Akibat perbuatannya tersebut seluruh komponen partai gerindra dan juga koalisi pendukungnya berama-ramai menjadikan Ahok sebagai “musuh” bersama. Orang-orang yang dahulunya membangga-banggakan Ahok sebagai pemimpin muda yang jujur berbalik menyerang dan berusaha meralat ucapan mereka dengan mencari-cari kelemahannya. Sang Gubernur pun dibenturkan dengan berbagai macam kasus, mulai dari sumber waras hingga reklamasi pulau.
Ahok pernah mengatakan bahwa kasus sumber waras adalah “jebakan batman”. Ia merasa dijebak oleh orang-orang korup di lingkungan Pemprov DKI.
Begitu pun dengan kasus reklamasi pulau. Meski seorang menteri memvonisnya bersalah, ia tetap yakin bahwa tidak ada yang salah dalam reklamasi pulau tersebut.
Seakan hendak melindungi Ahok, Jokowi pun memecat menteri yang menyalahkan Sang Gubernur. Sontak para aktor berteriak. Tindakan tersebut menjadi pintu bagi para aktor untuk berkampanye bahwa Jokowi melindungi Ahok.
Kedua Ahok “sial” karena terlahir sebagai seorang cina dan kristen. Di berbagai kesempatan Ahok sering menyindir bahwa kesalahannya cuma dua, pertama cina dan kedua keristen. Dua kelemahan tersebut menjadi senjata kuat bagi para aktor.
Mereka menggunakan tangan orang ketiga untuk mengangkat isu SARA ini. Maka dimulai ‘serangan fajar’ berupa kampanye terselubung di medsos baik WA, FB maupun TWITTER. Isi kampanyenya berupa ajakan untuk tidak memilih Ahok sebagai Gubernur dengan “menjual” surah Al-Maidah ayat 51. Cara ini ternyata efektif, beberapa umat islam termakan ayat tersebut. Mereka pun menshare dan menyebarkan secara luas pesan tersebut.
Para aktor pun tersenyum karena mereka berhasil mempengaruhi umat Islam, dan senyum mereka semakin mengembang tatkala kelompok Islam ekstrim dan radikal terpengaruh. Karena memang sasaran utama mereka adalah kelompok radikal tersebut.
Namun sungguh di luar perkiraan para aktor ketika umat Islam yang semi moderat pun termakan isu tersebut. Ulama-ulama yang tidak suka demo dan unjuk rasa pun ikut terpengaruh.
Betul ungkapan yang mengatakn bahwa sebuah kebohongan apabila diucapkan dan disampaikan terus menerus dengan intensitas yang tinggi maka kebohongan tersebut akan dianggap sebagai kebenaran. Artinya bahwa opini yang salah akan menjadi benar apabila sering diucapkan dan ditafsirkan oleh banyak orang.
Tapi dalam dunia politik hal tersebut perlu dimaklumi, karena jangankan Indonesia yang baru belajar berdemokrasi, Amerika pun yang demokrasinya sudah ratusan tahun masih menggunakan isu SARA sebagai bahan dagangan mereka.
Coba bagaimana cara presiden Amerika terpilih Donald Trump dalam setiap kampanyenya. Ia sering menyinggung masalah agama dan etnis. Dalam satu orasinya ia berjanji akan mengusir semua imigran khususnya yang beragama Islam dari Amerika. Bahkan ia membakar kebencian kaum kulit putih terhadap kaum Islam, kaum cina dan kaum berwaran lainnya dengan mengatakan bahwa kaum kulit putih adalah kaum terhormat yang kini menjadi kelas dua karena memiliki presiden kulit hitam.