Masih ada sedikit isakan, tapi dari suaranya, aku tahu ibu berusaha menenangkan diri. "Sahabat ibu ada yang meninggal dunia."
Kini, giliranku yang menangis. "Siapa, Bu?"
"Dokter Ida," ibu menyelesaikan kata-katanya dan kemudian menangis.
Aku kenal Dokter Ida, salah satu dokter paling cemerlang yang pernah aku temui seumur hidup. Kariernya sedang naik, masih muda, cekatan, dan aktif dalam penelitian-penelitian yang hasilnya sanga siginfikan terhadap perkembangan dunia kedokteran. Kini, Dokter Ida sudah tiada. Aku bisa bayangkan betapa sedihnya ibuku dan teman-teman sejawatnya.
"Positif, Bu?"
"Iya," ibu menghentikan bicaranya untuk kembali sesenggukan. "Kecapekan, dan positif. Di sini kami harus mengobati ratusan pasien setiap hari, tidak berhenti."
Ibuku menutup sambungan telepon saat ada pasien lain datang. Sementara aku melanjutkan tangisku sendirian.
----
Teman-temanku bilang, tak perlu percaya Covid. Mereka membujukku untuk kembali jalan-jalan ke mall dan nongkrong.
"Tapi aku nggak butuh beli apa-apa ke mall?"
"'kan jalan-jalan aja, Denis. Nggak harus beli apa-apa?" temanku berbicara dari sambungan telepon sana.