Mohon tunggu...
Adnan Widodo
Adnan Widodo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Santri

Belajar Menulis. Belajar Beropini. Belajar Berpendapat. Belajar, belajar dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memecahkan Polemik Hukum Daging Kurban

19 Juli 2021   07:41 Diperbarui: 19 Juli 2021   07:45 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hal ini, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bagi orang yang nazar berkurban, boleh atau tidaknya ia memakan daging kurbannya sendiri para ulama masih berbeda pendapat (mukhtalaf fh). Jika mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi'i, maka tidak boleh memakan daging kurbannya walaupun sedikit, dan dia wajib menyedekahkan atau memberikan semua kurbannya kepada orang lain. Jika ia terlanjur memakannya, maka ia harus mengganti atau membayar dengan harga standar daging yang ia makan.

Problematik Nazar Hukmi  

Dalam Madzhab al-Imam Asy-Syafi'i, para Ulama Syafi'iyah sepakat bahwa dengan nazar,  hukum  berkurban berubah menjadi wajib, dan konsekuensinya bagi orang yang berkurban sama sekali tidak boleh memakan daging kurbannya. Di samping itu, menurut sebagian Ulama Syafi'iyah ada satu permasalahan lain yang dapat merubah hukum berkurban menjadi wajib. Hal tersebut adalah menentukan atau mengisyaratkan kepada hewan miliknya yang sudah layak dijadikan kurban sebagai hewan kurban, seperti ucapan, "Hewan ini adalah kurbanku" atau "Aku jadikan hewan ini sebagai kurban" atau kata kata yang searti. Hal ini diistilahkan oleh mereka dengan istilah Nazar Hukmi atau nazar secara hukum (hukman), dan ada pula yang mengistilahkan dengan M Ulhiqa bi al-Nadzr / Mulhaq bi al-Nadzr (sesuatu yang disamakan hukumnya dengan nazar).

Hal ini bahkan berlaku walaupun pelakunya tidak berniat nazar atau tidak mewajibkan diri untuk berkurban.  Sesuatu yang sudah umum dan berlaku dikalangan orang awam sekalipun, misalnya ketika pada awal tahun mereka membeli hewan yang akan dikurbankan, atau ketika mereka ditanya tentang hewan tersebut, kemudian mereka berkata atau menjawab, "Ini Hewan Kurbanku", hal tersebut menjadikan hukum kurban tersebut menjadi wajib walaupun mereka tidak mengerti hukumya. Ucapan mereka, "Saya hanya berkehendak berkurban sunnah" sekalipun tetap sama sekali tidak diterima.

Hal ini sangat memberatkan, sebagaimana pernyataan  Al-Imam Ibnu Hajar (w. 974 H/1567 M) yang dinukil dalam kitab Hasyiyah Al-Bujairami 'al al-Khatb (4/338). Beliau berkata, "Wa f dzlika harajun syadd" (dalam hal tersebut sangat menyempitkan dan memberatkan). Sebagaimana yang telah kita ketahui, di antara misi syari'at adalah raf'ul haraj (menghilangkan kesempitan dan kesusahan), oleh karenanya  permasalahan yang dianggap memberatkan ummat  tersebut pasti tidak bisa menutup pintu kontrovesrsi. Sebagian Ulama Syafi'iyah yang lain tidak sepakat. Menurut mereka, hanya dengan ucapan tersebut di atas tidak serta merta menjadikan kurban menjadi nazar atau wajib. Al-Bulqini (w. 805 H/1403 M) dan Al-Maraghi (w. 816 H/1414 M) adalah di antara sederet nama Ulama Syafi'iyah yang berfatwa demikian.

Masing-masing beragumen dan beralasan dengan alasan masing masing, dan mungkin sampai mengklaim lemah terhadap pendapat lawannya. Dalam permasalahan ini, menurut penulis setidaknya ada empat pendapat,

Pertama: dengan ucapan "Ini adalah kurbanku" atau yang searti dengannya hukum kurban menjadi wajib secara mutlak seperti halnya ketika nazar berkurban.

Kedua: Ucapan tersebut tidak menjadikan wajib secara mutlak.

Ketiga: Dimaafkan bagi orang awam.

Keempat: Kurban tidak menjadi wajib dengan ucapan tersebut jika ia bermaksud memberi kabar (ikhbar).

Pembahasan panjang lebar empat pendapat di atas bisa dilihat pada: Al-Fiqh Al-Manhaji 'al Madzhabi al-Imm-Asy-Syfi'i (1/232), Asnal Mathlib (1/543), As-Sirj al-Wahhj (h. 561-562),  Bughyatul Mustarsyidn (2/35), Hasyiyata Qalybi wa 'Amrah (4254), Hasyiyah al-Jamal 'al Syarh al-Manhaj (5/251, 256-257), Hasyiyah Al-Bujairami 'al al-Khathb (4/330, 338), Hasyiyah Al-Bujairami 'al Syarh al-Manhaj (4/295), Hasyiyah Al-Bjri (4/362-363), I'natu al-Thlibn (2/376) dan Itsmid al-'Ainain (h. 92). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun