Mohon tunggu...
Yusuf Awwab
Yusuf Awwab Mohon Tunggu... -

Hidup tanpa prasangka buruk akan menumbuhkan kecintaan dan persaudaraan pada sesama manusia. Love For All Harted For None

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menunggu Hukuman untuk Ahok

11 November 2016   20:38 Diperbarui: 11 November 2016   20:41 1958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: nusanews.com

Seminggu berlau setelah aksi 4 November (411), publik dijanjikan bahwa kasus Ahok “selesai” dalam waktu dua minggu, artinya tersisa waktu seminggu lagi bagi aparat polisi untuk merealisasikan janji tersebut. Disisi lain Habib Rizieq sebagai koordinator dan ketua pembina Aksi 4 November akan mengancam melakukan aksi lagi pada tanggal 25 November jika pemerintah tidak juga memproses kasus Ahok.

Mereka menghendaki agar pemerintah berlaku adil terhadap kasus tersebut. Namun masalahnya adil menurut pemerintah berbeda dengan adil menurut kelompok pendemo. Bagi para pendemo ‘Adil’ dalam kasus Ahok adalah jika sang Gubernur ditangkap dan dipenjarakan. Hal ini tersirat dalam ucapan KAPOLRI, Jendral Polisi Tito Karnavian di ILC, bahwa para utusan aksi 4 November datang ke Istana Presiden saat demo dan meminta polisi segera menangkap Ahok saat itu juga. Sedangkan ‘adil’ menurut aparat polisi adalah melalui proses hukum, artinya jika terbukti bersalah Ahok akan dipenjara tapi sebaliknya jika tidak terbukti bersalah Ahok tidak layak masuk penjara.

Dilemanya adalah mendefinisikan kata KEADILAN dari dua kubu tersebut. Jelas bahwa keadilan yang diminta para pendemo adalah PENJARA. Tidak perduli seperti apa definisi keadilan menurut KAPOLRI, yang jelas Ahok itu penista agama dan harus dipenjara. Sementara bagi polisi bukan hanya bersalah, tapi jika Ahok terbukti tidak bersalah pun, kemudian bebas, itu juga merupakan KEADILAN.

Hal ini yang kemudian memunculkan kecurigaan bahwa Jokowi berusaha melindungi Ahok. Apalagi sebelumnya KAPOLRI mengungkapkan bahwa Ahok tidak bermaksud menistakan agama, sehingga semakin menguatkan kecurigaan dari kalangan mereka.

Kini seminggu sudah berlalu sejak peristiwa tersebut, kelanjutan kasus Ahok pun masih “misteri”.  Kelompok Aksi 4 November khususnya para “aktor” dibelakangnya sedang berharap cemas. Keputusan apa yang akan dijatuhkan kepada Ahok? Sementara kekhawatiran akan bebasnya Ahok menyeruak menyentuh rasa ketidak percayaan. Habib Rizieq meminta agar segera dilakukan gelar perkara. Pun demikian dengan permintaan “para aktor” yang lainnya. Bahkan Habib Rizieq mengancam akan melawan jika kasus Ahok tidak tuntas.

Jokowi mengabulkan permintaan sang Habib. Ia meminta KAPOLRI segera meyelesaikan kasus Ahok dan menyuruh sang Jendral untuk membuka gelar perkaranya secara live. Sontak seruan tersebut membuat dalang dan para aktor dibalik demo 411 gelagapan. Mereka tidak menduga akan seperti itu reaksinya.

Bak laron di musim hujan, orang-orang ini mulai bermunculan, satu per-satu dari mereka mengungkapkan keberatannya. Alasannya bahwa hal tersebut menyalahi aturan, juga tidak etis dan dapat membuat kekacauan serta keresahan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan ada yang beralasan bahwa tindakan tersebut dapat mengadu domba antar umat Islam, dan antar umat beragama.

Jokowi melalui KAPOLRI menegaskan bahwa tujuan live adalah agar masyarakat luas dapat mengikuti kasus tersebut secara transparan serta meyakinkan kepada rakyat jika tidak ada intervensi pemerintah di dalamnya.

Sebenarnya Ahok hanya tertimpa “sial” dari sekenario besar yang dirancang para aktor untuk melemahkan pemerintahan Jokowi. Apa buktinya? Banyak sekali, contohnya orasi Fahri Hamzah yang mengatakan Jokowi bisa dijatuhkan dengan dua cara yaitu Parlemen Ruangan dan Parlemen Jalanan.

Kemudian orasi Ahmad Dhani yang jelas-jelas menghina presiden dengan menyebutnya anj*ng. Belum lagi ancaman petinggi demokrat, Syarief Hasan, yang akan memakzulkan Jokowi karena mengatakan bahwa ada aktor politik dibalik demo 4 November. Ditambah dengan ucapan Fadzli Zhon, BamSoet, SBY dan masih banyak lagi, dan semuanya mengarah kepada muara yang sama yaitu Jokowi.

Sekali lagi bahwa Ahok hanya tertimpa sial. Kenapa? Karena pertama, Ahok “sial” telah mendukung Jikowi jadi presiden dan meninggalkan partai gerindra yang sebelumnya menjadi kendaraan politiknya. Padahal saat itu bos partainya juga maju dan mencalonkan diri sebagai presiden.

Akibat perbuatannya tersebut seluruh komponen partai gerindra dan juga koalisi pendukungnya berama-ramai menjadikan Ahok sebagai “musuh” bersama. Orang-orang yang dahulunya membangga-banggakan Ahok sebagai pemimpin muda yang jujur berbalik menyerang dan berusaha meralat ucapan mereka dengan mencari-cari kelemahannya. Sang Gubernur pun dibenturkan dengan berbagai macam kasus, mulai dari sumber waras hingga reklamasi pulau.

Ahok pernah mengatakan bahwa kasus sumber waras adalah “jebakan batman”. Ia merasa dijebak oleh orang-orang korup di lingkungan Pemprov DKI.

Begitu pun dengan kasus reklamasi pulau. Meski seorang menteri memvonisnya bersalah, ia tetap yakin bahwa tidak ada yang salah dalam reklamasi pulau tersebut.

Seakan hendak melindungi Ahok, Jokowi pun memecat menteri yang menyalahkan Sang Gubernur. Sontak para aktor berteriak. Tindakan tersebut menjadi pintu bagi para aktor untuk berkampanye bahwa Jokowi melindungi Ahok.

Kedua Ahok “sial” karena terlahir sebagai seorang cina dan kristen. Di berbagai kesempatan Ahok sering menyindir bahwa kesalahannya cuma dua, pertama cina dan kedua keristen. Dua kelemahan tersebut menjadi senjata kuat bagi para aktor.

Mereka menggunakan tangan orang ketiga untuk mengangkat isu SARA ini. Maka dimulai ‘serangan fajar’ berupa kampanye terselubung di medsos baik WA, FB maupun TWITTER. Isi kampanyenya berupa ajakan untuk tidak memilih Ahok sebagai Gubernur dengan “menjual” surah Al-Maidah ayat 51. Cara ini ternyata efektif, beberapa umat islam termakan ayat tersebut. Mereka pun menshare dan menyebarkan secara luas pesan tersebut.

Para aktor pun tersenyum karena mereka berhasil mempengaruhi umat Islam, dan senyum mereka semakin mengembang tatkala kelompok Islam ekstrim dan radikal terpengaruh. Karena memang sasaran utama mereka adalah kelompok radikal tersebut.

Namun sungguh di luar perkiraan para aktor ketika umat Islam yang semi moderat pun termakan isu tersebut. Ulama-ulama yang tidak suka demo dan unjuk rasa pun ikut terpengaruh.

Betul ungkapan yang mengatakn bahwa sebuah kebohongan apabila diucapkan dan disampaikan terus menerus dengan intensitas yang tinggi maka kebohongan tersebut akan dianggap sebagai kebenaran. Artinya bahwa opini yang salah akan menjadi benar apabila sering diucapkan dan ditafsirkan oleh banyak orang.

Tapi dalam dunia politik hal tersebut perlu dimaklumi, karena jangankan Indonesia yang baru belajar berdemokrasi, Amerika pun yang demokrasinya sudah ratusan tahun masih menggunakan isu SARA sebagai bahan dagangan mereka.

Coba bagaimana cara presiden Amerika terpilih Donald Trump dalam setiap kampanyenya. Ia sering menyinggung masalah agama dan etnis. Dalam satu orasinya ia berjanji akan mengusir semua imigran khususnya yang beragama Islam dari Amerika. Bahkan ia membakar kebencian kaum kulit putih terhadap kaum Islam, kaum cina dan kaum berwaran lainnya dengan mengatakan bahwa kaum kulit putih adalah kaum terhormat yang kini menjadi kelas dua karena memiliki presiden kulit hitam.

Ucapan provokatif tersebut membuahkan korban, setelah Trump dinyatakan menang, dua orang kulit putih dengan topeng bertuliskan “Make America Great Again”yang merupakan semboyan khas Trump menyerang seorang Mahasiswi Islam dengan memukul dan menarik kerudungnya. Mahasiswi Universitas Lousiana tersebut terpaksa harus dibawa ke rumah sakit.

Terlepas dari berbagai program dan janji yang disampaikannya, jelas bahwa Donald Trump paham jika isu SARA masih menjadi primadona di kalangan kelompok mayoritas di sebuah bangsa. Kita tidak bisa membayangkan seperti apa reaksinya jika yang menjadi presiden Amerika itu seseorang yang beragama Islam, pastinya akan banyak ‘hujatan’ dan ‘penganiayaan’ oleh kaum mayoritas Amerika.

Inilah realita yang ada, di belahan dunia dan bangsa manapun, setiap mayoritas ingin berkuasa dan secara naluria mereka tidak menghendaki dipimpin oleh minoritas, meskipun sang minoritas itu jujur, berintegritas dan luar biasa hebat.

Jadi jangan heran jika mayoritas akan mati-matian menolak minoritas. Dan mereka tidak perduli meskipun calon yang mereka usung tersebut korup, anti ras dan buruk citranya, asalkan bukan dari kaum minoritas mereka akan mendukungnya. Sekali lagi ini adalah realita yang ada di berbagai bangsa di dunia ini. Terlepas mayoritasnya tersebut dari segi etnis, agama dan ras yang jelas sama.

Jadi dari sudut pandang seperti itu, wajar jika keberadaan Ahok ditentang banyak pihak, khususnya dari kaum mayoritas Indonesia. Ini bukan karena Ahok tidak jujur, tidak cakap atau kurang integritas tapi karena Ahok itu Kristen dan Cina. Apalagi ditengah-tengah masyarakat sudah terbentuk opini yang kuat bahwa orang cina itu esklusif, tidak mau berbaur dengan masyarakat umum, juga mereka terkenal penjilat dan pengkhianat.

Meski opini tersebut tidak benar, karena semua itu kembali kepada sikap dan perbuatan masing-masing, dan bukan berdasarkan suku atau ras. Namun citra tersebut kadung melekat pada etnis tersebut. Padahal Ahok pernah memarahi dan menyuruh keluar PNS yang cekikikansaat lagu Indonesia raya dinyanyikan, baginya orang yang tidak serius dalam menyanyikan lagu Indonesia raya tidak pantas hidup di NKRI ini.

Dan terakhir Ahok “sial” karena termakan jebakan batman lawannya dengan mengutip surah Al-Maidah ayat 51 dalam lawatannya ke kepulauan seribu. “Sialnya” lagi Ahok mengupload pidato lawatannya tersebut ke youtube Pemprov DKI. Sehingga menjadi sasaran empuk bagi Buni Yani, yang ternyata pendukung calon presiden yang dikalahkan Jokowi, untuk memotong ucapan Ahok yang berisi surah Al-Maidah ayat 51 tersebut, dan menyebarkannya melalui jejaring sosial.

Para aktor bertepuk tangan, ibarat memancing mereka berhasil mendesak Ahok untuk memakan umpan yang mereka berikan.

Ahok ceroboh dan benar-benar ceroboh. Pidatonya dengan mengutip surah Al-Maidah ayat 51 adalah kecerobohan dan kesalahan. Ahok mungkin sudah biasa menghadapi sentimen agama, bahkan saat ia maju sebagai calon bupati belitung timur, surah Al-Maidah ayat 51 ini pun menjadi senjata bagi lawan-lawannya untuk menjatuhkannya. Tapi toh! Ia tetap melenggang bebas melangkah menduduki kursi  nomor satu.

Ahok harusnya sadar bahwa sejak ia memutuskan keluar dari partai Gerindra yaitu partai yang mengusungnya menjadi wakil Gubernur bersama Jokowi, maka sebenarnya ia telah menabur genderang perang dengan partai tersebut. Kemudian ketika ia mendukung Jokowi menghadapi mantan ‘bosnya’ dalam pemilihan RI satu, maka sesungguhnyu ia telah berhadapan dengan seluruh komponen koalisi dari partai tersebut. Satu lagi yang perlu dikhawatirkan Ahok adalah relawan, simpatisan dan pendukung militan bekas partainya yang sakit hati atas keluar dirinya dari partai tersebut.

Surah Al-Maidah ayat 51 merupakan umpan, dan umpan ini dimakan oleh Ahok. Meski Ahok telah secara tulus minta maaf kepada umat Islam. Dan sebagai bukti ketulusannya, ia dengan inisiatif sendiri pergi ke Bareskrim Polri agar kasusnya segera diusut dan diselesaikan. Sehingga atas tindakannya tersebut Yusril Ihza Mahendra dan Din Syamsuddin memberikan apresiasi kepadanya, dan menyerukan kepada umat Islam untuk memaafkannya. Namun permintaan maaf tersebut sudah tiak ada artinya. Pancing sudah terlanjur tersangkut pada bibir Ahok.

Disisi lain “para musuh” Ahok begitu gigih meneriakan isu penistaan itu, mereka benar-benar berhasil membakar kemarahan umat Islam, sehingga untuk meredam kemarahan tersebut para ulama dan tokoh masyarakat yang pro Ahok maupun yang berpandangan luas seperti KH.Said Aqil Siradj, Buya Syafi Ma’arif  dan Habib Quraisy Sihab terpaksa turun tangan untuk memberikan klarifikasi atas isi video tersebut. Mereka berkali-kali mengatakan bahwa tidak ada penistaan agama dalam pidato Ahok. Bahkan Imam Masjid Istiqlal, KH.Nasiruddin Umar menyampaikan kepada para pendemo Aksi 4 Nopember bahwa yang diucapkan Ahok tidak ada unsur penistaan.

Namun apa boleh dikata, video yang berdurasi kurang dari tiga menit yang dipotong oleh Buni Yani bukan hanya menyinggung hati umat Islam  pada umumnya, namun juga menimbulkan kesalahpahaman bagi para ulama yang berpikiran moderat seperti KH. Bachtiar Nasir, Syech Ali Jabar dan AAGym, yang akhirnya menuntut agar Ahok diadili.

Kini bola ada ditangan kepolisian. Ibarat umpan, Ahok sudah terlanjur menelannya. Meski Buya Safi Ma’arif, Habib Quraisy Sihab dan K.H. Said Aqil Siradj berusaha melepaskan umpan tersebut, namun yang ingin tetap Ahok memakan umpan tersebut juga banyak, dan mereka beramai-ramai sekuat tenaga menarik Ahok dengan umpan tersebut kepermukaan. Sekarang tinggal bagaimana cara polisi menanganinya. Mari kita lihat satu minggu kedepan, KEADILAN siapakah yang akan tegak. Keadilan versi pendemo atau keadilan versi polisi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun