalui pesantren-pesantrennya tampaknya juga lebih siap dalam membendung ancaman radikalisme dan ekstrimisme yang tengah mengancam bangsa Indonesia. Sementara Muhammadiyah secara teologis menurut Nakamura masih belum jelas bagaimana akan bisa menahan dorongan puritannnya  yang kadang-kadang mendorongnya untuk menyelaraskan diri dengan permintaan ekslusif dari para Islamis yangÂ
merasa benar sendiri (Nakamura, Bulan Sabit Terbit di Atas  Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Sekitar 1910-2010, xxv1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H