Mohon tunggu...
Adnan Widodo
Adnan Widodo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Santri

Belajar Menulis. Belajar Beropini. Belajar Berpendapat. Belajar, belajar dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memecahkan Polemik Hukum Daging Kurban

19 Juli 2021   07:41 Diperbarui: 19 Juli 2021   07:45 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Idul Adha telah di depan mata. Tinggal beberapa hari lagi, InasyaAllah, kita akan berjumpa dengannya. Pada hari tersebut banyak momen momen yang selalu dirindukan setiap kaum muslimin. Dari yang bersifat ritual dan syiar hingga yang bersifat sosial. Dari sekian banyak momen momen tersebut, ada sebuah momen yang selalau dinantikan, yaitu menikmati daging kurban bersama keluarga, sahabat, dan orang-orang tersayang dengan bermacam olahan kuliner khas nusantara yang menggoda selera.

Bagi kaum muslimin yang tidak berkurban, terutama mereka yang tergolong berekonomi rendah akan mendapatkan bagian daging kurban yang dibagikan panitia secara langsung atau mengambil sendiri dengan membawa kartu kurban yang sudah dibagikan sebelumnya. Daging tersebut dapat mereka simpan,  atau dimasak seketika dan dinikmati  bersama keluraga dan orang tercinta, atau bahkan dijual sekalipun.

Adapun kaum muslimin yang berkurban, apakah ia boleh menikmati daging kurbannya sendiri? Mungkin pertanyaan tersebut yang sering terbesit di benak kaum muslimin, terutama mereka yang berniat melaksanakan ibadah kurban.  

Di sebagian daerah, persoalan ini menimbulkan polemik, bahkan ada yang melarangnya secara mutlak dengan alasan kehati hatian (ihthiyth), hingga muncul asumsi di tengah tengah masyarakat bahwa orang yang berkurban tidak boleh memakan sedikit pun dari daging kurbannya. Apakah asumsi ini benar dan beralasan tepat? Berikut penulis akan mencoba menguraikannya secara ilmiah berdasarkan referensi referensi yang telah penulis baca.

Hukum Memakan Daging Kurban

Dalam Ensiklopedia Fiqh yang diterbitkan oleh Negara Monarki Kuwait dijelaskan, Bahwa Para Pakar Fiqh (Al-Fuqah) berpendapat, bahwasanya di antara kesunahan kesunahan berkurban , adalah orang yang berkurban (al-Mudhahh) ikut memakan daging kurbannnya, memberi makan kepada orang lain dan menyimpannya. Yang paling uatama adalah menyedekahkan sepertiga dari daging tersebut, mengambil sepertiganya untuk dihidangkan kepada saudara, kerabat, sahabat dan teman temannya, dan sepertiga lagi untuk disimpan sendiri.

Adapun Kurban Nazar, maka orang yang berkurban tidak boleh memakan daging kurbannya sendiri menurut Madzhab Hanafiyah dan Sayafi'iyah, sedangkan Madzhab Malikiyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa Kurban Nazar sama dengan kurban lainnya dalam kebolehan memakan daging kurban bagi orang yang berkurban. (Al-Maus'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (35/210))

Dalil dalil Kesunnahan Memakan Daging Kurban

Firman Allah SWT dalam Al-Quran:

( :28)

Artinya:

"supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir". (QS. Al-Hajj: 28)

Firman Allah SWT dalam Al-Quran:

( : 36)

Artinya: 

"Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta..." (QS. Al-Hajj: 36)

Hadist Nabi Muhammad SAW::

Artinya:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda, "Ketika salah satu diantara kalian berkurban, maka hendaklah ia memakan dari daging kubannya" (HR. Ahmad,  no. 9078 (15/36)). Menurut Al-Hafidz Al-Haitsami (w. 807 H/1405 M) dalam Majma' az-Zawid (4/25) para perawi haits ini adalah para perawi hadits shohih.

 

Nazar Berkurban (Kurban Nazar)

Nazar menurut bahasa adalah janji melakukan sebuah kebaikan atau keburukan, sedangkan menurut Istilah Syari'at (syara'), adalah sebuah komitmen melakukan ibadah yang tidak diwajibkan secara individual dengan sebuah pernyataan (iltizmu qurbatin lam yata'ayyan bi shighatin) (Al-Yaqt an-Nafs, hal. 221).  Nazar dapat merubah hukum  Ibadah Sunnah atau Fardhu Kifayah menjadi Fardhu 'Ain, atau kewajiban individual. Begitu pun dengan kurban,  menurut Madzhab Al-Imam As-Syafi'i  hukumnya Sunnah Muakkadah (sunnah yang dikukuhkan). Bagi yang mampu, dianjurkan melakukannya pada setiap tahun. Namun, ketika ada seseorang nazar berkurban, maka hukum berkurban baginya adalah wajib atau Fardhu 'Ain.

Dalam hal ini, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bagi orang yang nazar berkurban, boleh atau tidaknya ia memakan daging kurbannya sendiri para ulama masih berbeda pendapat (mukhtalaf fh). Jika mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi'i, maka tidak boleh memakan daging kurbannya walaupun sedikit, dan dia wajib menyedekahkan atau memberikan semua kurbannya kepada orang lain. Jika ia terlanjur memakannya, maka ia harus mengganti atau membayar dengan harga standar daging yang ia makan.

Problematik Nazar Hukmi  

Dalam Madzhab al-Imam Asy-Syafi'i, para Ulama Syafi'iyah sepakat bahwa dengan nazar,  hukum  berkurban berubah menjadi wajib, dan konsekuensinya bagi orang yang berkurban sama sekali tidak boleh memakan daging kurbannya. Di samping itu, menurut sebagian Ulama Syafi'iyah ada satu permasalahan lain yang dapat merubah hukum berkurban menjadi wajib. Hal tersebut adalah menentukan atau mengisyaratkan kepada hewan miliknya yang sudah layak dijadikan kurban sebagai hewan kurban, seperti ucapan, "Hewan ini adalah kurbanku" atau "Aku jadikan hewan ini sebagai kurban" atau kata kata yang searti. Hal ini diistilahkan oleh mereka dengan istilah Nazar Hukmi atau nazar secara hukum (hukman), dan ada pula yang mengistilahkan dengan M Ulhiqa bi al-Nadzr / Mulhaq bi al-Nadzr (sesuatu yang disamakan hukumnya dengan nazar).

Hal ini bahkan berlaku walaupun pelakunya tidak berniat nazar atau tidak mewajibkan diri untuk berkurban.  Sesuatu yang sudah umum dan berlaku dikalangan orang awam sekalipun, misalnya ketika pada awal tahun mereka membeli hewan yang akan dikurbankan, atau ketika mereka ditanya tentang hewan tersebut, kemudian mereka berkata atau menjawab, "Ini Hewan Kurbanku", hal tersebut menjadikan hukum kurban tersebut menjadi wajib walaupun mereka tidak mengerti hukumya. Ucapan mereka, "Saya hanya berkehendak berkurban sunnah" sekalipun tetap sama sekali tidak diterima.

Hal ini sangat memberatkan, sebagaimana pernyataan  Al-Imam Ibnu Hajar (w. 974 H/1567 M) yang dinukil dalam kitab Hasyiyah Al-Bujairami 'al al-Khatb (4/338). Beliau berkata, "Wa f dzlika harajun syadd" (dalam hal tersebut sangat menyempitkan dan memberatkan). Sebagaimana yang telah kita ketahui, di antara misi syari'at adalah raf'ul haraj (menghilangkan kesempitan dan kesusahan), oleh karenanya  permasalahan yang dianggap memberatkan ummat  tersebut pasti tidak bisa menutup pintu kontrovesrsi. Sebagian Ulama Syafi'iyah yang lain tidak sepakat. Menurut mereka, hanya dengan ucapan tersebut di atas tidak serta merta menjadikan kurban menjadi nazar atau wajib. Al-Bulqini (w. 805 H/1403 M) dan Al-Maraghi (w. 816 H/1414 M) adalah di antara sederet nama Ulama Syafi'iyah yang berfatwa demikian.

Masing-masing beragumen dan beralasan dengan alasan masing masing, dan mungkin sampai mengklaim lemah terhadap pendapat lawannya. Dalam permasalahan ini, menurut penulis setidaknya ada empat pendapat,

Pertama: dengan ucapan "Ini adalah kurbanku" atau yang searti dengannya hukum kurban menjadi wajib secara mutlak seperti halnya ketika nazar berkurban.

Kedua: Ucapan tersebut tidak menjadikan wajib secara mutlak.

Ketiga: Dimaafkan bagi orang awam.

Keempat: Kurban tidak menjadi wajib dengan ucapan tersebut jika ia bermaksud memberi kabar (ikhbar).

Pembahasan panjang lebar empat pendapat di atas bisa dilihat pada: Al-Fiqh Al-Manhaji 'al Madzhabi al-Imm-Asy-Syfi'i (1/232), Asnal Mathlib (1/543), As-Sirj al-Wahhj (h. 561-562),  Bughyatul Mustarsyidn (2/35), Hasyiyata Qalybi wa 'Amrah (4254), Hasyiyah al-Jamal 'al Syarh al-Manhaj (5/251, 256-257), Hasyiyah Al-Bujairami 'al al-Khathb (4/330, 338), Hasyiyah Al-Bujairami 'al Syarh al-Manhaj (4/295), Hasyiyah Al-Bjri (4/362-363), I'natu al-Thlibn (2/376) dan Itsmid al-'Ainain (h. 92). 

Kesimpulan

Memakan daging kurban secara garis besar hukumnya sunnah, baik bagi yang berkurban atau tidak, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Ketidak-bolehan memakan daging kurban nazar bagi orang yang burkurban masih menjadi persoalan khilafiyah antar madzhab, begitupun persoalan nazar hukmi atau mulhaq bi al-nadzr dalam bab kurban masih menjadi persoalan khilafiyah antar Ulama Syafi'iyah.

Bagi kita yang berkomitmen dan mengikuti madzhab al-Imam Asy-Syafi'i, hendaknya kita tidak memakan daging kurban kita, jika kita benar benar telah bernazar kurban. Adapun ketika kita tidak merasa dan tidak berniat  nazar berkurban sama sekali, maka kita boleh memakan daging kurban kita. Untuk keluar dari  khilafiyah Ulama Syafi'iyah ini, ketika kita ditanya tentang hewan milik kita yang hendak dikurbankan, atau ketika membeli hewan tersebut  sebagian ulama memberi solusi dengan jawaban , "Ini hewan kurban sunnah saya", atau "Ini hewan yang akan disembelih di hari raya" dan yang semakna dengan dua kata kata tersebut. 

Menghukumi haram atau tidak boleh memakan daging kurban bagi orang yang berkurban secara mutlak dan dipukul secara rata karena alasan kehati hatian (ihthiyth), menurut penulis adalah sesuatu yang kurang tepat dan menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Seandainya pun kita mengikuti pendapat Ulama Syafi'iyah yang condong terhadap tidak-bolehnya memakan deaging kurban karena Nazar Hukmi di atas, ketika kita tidak yakin atau masih ragu-ragu apakah kita pernah berkata, "ini hewan kurban saya" atau tidak, itu sedikit pun tidak berpengaruh. Karena menurut kaedah fiqh, al-Ashlu baq-u m kna 'al m kna, asal sesuatu itu ditetapkan berdasarkan tetapnya keadaan sesuatu tersebut sebelumnya. Kalau kita ragu mengucapkan kata kata "ini hewan kurban saya" atau tidak, maka hukumnya ditetapkan tidak, karena asalnya kita tidak mengucapkan kata-kata tersebut.

Kita pun tidak boleh meninggalkan maslahat yang sudah pasti kita dapatkan (muhaqqaqah ) hanya karena takut akan terjadi mafsadat yang masih belum jelas. Hal ini berdasarkan kaedah berikut

Artinya; "Maslahat yang nyata tidak boleh ditinggalkan karena kerusakan yang masih dalam sangkaan". Dalam kasus ini, Maslahat memakan daging kurban bagi orang yang berkurban sudah sangat jelas dan nyata. Di antara maslahat tersebut, peertama: ia telah menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya sebagaimana dijelaskan pada Dalil Kesunnahan Memakan Daging Kurban di atas, kedua: ia mendapatkan keberkahan dari daging kurbannya sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) dalam Minhjuth Thlibn (h. 538). 

Beliau berkata, "Yang paling utama yaitu menyedekahkan keseluruhan daging kurban, kecuali beberapa suap daging tersebut untuk "ngalap berkah" dengan memakannya.", dan lain lain. Maslahat ini tidak boleh kita tinggalkan karena mafsadah  yang masih belum jelas, yaitu takut kurbannya menjadi wajib karena ragu pernah mengucapkan kata kata "ini hewan kurban saya" atau tidak.

Yang baru dijelaskan tadi, itu jika kita condong dan mengikuti Ulama Syafi'iyah yang berpendapat kurban bisa menjadi wajib karena Nazar Hukmi dan kita masih ragu telah berucap kata kata yang dianggap Nazar Hukmi tersebut atau tidak. 

Pertanyaannya, bagaimana kalau kita yakin sama sekali tidak pernah mengucapkan kata kata tadi, atau mengikuti pendapat Ulama Syafi'iyah lain yang tidak sepakat dengan mereka, atau bahkan ketika kita sudah berbicara lintas madzhab? Jawabannya adalah memakan daging kurban bagi yang berkurban adalah diperbolehkan, bahkan dianjurkan dan disunnahkan. Dan itu lebih maslahat untuk semua. Wallhu a'lam bish Shawb.

Hanya ini yang dapat penulis sampaikan. Ini hanya opini pribadi penulis. Kebenaran yang hakiki hanya milik Allah SWT semata. Oleh karenanya, koreksi, kritik yang membangun dan saran selalu penulis nantikan. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan. Terakhir, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat, baik untuk penulis atau pembaca sekalian, baik di dunia dan akhirat. Aamiin.

Adnan Widodo, Lc

Indramayau,  16 Juli 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun