Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu... -

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Terkena Karma Karena Kesombongannya? (1)

8 Januari 2017   11:48 Diperbarui: 15 Januari 2017   22:11 2676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai di sini saja sebenarnya bisa ditanyakan, andai saja Megawati menyetujui usulan Ahok untuk mengusung dirinya, apakah kemudian tidak akan sia-sia pekerjaan TA? TA juga kemudian bisa terpinggirkan karena garis komando strategi pemenangan akan dipegang partai. Jadi apa sebetulnya yang diharapkan dari Ahok melobby Megawati? Apakah dukungan tanpa syarat? Artinya sebagai partai pendukung saja, bukannya partai pengusung (beda lho).

PDI Perjuangan sebuah partai senior banyak makan asam garam dunia perpolitikan di Indonesia. Dijatuhkan bangun lagi, dijatuhkan lagi bangun lagi hingga seperti sekarang ini bisa meloloskan kadernya menjadi presiden (Jokowi). Megawati juga bukan tokoh politik kemarin sore. Jiwanya sudah ditempa langsung oleh bapak pendiri bangsa Bung Karno (ayahandanya sendiri). Ia sudah hafal dan mengenal watak politikus terutama yang coba mendekatinya saat pilkada ataupun pileg. Ia paham betul gelagat dan 1001 strategi para calon.

Jadi bisa dibayangkan, sebuah partai dan seorang tokoh politik senior didekati seseorang agar mendukung dirinya sebagai kandidat tanpa syarat dengan tenggat waktu seminggu. Serta ditambahkan (gak tahu istilah “ancaman” atau apa?), jika tidak segera ditetapkan maka akan memilih jalur independen. Alhasil, Megawati seperti diberitakan oleh media, hanya tertawa-tawa saja menanggapi permintaan Ahok. Penjelasannya sangat mudah, mekanisme partai tidak secepat dan semudah itu dalam menetapkan dan apalagi mengusung kandidat. Banyak hal yang harus juga “dipegang” kandidat karena bagaimanapun ia akan membawa nama, harkat dan martabat partai sebagai pengusungnya (bukan semata soal rupiah).

Bullying Terhadap Parpol

Dari sinilah awal kehebohan dimulai. Berita tersebar ke mana-mana, opini dibangunkan bahwa “Ahok sangat berani memilih jalur indpenden daripada melalui jalur partai”. Setelahnya Ahok bilang melalui jalur partai banyak hitung-hitungannya, tidak pakai mahar tapi biaya operasionalnya besar, kasihan dengan pengorbanan TA, dan sebagainya (soal mahar, jelas-jelas sudah dibantah Ahok sendiri, “PDI Perjuangan tidak pernah minta mahar,” jelas Ahok kepada media). Jika kemudian semua alasan itu terlontar, pertanyaannya mengapa melobby PDI Perjuangan? Seperti pertanyaan di atas, seandainya Megawati menerima bagaimana nasib TA?

Kok mempertanyakan hal tersebut? Opini yang dibangun (termasuk oleh kalangan akademisi dan pengamat) justru sebaliknya menyatakan bahwa partai itu bobrok, banyak korupsinya, maharnya mahal, akan dijadikan boneka bagi kepentingan partai, dengan memberi contoh anggota dewan yang banyak melakukan korupsi. Tentu semua hujatan tersebut seperti “menyengat” partai terutama ditujukan kepada PDI Perjuangan dan kemudian menjadi bahan cercaan bullying di media sosial. Ahok ingin memilih jalur independen mengapa partai yang disalahkan? Toh, partai juga mempersilahkan dan tidak mempersulit untuk memilih?

Alhamdulillah nasi sudah menjadi bubur, hikmahnya risalah perpolitikan Indonesia akan semakin kaya “warna” dan menjadi sebuah ensiklopedia baru bernama independen. Bahkan dalam perkuliahan ilmu politik sudah harus dirubah, tidak semata menggembar-gemborkan kuliah kepartaian saja, tapi ada matkul baru bernama “Jalur Independen” (Meriam Budiarjo pasti akan terkaget-kaget dan segera merevisi buku Ilmu Pengantar Politik-nya yang terkenal). Ya, tidak apa-apa, memang kenapa?

Ternyata, tidak mudah bagi relawan lain untuk menyikapi hal ini. Relawan mana? Merekalah relawan yang dimulai dari perjuangan pemenangan Jokowi-Ahok di Jakarta hingga Jokowi menjadi presiden. Relawan itu bukan hanya TA, relawan itu juga bukan hanya warga biasa (non partai), relawan itu juga ada di tubuh partai. Relawan banyak yang bingung. Dulu partai dan rakyat bersatu baik di pilkada DKI 2012 maupun pilpres 2014. Sebut saja ada nama-nama Projo, Jasmev, Seknas, Gong Jokowi, Bara Jokowi, dll.

Beda Ahok Beda Jokowi

Ini andai saja ya, berandai-andai... Jika tokoh yang dibicarakan itu bukan Ahok tapi Jokowi, maka apa yang akan terjadi? Beda antara Jokowi dan Ahok, Ahok bukan kader partai apapun (terakhir terdaftar anggota Partai Gerindra) sedangkan Jokowi kader utama PDI Perjuangan. Hal ini bukan karangan tapi fakta artinya sudah pernah terjadi. Relawan non struktural partai menggalang suara tanpa pamrih dan bukan karena dibayar/didanai untuk mengusung Jokowi sebagai Capres! Jokowi tidak bergeming, meski ia tahu adanya suara dan gerakan itu. Saat itu relawan berkehendak PDI Perjuangan mau mengusung Jokowi, jika tidak akan ditawarkan ke partai lain (karena untuk menjadi Capres tidak bisa menggunakan jalur independen).

Jokowi sebagai kader setia partai tunduk dan patuh apapun yang ditugaskan partai demi kebaikan bangsa. Alih-alih melakukan manuver “mengaju-ajukan” dirinya atau bersuarapun tidak soal pencapresan, “Ora mikir... ora mikir...” demikian yang kerap kita dengar. Pada saat titik tertentu, PDI Perjuangan melalui Megawati bersikap dan memutuskan (karena dalam konggresnya, memang Megawati diserahkan untuk menetapkan siapa yang akan dijadikan sebagai Capres 2014). Sekadar pembanding saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun