"Ah! alhamdulillah, sampai juga nih di tempat kerja."Â Suara hatiku, yang tentu adalah salah satu wujud syukurku.
"Nah! akhirnya kawanku sampai juga. Sini dong sebentar, aku ada perlu nih." Calon kakak ipar Arba memanggilku.
"Selamat pagi kawan, tunggu sebentar. Aku juga sudah siap kok untuk sedikit ada perlu juga dengan dirimu yang adalah calon abangnya Arba."Â Ujar yang aku sampaikan untuknya.
Waktu masih menunjukkan pukul 07:30. Ada cukup waktu sekitar 30 menit sebelum mulai beraktifitas, untuk berbincang dengan Dian. Mengenai inginnya Arba malam tadi, yang memutuskan untuk putus denganku.
"Kawan, langsung saja ya. Kok begitu yang terlalu mudahnya mengiyakan inginnya Arba?" tanya Dian yang pertama.
"Kami berdua masih muda. Arba sekarang kelas tiga SMA, aku berumur dua puluh satu. Wajar dong kalau kami memilih putus! toh ada sisi baiknya juga untuk kami berdua." Jawabku atas tanya dari Dian.
"Ada setahun lamanya, kalian menjalin hubungan. Memangnya nggak sayang tuh? lebih memilih bubaran?" tanya Dian yang kedua.
"Arba yang mau, Arba yang minta, Arba juga yang jadi pihak pertama. Mengambil keputusan untuk kemudian memutuskan."Â Jawabku akan pertanyaan Dian yang kedua.
"Kawan, kamu itu terlalu santai. Jawab pertanyaan pun lurus-lurus saja, tanpa beban."Â Ujar Dian kemudian.
"Ya dong, take it easy my man. Nggak perlu dibuat susah, apalagi mengenai hubungan sepasang kawula muda layaknya aku dengan Arba yang masih SMA." Jawaban yang mengalir dariku untuk Dian, tanpa harus kebanyakan berpikir.
"Kawan, kita berdua seumuran. Arba juga secara usia, hanya selisih tiga tahun lebih muda dari kita berdua. Aku yakin! kamu juga bisa mengerti kawan, kenapa aku bersikap santai-santai saja akan inginnya Arba tadi malam." Ujar dari aku untuk Dian, yang memang agak panjang juga sih.