Orang-orang bilang, virus itu tidak pernah ada. Tapi sejak Maret, aku hanya bisa bertemu ibuku sekali dalam satu bulan. Pun itu hanya dalam jarak pandang yang terbatas; aku tak bisa merengkuhnya, aku tak bisa menyentuh pipinya, aku tak bisa memeluknya dan dia mengecup keningku. Semua yang terjadi di antara kami terbatas antara alat pelindung kesehatan yang dia kenakan dan batas-batas di ruang isolasi.
Tapi, mereka sibuk berkoar-koar. Seolah tahu, seolah yang paling paham; seolah mereka tidak akan pernah kehilangan siapa-siapa, atau tidak takut kehilangan siapa-siapa, seperti aku takut kehilangan ibuku setiap hari. Karena ibuku selalu bilang, "virus ini bersembunyi di baju berlapis yang dikenakan Ibu. Kamu harus bersiap kehilangan ibu kapan saja."
Dan, mana bisa, orang-orang itu berkata; virus itu tidak ada?
Di televisi, pasien-pasien positif dikabarkan setiap hari---tapi aku tidak pernah tahu, kenapa media tidak menjelaskan seperti yang dijelaskan ibuku? Media memberikan berita yang diinginkan masyarakat, tapi tidak yang dibutuhkan masyarakat. Karenanya aku muak menonton televisi, tiap sore aku hanya menunggu ibuku kembali; walau aku tahu aku hanya akan terlelap dan bangun keesokan harinya, dengan keadaan sendiri.
Di sosial media, orang-orang sibuk berdebat tentang bagaimana harusnya virus itu disikapi. Jaga jarak, tidak berkerumun, dan tidak-tidak yang lainnya. Tapi, satu orang dengan pengaruh, memberikan informasi palsu---memberikan rekayasa pemahaman, bahwa virus ini tidak semembahayakan yang ditakutkan orang-orang. Bahwa kita tidak perlu panik, bahwa kita tidak perlu memakai masker, bahwa kita tidak perlu menganggap wabah ini masalah yang serius. Tapi mereka tidak mengerti betapa pengap ibuku hidup setiap hari dibalik lapisan-lapisan baju dan masker yang selalu lebih dari satu. Mereka ringan dengan ketikan sementara ibuku bisa saja mati setiap harinya untuk menyelamatkan banyak kehidupan.
Sementara aku, masih menunggu ibuku kembali---di depan rumahku setiap hari---saat orang lain mulai beraktivitas seolah-olah virus itu tidak akan membuat mereka mati. Tak ada masker karena mereka takut wajah cantiknya tertutup, tak ada jaga jarak karena mereka merindukan teman maupun keluarga mereka. Dan aku, hanya bisa menunggu sambil mematuhi ibuku.
"Ibu pasti pulang," bulan lalu, begitu kata ibuku. Jadi aku tenang sebab ibu sendiri yang berjanji bahwa dia akan kembali.
Pernah saat warga internet sibuk mendebatkan konspirasi corona dan meragukan keberadaannya, ibu meneleponku dengan suara serak seperti habis menangis. Ibu hanya sesenggukan dalam panggilan itu dalam dua menit pertama panggilannya kuangkat.
Saat aku berbisik, "Bu?"
Aku bisa mendengar hela napasnya yang berat. Aku tahu ibuku lelah, tapi saat ini rasanya dia dua juta kali lebih lelah dari biasanya.
"Ada apa, Ibu?"
Masih ada sedikit isakan, tapi dari suaranya, aku tahu ibu berusaha menenangkan diri. "Sahabat ibu ada yang meninggal dunia."
Kini, giliranku yang menangis. "Siapa, Bu?"
"Dokter Ida," ibu menyelesaikan kata-katanya dan kemudian menangis.
Aku kenal Dokter Ida, salah satu dokter paling cemerlang yang pernah aku temui seumur hidup. Kariernya sedang naik, masih muda, cekatan, dan aktif dalam penelitian-penelitian yang hasilnya sanga siginfikan terhadap perkembangan dunia kedokteran. Kini, Dokter Ida sudah tiada. Aku bisa bayangkan betapa sedihnya ibuku dan teman-teman sejawatnya.
"Positif, Bu?"
"Iya," ibu menghentikan bicaranya untuk kembali sesenggukan. "Kecapekan, dan positif. Di sini kami harus mengobati ratusan pasien setiap hari, tidak berhenti."
Ibuku menutup sambungan telepon saat ada pasien lain datang. Sementara aku melanjutkan tangisku sendirian.
----
Teman-temanku bilang, tak perlu percaya Covid. Mereka membujukku untuk kembali jalan-jalan ke mall dan nongkrong.
"Tapi aku nggak butuh beli apa-apa ke mall?"
"'kan jalan-jalan aja, Denis. Nggak harus beli apa-apa?" temanku berbicara dari sambungan telepon sana.
Aku masih mencoba berkelih, "Tapi, 'kan, sebaiknya nggak jalan-jalan kalau nggak butuh beli apa-apa?"
"Udah new normal, kali. Nggak usah takut!"
"New normal, 'kan, nggak sama dengan virusnya udah hilang."
"Denis nggak seru!"
Aku hanya menatap ponsel dengan panggilan yang sudah dimatikan. Sementara teman-teman mulai menjauhiku karena mereka menganggapku culun punya, karena aku tidak bisa bergaul, dan karena aku terlalu percaya Corona.
Sementara ibuku masih meneleponku setiap dua hari sekali sambil menangis karena merasa kelelahan---dan aku cuma bisa diam di rumah sambil menunggunya pulang. Karena malam yang dingin dan beku tak pernah lebih mematikan selain jika ibu tak ada di sisiku. Sementara televisi masih menayangkan berita-berita yang tak pernah kupaham benar tidaknya, dan media-media yang menampilkan berita huru-hara.
Dan orang-orang masih mendebatkan apakah corona ada atau tidak ada, sementara ibuku bahkan tak punya cukup waktu untuk pulang, makan, ataupun sekadar buang air. Orang-orang tak banyak berperan, dan mereka masih sibuk mendebatkan tentang bagaimana seharusnya kita bersikap. Sementara aku, masih tidur setiap malam, menangis karena merindukan ibuku.
---
"Minggu depan ibu dapat libur dua minggu, Nak!" suara ibuku tampak ceria di ujung panggilan sana. Aku yang masih menyiapkan roti untuk sarapanku sendiri tersenyum.
"Asik!"
"Kamu belanja bahan-bahan makanan, ya, Nak. Nanti ibu masakin yang enak." kata ibuku. Aku mengangguk walau ibuku mungkin tidak melihatnya---tapi aku ingin meyakinkan diri bahwa aku senang sekali.
"Nanti ibu tes dulu, yah. Ibu kabari lagi."
"Iya, Bu. Denis mau belanja, ini."
"Ya sudah."
Saat panggilan ditutup, aku segera mengambil dompet dan melangkahkan kakiku menuju supermarket.
---
"Denis, ibu positif." Aku baru saja meletakkan barang belanjaanku saat ibu tiba-tiba meneleponku lagi untuk mengabari bahwa dia positif.
"Jadi gimana, Bu?" tanyaku.
"Ibu harus isolasi. Maaf, ya ... gak jadi pulang."
Aku sudah menggigit bibir sambil menahan tangis---tapi aku tidak ingat membuat ibuku khawatir. "Iya, Bu. Nggak apa-apa."
"Tapi Ibu pasti pulang."
"Iya, Bu."
Dan saat panggilan ditutup, aku melanjutkan penantian akan kedatangan ibuku sambil menatap langit yang kini mulai menggelap. Sementara, orang-orang masih meragukan apakah Corona ada atau tidak, aku masih memikirkan; bagaimana caranya aku bisa segera bertemu ibuku kembali.
Karena seminggu setelah itu,
Ada panggilan yang masuk ke teleponku. Kata-katanya hanya satu kalimat, sementara yang gugur adalah seluruh duniaku;
"Ini Denis, anaknya Dokter Nana?"
"Iya."
"Dokter Nana meninggal dunia."
Runtuh dan luluh lantak. Tak kudengar lagi apapun selain gemuruh yang melanda dada dan kepalaku---sementara kusaksikan seluruh duniaku menjadi keping. Ada yang terenggut dari dadaku, seperti jantungku pelan-pelan berhenti, organku pelan-pelan tak berfungsi; rasanya, seperti aku yang mati.
Sebab ibuku kini, tak akan kembali. Dan aku, tak bisa, bahkan untuk sekadar mengunjunginya yang terakhir kali.
Sementara kubiarkan panggilan itu tetap bersuara, dan aku menangis dalam sunyi;
Karena aku tahu ibuku tak akan kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H