Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal II-2021 yang mencapai 7,07 persen (yoy). Capaian ini memberikan nafas segar bagi pemulihan ekonomi Indonesia, mengingat untuk pertama kalinya ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan positif sejak pandemi Covid-19 di awal tahun 2020. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa Indonesia berhasil lolos dari jurang resesi. Bahkan angka tersebut tercatat sebagai pertumbuhan tertinggi sejak Kuartal IV-2004 yang sebesar 7,16 persen (yoy).Â
"Ah, itu kan gara-gara low-base effect. Jangan terlalu euforia lah!" Santer terdengar komentar yang memandang sebelah mata realita kali ini. Sebenarnya, apa sih "low-base effect" itu? Low-base effect adalah kondisi di mana suatu perubahan signifikan terjadi akibat basis perhitungan yang sangat rendah pada periode pembanding.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penyebaran Covid-19 yang tak terduga dari Wuhan-Tiongkok di akhir tahun 2019 menyebabkan berbagai efek domino. Tak hanya dari segi kesehatan, namun juga meluluhlantakkan perekonomian hampir seluruh dunia.
 Di Indonesia, penyebaran virus yang mulai teridentifikasi sejak Maret tahun lalu pun tak pelak berdampak pada tertekannya pertumbuhan ekonomi Kuartal II-2020 hingga minus 5,32 persen (yoy). Namun, kontraksi tersebut relatif moderat jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Amerika Serikat, Malaysia dan Filipina yang masing-masing mencapai negatif 9,1 persen (yoy), negatif 17,2 persen (yoy), dan negatif 13,3 persen (yoy).
Berbagai kebijakan luar biasa yang diambil Pemerintah dalam merespon pandemi ini berhasil mendongkrak kembali perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang perlahan membaik pada Kuartal III-2020 (-3,49 persen) dan Kuartal IV-2020 (-2,19 persen), sehingga pertumbuhan ekonomi tahunan pada 2020 mencapai minus 2,07 persen (yoy).Â
Selanjutnya, meski terkontraksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 relatif lebih baik dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi negara di Asia Tenggara yang berada pada minus 4,0 persen (yoy), berdasarkan data Asian Development Outlook pada April 2021.
Dalam memandang suatu realita, rasanya tak etis jika hanya menggunakan satu sudut pandang. Maka mari kita membuka mata lebih lebar dan melihat dari sisi lainnya.Â
Low-base effect bukanlah jaminan suatu negara mampu melakukan rebound. Tanpa peran stimulus fiskal dan berbagai kebijakan responsif lainnya, kita hanya akan menjadi pungguk yang merindukan bulan.Â
Yang ada, di saat hampir semua negara berangsur pulih, Indonesia akan tertahan di level yang sama, atau bahkan terpuruk lebih dalam. Peran APBN yang telah bekerja keras dalam menanggulangi dampak pandemi tentu patut diapresiasi.
Pemerintah melanjutkan upaya penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi di tahun 2021 melalui kebijakan countercyclical, dengan memperlebar defisit di atas 3 persen terhadap PDB. Di dalam APBN 2021, Pendapatan Negara diproyeksikan mencapai Rp1.743 triliun, sedangkan Belanja Negara dianggarkan sebesar Rp2.750 triliun. Secara alamiah, gap antara pendapatan dan belanja tersebut menimbulkan defisit anggaran sebesar Rp1.006 triliun atau 5,7 persen PDB, menurun dibandingkan realisasi defisit anggaran tahun lalu yang sebesar 6,1 persen PDB. Alokasi untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pun ditingkatkan dari Rp695,2 triliun di tahun 2020 menjadi 699,4 triliun di awal tahun 2021.
Upaya tersebut membuahkan hasil dengan memperkecil jurang kontraksi ekonomi Indonesia pada Kuartal I-2021, yaitu mencapai minus 0,71 persen (yoy). Selain itu, program perlindungan sosial yang diberikan Pemerintah melalui program PEN juga terbukti melindungi masyarakat miskin dan rentan, yang ditunjukkan dengan penurunan angka kemiskinan dari 10,19 persen pada September 2020 menjadi 10,14 persen pada Maret 2021.Â
Di sisi lain, Bank Dunia dalam laporannya "Indonesia Economic Prospects: Boosting the Recovery" di bulan Juni 2021, memproyeksikan tingkat kemiskinan di Indonesia dapat mencapai 11,2 persen di tahun 2021 tanpa perluasan program perlindungan sosial.
Sinyal positif pemulihan ekonomi pada Kuartal II-2021 terlihat baik dari sisi pengeluaran maupun Lapangan Usaha (LU). Dari kelompok pengeluaran, pertumbuhan ekonomi terutama didorong pertumbuhan ekspor yang mencapai 31,78 persen (yoy). Kinerja ekspor yang cukup menggembirakan ini sejalan dengan pemulihan ekonomi global, khususnya di negara mitra dagang.Â
Pembukaan kembali ekonomi (reopening) di beberapa kawasan mendorong permintaan komoditas ekspor, baik migas dan nonmigas.Â
Sementara itu, nilai impor juga mengalami pertumbuhan ditopang impor bahan baku dan barang modal. Hal ini diharapkan menjadi indikasi mulai bergeraknya aktivitas produksi domestik.
Tak kalah pentingnya, konsumsi Pemerintah dan Rumah Tangga yang menjadi tonggak pertumbuhan ekonomi juga mengalami pertumbuhan masing-masing mencapai 8,06 persen (yoy) dan 5,93 persen (yoy). Pertumbuhan tersebut tak lepas dari berbagai insentif dan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah, serta peningkatan mobilitas masyarakat seiring momentum bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan libur tahun ajaran baru bagi pelajar.
Pemulihan ekonomi juga semakin terlihat nyata ditinjau dari kinerja kelompok LU yang menunjukkan pertumbuhan pada seluruh komponen, terutama didorong oleh Industri Manufaktur (6,6 persen). Hal ini sejalan dengan Purchasing Manufacturing Index (PMI) Manufaktur yang melanjutkan tren positif di zona ekspansi sejak November 2020, yaitu di angka 53,5 pada akhir Semester I-2021.Â
Sektor lainnya seperti industri Perdagangan (9,4 persen), Transportasi dan Pergudangan (25,1 persen), serta Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum (21,6 persen) juga berkontribusi besar terhadap perbaikan ekonomi dari sisi produksi. Beberapa sektor yang mendukung aktivitas di tengah pandemi Covid-19 seperti kesehatan serta komunikasi dan informasi juga terus melanjutkan pertumbuhan, masing-masing mencapai 11,6 persen dan 6,9 persen.
Jika dicermati lebih lanjut, pemulihan ekonomi Indonesia juga didukung oleh bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Indonesia berhasil menjaga inflasi di tingkat yang rendah, di saat negara lain khususnya negara maju mengalami peningkatan. Inflasi Indonesia bulan Juni 2021 terkendali di tingkat 1,3 persen, sementara inflasi di negara peers seperti Malaysia dan Filipina lebih tinggi, yaitu 3,4 persen dan 4,1 persen. Bahkan, inflasi di Amerika Serikat terus melonjak hingga 5,4 persen pada periode yang sama.
Benar bahwa capaian ini tidak lantas menjadi alasan untuk tenggelam dalam euforia. Satu hal yang pasti, bahwa pandemi belum usai. Pun bayang ketidakpastian akibat berbagai gejolak dan risiko masih perlu terus diwaspadai, terutama adanya ancaman virus yang terus bermutasi.Â
Melansir dari katadata (2021), hasil studi tim peneliti gabungan dari World Health Organization (WHO), London School of Hygiene and Tropical Medicine, dan Imperial College London menunjukkan bahwa virus Corona varian Delta memiliki tingkat penularan lebih tinggi 97 persen dibandingkan varian aslinya, disusul tingkat penularan varian Kappa (lebih tinggi 48 persen), varian Gamma (lebih tinggi 38 persen), serta varian Alfa (lebih tinggi 29 persen) dan varian Beta (lebih tinggi 25 persen).
Penularan varian virus Delta yang lebih masif dan ganas ini mau tak mau membuat Pemerintah kembali mengeluarkan aturan pembatasan sosial yang disebut dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali mulai dari tanggal 3 Juli 2021. Seiring dinamika kasus Covid-19 yang masih berfluktuasi, aturan PPKM Darurat pun mengalami beberapa penyesuaian, antara lain diperluas hingga ke 15 daerah di luar Jawa-Bali, serta mengalami pergantian istilah menjadi PPKM Level 3 dan Level 4, dan terus diperpanjang hingga 30 Agustus 2021.Â
Aturan ini tentu menjadi sebuah dilema yang sangat besar bagi Pemerintah, karena dengan adanya pembatasan aktivitas secara alamiah kegiatan ekonomi juga ikut terhambat. Namun jika diharuskan memilih, tentu keselamatan dan kesehatan masyarakat jauh lebih utama di atas segalanya, sehingga opsi pembatasan adalah jalan keluar yang paling logis untuk ditempuh saat ini.
Meski demikian, pembatasan aktivitas bukanlah satu-satunya langkah yang ditempuh Pemerintah. Pemerintah menyadari bahwa aturan ini akan menyulitkan sebagian rakyatnya, terutama kelompok menengah ke bawah. Maka dari itu, APBN 2021 yang disusun agar dapat responsif menangani pandemi dan pemulihan ekonomi, hadir dengan fleksibilitasnya untuk mengakomodir peningkatan kebutuhan penanganan kesehatan dan perlindungan sosial melalui peningkatan alokasi dana PEN dari yang semula Rp699,4 triliun menjadi Rp744,7 triliun.
Peningkatan alokasi tersebut digunakan untuk memperluas jangkauan penerima sekaligus menambah manfaat beberapa jenis bantuan yang diberikan Pemerintah, antara lain: pemberian Kartu Sembako kepada 18,8 juta keluarga sebesar Rp200.000/bulan selama 12 bulan, di mana pada bulan Juli dan Agustus dibayarkan sebanyak 2 kali, pemberian Diskon Listrik kepada 32,6 juta Rumah Tangga yang awalnya diberikan selama 9 bulan (Januari -- September) menjadi 12 bulan (Januari-Desember), Subsidi Kuota Internet kepada 38,1 juta Penerima yang awalnya diberikan selama 5 bulan (Januari-Mei) menjadi 12 bulan (Januari-Mei, dan Agustus-Desember), pemberian Kartu Prakerja yang awalnya kepada 5,6 juta Orang, diperluas menjadi 8,4 juta Orang serta pemberian manfaat tambahan berupa Bantuan Subsidi Upah kepada 8,4 juta Orang.Â
Selain itu, Pemerintah juga memberikan manfaat baru berupa Bantuan Beras Bulog kepada 10 juta Keluarga Penerima BST dan 18,8 juta Keluarga Penerima Kartu Sembako sebanyak 10kg/keluarga serta Kartu Sembako PPKM kepada 5,9 juta Keluarga Usulan Pemda sebesar Rp200.000/bulan selama 6 bulan (Juli-Desember).Â
Di sisi kesehatan, Pemerintah juga secara signifikan meningkatkan 3T (Testing, Tracing, Treatment), serta terus menambah kapasitas tempat tidur, tabung oksigen, tenaga kesehatan, dan peralatan kesehatan lainnya yang diperlukan di tengah lonjakan kasus.
Perjalanan memulihkan masyarakat dan ekonomi dari pandemi Covid-19 memang tak mudah dan membutuhkan waktu yang tak sebentar. Selain itu, dukungan dan sinergi semua pihak sangat diperlukan, mulai dari pemerintah dan otoritas, tenaga kesehatan, serta yang tak kalah penting, adalah kerja sama dari berbagai lapisan masyarakat.Â
Peran serta masyarakat untuk terus menerapkan dan mematuhi protokol kesehatan, serta kesadaran untuk melakukan vaksinasi merupakan game changer untuk membalik keadaan saat ini. Dengan protokol kesehatan yang baik dan program vaksinasi yang merata, kekebalan komunitas akan segera terbentuk, sehingga penularan virus dapat segera ditekan dan kasus Covid-19 semakin menurun.
Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah terus mengoptimalkan fungsi APBN sebagai instrumen utama untuk melindungi masyarakat. APBN disusun agar fleksibel dan kompatibel terutama dalam merespon dinamika Covid-19 melalui keberlanjutan program Penanganan Kesehatan, Perlindungan Sosial, dan UMKM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H