Betapa pedih nasib cagub petahana Ahok. Itulah misteri Illahi, siapa yang tahu nasib orang? Pada bulan Maret hingga Agustus 2016, Ahok masih tampil dengan begitu percaya diri untuk melanjutkan kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI dalam Pilkada 2017 nanti. Hampir tidak ada nama lain yang mampu (katakan saja) mensejajarkan kepopuleran maupun elektabilitas Ahok. Ahok menjadi jemawa? Seolah bergainingnya lebih kuat dan besar ketimbang pendukungnya (baik independen ataupun parpol). Ia yang menentukan.
Kini Ahok terseok tersangkut kasus dugaan penodaan agama. Meski secara hukum tidak atau belum ada yang bisa membatalkan keikutsertaannya dalam kontestasi pilkada DKI 2017, namun tentu langkah semakin berat. Ia harus berbagi konsentrasi dengan kasus dan persidangannya, belum lagi adanya penolakan warga di setiap kampanyenya. Tentu ini sedikit banyak menyita perhatian. Katakanlah Ahok menang dalam pilkada, namun bayang-bayang menyerahkan tampuk pimpinan kepada Jarot (wakilnya) tetap ada.
Kini pun, sejak ditetapkan sebagai terdakwa, kedudukannya sebagai gubernur DKI diberhentikan sementara, hingga ada vonis akhir dari hakim yang mengadili kasusnya. Adakah ini sebuah karma, karena sebelumnya ia sempat “menyombongkan” diri saat mencalonkan menjadi peserta pilkada DKI 2017? Sekali lagi, nasib orang siapa yang tahu? Yang pasti, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari lakon Ahok ini, khususnya dalam perhelatan politik di Indonesia. Dalam tulisan yang terdiri dari 2 bagian ini, saya hanya ingin kilas balik.
Dimulai dari sekitar bulan Maret 2016 saat banyak masyarakat terlibat dalam perdebatan antara memilih jalur independen atau partai? Saat itu menjadi fenomena politik yang menggelinding deras dan menjadi trend topic perbincangan. Mengapa menjadi heboh? Bukankah kejadian ini bukan sekali ini terjadi dan tidak ada perdebatan sama sekali? Seorang kandidat pilkada ingin memalui jalur partai atau jalur independen, apa masalahnya? Tidak lain karena ini pilkada DKI, dan di situ ada Ahok, sosok kontroversial.
Manuver “TA”
Tersebutlah sebuah organ bernama “Teman Ahok” (TA) yang beraktifitas melakukan penggalangan KTP warga DKI. Hal ini jauh dilakukan sebelum ramai orang bicara pencalonan kandidat untuk pilkada DKI 2017. Tujuan awalnya apa? Ini yang menarik untuk dikupas. Setahu saya, awalnya hanya ingin menunjukkan wujud dukungan warga kepada Gubernur Ahok yang pada saat itu ingin “digoyang-goyang” oleh koalisi KMP di DPRD DKI.
Jadi sama sekali tidak ada unsur politis ingin mengumpulkan KTP untuk pencalonan Ahok sebagai kandidat Cagub DKI 2017. Jika alasan semua pekerjaan atau usaha TA akan sia-sia bila Ahok ikut melalui jalur partai adalah keliru, wong itu bukan untuk tujuan “pencalonan” kok? Atau (ini pemikiran kedua), apa yang dilakukan TA itu sejak awal memang untuk persiapan pencalonan jalur independen (mengingat Ahok bukan kader partai)? Ini yang dimaksudkan Risma, kok sepertinya khawatir sekali tidak bisa mencalonkan lagi sampai-sampai harus mendesak partai, “Jadi kesannya sangat berambisi untuk sebuah jabatan ya?” tuturnya.
Jika itu tujuannya, sungguh sangat kreatif warga DKI sudah memikirkan jauh seperti itu, dan bisa sangat politis (salah jika dikatakan masyarakat Jakarta apolitis dan skeptis). Tapi benarkah di era gadgetisasi ini, di mana banyak masyarakat terutamanya kaum muda berpola hidup hedonis berpikiran seperti itu? Ataukah ini ide “di tengah jalan” (setelah penggalangan baru terpikir untuk pencalonan)? Atau ada tokoh utama yang menseting?
Singkat cerita, TA “mendesak” Ahok agar mau diusung oleh mereka melalui jalur independen dan segera menentukan sikap siapa yang akan menjadi wakilnya? Mereka bercerita terinspirasi peristiwa Rengas Dengklok Tahun 1945 (heroik banget). Ahok tahu betul posisinya terutama hubungan akrabnya dengan teman-teman PDI Perjuangan. Bagaimana pun tidak sedikit “jasa” partai merah ini kepada Ahok saat berjuang bersama Jokowi di Pilkada 2012.
TA awalnya tidak mau tahu dan mendesak Ahok untuk berani memilih jalur independen. Namun mungkin karena sadar bahwa mereka bukan apa-apa karena tokohnya adalah Ahok sendiri, mereka memberi tenggat waktu agar Ahok “melobby” Megawati. Ahok kemudian sempat bertemu dengan Megawati di sebuah acara dan menyampaikan keinginan TA tersebut, yakni PDI Perjuangan bulat mengusung Ahok sebagai kandidat cagub DKI 2017.
Bukan Partai Kemarin Sore
Sampai di sini saja sebenarnya bisa ditanyakan, andai saja Megawati menyetujui usulan Ahok untuk mengusung dirinya, apakah kemudian tidak akan sia-sia pekerjaan TA? TA juga kemudian bisa terpinggirkan karena garis komando strategi pemenangan akan dipegang partai. Jadi apa sebetulnya yang diharapkan dari Ahok melobby Megawati? Apakah dukungan tanpa syarat? Artinya sebagai partai pendukung saja, bukannya partai pengusung (beda lho).
PDI Perjuangan sebuah partai senior banyak makan asam garam dunia perpolitikan di Indonesia. Dijatuhkan bangun lagi, dijatuhkan lagi bangun lagi hingga seperti sekarang ini bisa meloloskan kadernya menjadi presiden (Jokowi). Megawati juga bukan tokoh politik kemarin sore. Jiwanya sudah ditempa langsung oleh bapak pendiri bangsa Bung Karno (ayahandanya sendiri). Ia sudah hafal dan mengenal watak politikus terutama yang coba mendekatinya saat pilkada ataupun pileg. Ia paham betul gelagat dan 1001 strategi para calon.
Jadi bisa dibayangkan, sebuah partai dan seorang tokoh politik senior didekati seseorang agar mendukung dirinya sebagai kandidat tanpa syarat dengan tenggat waktu seminggu. Serta ditambahkan (gak tahu istilah “ancaman” atau apa?), jika tidak segera ditetapkan maka akan memilih jalur independen. Alhasil, Megawati seperti diberitakan oleh media, hanya tertawa-tawa saja menanggapi permintaan Ahok. Penjelasannya sangat mudah, mekanisme partai tidak secepat dan semudah itu dalam menetapkan dan apalagi mengusung kandidat. Banyak hal yang harus juga “dipegang” kandidat karena bagaimanapun ia akan membawa nama, harkat dan martabat partai sebagai pengusungnya (bukan semata soal rupiah).
Bullying Terhadap Parpol
Dari sinilah awal kehebohan dimulai. Berita tersebar ke mana-mana, opini dibangunkan bahwa “Ahok sangat berani memilih jalur indpenden daripada melalui jalur partai”. Setelahnya Ahok bilang melalui jalur partai banyak hitung-hitungannya, tidak pakai mahar tapi biaya operasionalnya besar, kasihan dengan pengorbanan TA, dan sebagainya (soal mahar, jelas-jelas sudah dibantah Ahok sendiri, “PDI Perjuangan tidak pernah minta mahar,” jelas Ahok kepada media). Jika kemudian semua alasan itu terlontar, pertanyaannya mengapa melobby PDI Perjuangan? Seperti pertanyaan di atas, seandainya Megawati menerima bagaimana nasib TA?
Kok mempertanyakan hal tersebut? Opini yang dibangun (termasuk oleh kalangan akademisi dan pengamat) justru sebaliknya menyatakan bahwa partai itu bobrok, banyak korupsinya, maharnya mahal, akan dijadikan boneka bagi kepentingan partai, dengan memberi contoh anggota dewan yang banyak melakukan korupsi. Tentu semua hujatan tersebut seperti “menyengat” partai terutama ditujukan kepada PDI Perjuangan dan kemudian menjadi bahan cercaan bullying di media sosial. Ahok ingin memilih jalur independen mengapa partai yang disalahkan? Toh, partai juga mempersilahkan dan tidak mempersulit untuk memilih?
Alhamdulillah nasi sudah menjadi bubur, hikmahnya risalah perpolitikan Indonesia akan semakin kaya “warna” dan menjadi sebuah ensiklopedia baru bernama independen. Bahkan dalam perkuliahan ilmu politik sudah harus dirubah, tidak semata menggembar-gemborkan kuliah kepartaian saja, tapi ada matkul baru bernama “Jalur Independen” (Meriam Budiarjo pasti akan terkaget-kaget dan segera merevisi buku Ilmu Pengantar Politik-nya yang terkenal). Ya, tidak apa-apa, memang kenapa?
Ternyata, tidak mudah bagi relawan lain untuk menyikapi hal ini. Relawan mana? Merekalah relawan yang dimulai dari perjuangan pemenangan Jokowi-Ahok di Jakarta hingga Jokowi menjadi presiden. Relawan itu bukan hanya TA, relawan itu juga bukan hanya warga biasa (non partai), relawan itu juga ada di tubuh partai. Relawan banyak yang bingung. Dulu partai dan rakyat bersatu baik di pilkada DKI 2012 maupun pilpres 2014. Sebut saja ada nama-nama Projo, Jasmev, Seknas, Gong Jokowi, Bara Jokowi, dll.
Beda Ahok Beda Jokowi
Ini andai saja ya, berandai-andai... Jika tokoh yang dibicarakan itu bukan Ahok tapi Jokowi, maka apa yang akan terjadi? Beda antara Jokowi dan Ahok, Ahok bukan kader partai apapun (terakhir terdaftar anggota Partai Gerindra) sedangkan Jokowi kader utama PDI Perjuangan. Hal ini bukan karangan tapi fakta artinya sudah pernah terjadi. Relawan non struktural partai menggalang suara tanpa pamrih dan bukan karena dibayar/didanai untuk mengusung Jokowi sebagai Capres! Jokowi tidak bergeming, meski ia tahu adanya suara dan gerakan itu. Saat itu relawan berkehendak PDI Perjuangan mau mengusung Jokowi, jika tidak akan ditawarkan ke partai lain (karena untuk menjadi Capres tidak bisa menggunakan jalur independen).
Jokowi sebagai kader setia partai tunduk dan patuh apapun yang ditugaskan partai demi kebaikan bangsa. Alih-alih melakukan manuver “mengaju-ajukan” dirinya atau bersuarapun tidak soal pencapresan, “Ora mikir... ora mikir...” demikian yang kerap kita dengar. Pada saat titik tertentu, PDI Perjuangan melalui Megawati bersikap dan memutuskan (karena dalam konggresnya, memang Megawati diserahkan untuk menetapkan siapa yang akan dijadikan sebagai Capres 2014). Sekadar pembanding saja.
Organisasi Punya Aturan
Organisasi apapun (keagamaan, profesi, kepentingan, hobbies, wadah berkumpulnya orang-orang yang memiliki tujuan sama) dan apalagi partai, bukanlah terminal atau pasar di mana setiap orang bebas masuk saat membutuhkan dan keluar di saat tidak lagi membutuhkan, bahkan merasa berhak menghakimi. Tiap-tiap organisasi itu memiliki mekanisme dan peraturannya sendiri-sendiri (ada etika). Ketika kita memasuki sebuah rumah, maka kita bersiap dengan segala konsekuensinya. Jika tidak mau ya jangan coba-coba masuk (harus diikuti dan tunduk, karena kita tamu--dalam mikrolet aja ada aturannya buat penumpang dan harus dituruti, di WC umum juga ada aturannya).
Nanti dibilang anti kritik dan tidak demokratis? Silahkan saja protes dalam kerangka MELAKUKAN perubahan ke dalam (melakukan itu artinya berperan aktif, tidak cuma teriak-teriak). Mosok tidak boleh di luar? Ya tentu boleh, tapi apa kemudian ketika di luar lantas menjadi "baper"? Boleh juga, silahkan saja ini negara demokratis. Yang tidak diperbolehkan adalah memfitnah, menyebutkan demikian tapi sesungguhnya hanya menduga dan atau terbawa persepsi juga opini publik. Butuh pembenaran, jika ada pelanggaran silahkan dibawa ke ranah hukum, simpel kan? Hargai orang yang ingin masuk atau juga yang berada di dalamnya (bagaimana pun bentuk bangunan itu), karena setiap orang juga bebas untuk berada di luar.
Sama antara pemerintah penguasa dengan oposisi, silahkan saja mau berkiprah di mana sepanjang bisa saling menghargai dan membangun bangsa. Karena sejatinya, tidak ada satu pun organisasi yang berhak mengklaim atas nama rakyat 100% (entah itu partai maupun organ independen). Artinya, dari yang setuju pastilah ada yang tidak setuju, hargai saja karena itulah demokrasi. Bagi yang di dalam "bangunan" juga tidak perlu terlalu dibikin gusar jika memang tidak benar, acuhkan dan tetap bekerja saja dengan sebaik-baiknya. Mereka yang di luar sesungguhnya bukan anti organisasi tapi mungkin belum paham apa fungsi dan seberapa pentingnya organisasi. Tapi memang bisa juga karena refleksi hasil kerja organisasi selama ini.
(bersambung).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI