Aku masih mencoba berkelih, "Tapi, 'kan, sebaiknya nggak jalan-jalan kalau nggak butuh beli apa-apa?"
"Udah new normal, kali. Nggak usah takut!"
"New normal, 'kan, nggak sama dengan virusnya udah hilang."
"Denis nggak seru!"
Aku hanya menatap ponsel dengan panggilan yang sudah dimatikan. Sementara teman-teman mulai menjauhiku karena mereka menganggapku culun punya, karena aku tidak bisa bergaul, dan karena aku terlalu percaya Corona.
Sementara ibuku masih meneleponku setiap dua hari sekali sambil menangis karena merasa kelelahan---dan aku cuma bisa diam di rumah sambil menunggunya pulang. Karena malam yang dingin dan beku tak pernah lebih mematikan selain jika ibu tak ada di sisiku. Sementara televisi masih menayangkan berita-berita yang tak pernah kupaham benar tidaknya, dan media-media yang menampilkan berita huru-hara.
Dan orang-orang masih mendebatkan apakah corona ada atau tidak ada, sementara ibuku bahkan tak punya cukup waktu untuk pulang, makan, ataupun sekadar buang air. Orang-orang tak banyak berperan, dan mereka masih sibuk mendebatkan tentang bagaimana seharusnya kita bersikap. Sementara aku, masih tidur setiap malam, menangis karena merindukan ibuku.
---
"Minggu depan ibu dapat libur dua minggu, Nak!" suara ibuku tampak ceria di ujung panggilan sana. Aku yang masih menyiapkan roti untuk sarapanku sendiri tersenyum.
"Asik!"
"Kamu belanja bahan-bahan makanan, ya, Nak. Nanti ibu masakin yang enak." kata ibuku. Aku mengangguk walau ibuku mungkin tidak melihatnya---tapi aku ingin meyakinkan diri bahwa aku senang sekali.