Pada era Presiden Soeharto, NU tidak hanya terpinggirkan secara akademis, namun juga secara politik. Apalagi Suharto dalam kebiajakan-kebijakannya lebih banyak memihak ke Muhammadiyah dan cenderung mengesampingkan NU secara politis. Misalnya pada pemilu 1971 Soeharto mulai mengangkat menteri agama pertama kali dari Muhammadiya, Mukti Ali.
Kebijakan ini berlangsung hingga seterusnya. Padahal era-era sebelumnya Departemen agama terutama pada era presiden Soekarno merupakan patron yang penting bagi NU. Hal ini secara perlahan membuat NU terdepak dari Departemen Agama yang sebelumnya menjadi sumber patronasenya ( Martin van Bruinessen, NU, 204: 98-99).
Orde Baru juga melakukan pembersihan terhadap anggota-anggota DPR NU yang dianggap vokal. Demikian pula pemerintah-pemerintah lokal di seluruh Indonesia mulai memperlakukan anggota NU dengan penuh kecurigaan (Ibid., 101).
Adalah Benedict Anderson orang Barat pertama yang dianggap memberikan perhatian tentang NU. Dalam tulisannya yang berjudul "Religion and Pilitics in Indonesia since independence (1977) ia menyoroti tentang penelantaran-penelantaran ilmiah (scolarly prejudices) yang telah mengakibatkan penelantaran NU.
Selanjutnya muncul Mitsuo Nakamura, ilmuwan sosial dari Jepang, melalui tulisannya berjudul "The Radical Tradisionalism of Nahdlotul Ulama in Indonesia: A Personal Account of Its 26th National Congress, June 1979, Semarang", setelah sebelumnya diundang oleh Gus Dur untuk menghjadiri Mukatamar NU ke-26 di Semarang pada 1979.
Meskipun Nakamura sejatinya adalah seorang pengkaji Muhammadiyah yang serius. Catatan Nakamura tentang Muktamar ke-26 tersebut ditebitkan dalam Tonan Ajia Kenkyu (Southeast Asian Studies), volume 19, no 2, (CSEAS, Kyoto University, 1981).
Pada 1980 Zamakhsary Dhofier, seorang yang meski mungkin bukan santri, tapi berlatar belakang Muslim tradisional, muncul dengan Disertasinya "The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in the Maintenance of Traditional Ideology of Islam in Java" di Australian National University.
Kajian yang kemudian terbit dengan judul (bahasa Indonesia), Tradisi Pesantren: Studi Terhadap Pandangan Hidup Kyai (LP3ES, 1982), menggambarkan tentang pesantren dari perspektif muslim tradional bagaimana mereka memaknai dan memandang dunianya sendiri. Dhofier sejatinya juga ingin mengoreksi gambaran-gambaran akademis yang selama ini bias tentang pesantren dan muslim tradisional pada umumnya.
Berikutnya mulai bermunculan kajian-kajian akademis baik tentang pesantren maupun NU. Misalnya tulisan C. van Dijk, "Survey of Major Development in Indonesia-June 1892 to June 1983: The Nahdhatul Ulama Crisis and the General Session of People's Conggress" yang diterbitkan oleh jurnal Review of Indonesian and Malaysian Affairs, No 1, 1984.
Dari dalam negeri misalnya juga muncul, Einar Martahan Sitompul yang merupakan seorang kristiani dengan karyanya yang berjudul, NU dan Pancasila: Sejarah dan Peranan NU dalam Peranan Umat Islam dalam Rangka Penerimaan Pancasila sebagai Satu-Satunya Asas (Jakarta, Sinar Harapan: 1989).
Berikutnya ada pula Martin van Bruinessen, seorang akademisi dari Belanda yang pada 1990an mulai menerbitkan karya-karya tentang NU maupun tentang aspek-aspek tardisionalisme Islam secara umum, semisal "The 28th Congress of Nahdhatul Ulama: Power Strugle and Social Concern" yang diterbitkan oleh jurnal Archipel, Paris, No 41. Kemudian Kitab Kuning (Mizan, 1995) yang memetakan kitab-kitab yang diajarkan di pesantren-pesantren tradisional, dan beberapa karyanya yang lain. Hingga kini van Bruinessen kemudian menjadi pengamat Islam tradisional yang berbakat.