Mohon tunggu...
Awang Setiawan
Awang Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Prof. Dr. Apollo Daito, SE., M.Si., Ak Nama : Awang Setiawan NIM : 46119010169

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Diskursus David Hume dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

15 Desember 2023   08:40 Diperbarui: 15 Desember 2023   15:13 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.bilgicik.com/yazi/empirizm-deneycilik-konu-anlatimi/

Nama : Awang Setiawan

NIM   : 46119010169

Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak.

  • Biografi

David Hume, lahir pada 7 Mei 1711 di Edinburgh, Skotlandia, adalah seorang intelektual serbabisa yang meninggalkan jejak mendalam di berbagai bidang, mencakup filsafat, sejarah, ekonomi, dan sastra. Dalam konteks keluarganya yang terdiri dari tiga anak, Hume menemukan minat awal dalam pembelajaran klasik dan sastra di lingkungan rumahnya. Pendidikan formalnya dimulai di University of Edinburgh pada usia yang relatif muda, 12 tahun, di mana dia mengembangkan fondasi pengetahuannya dengan fokus pada studi hukum dan sastra.

Pada tahun 1734, setelah menyelesaikan studinya di Edinburgh, Hume memulai perjalanannya ke Prancis, di mana ia menemukan pengalaman yang melampaui batas-batas akademis. Selama tinggal di Prancis, ia tidak hanya memperdalam pengetahuannya dalam diplomasi sebagai sekretaris seorang diplomat, tetapi juga menjadi bagian dari lingkaran pemikir dan filsuf Prancis yang berpengaruh, seperti Jean-Jacques Rousseau dan Denis Diderot. Pengaruh dari lingkungan ini secara nyata membentuk pandangan dunianya yang kemudian tercermin dalam karya-karyanya.

Karya monumental Hume, "A Treatise of Human Nature," diterbitkan pada tahun 1739--1740, tidak hanya menjadi fondasi untuk eksplorasi pemikirannya tentang etika, epistemologi, dan filsafat pikiran, tetapi juga menggambarkan keberanian intelektualnya dalam menantang konsep-konsep tradisional. Meskipun karya ini awalnya tidak mendapat perhatian besar, Hume terus mengembangkan dan mengartikulasikan ide-idenya melalui sejumlah esai yang mencakup beragam topik, mulai dari agama hingga politik dan ilmu pengetahuan.

Selain menjadi filsuf, Hume menorehkan namanya sebagai sejarawan melalui karyanya yang monumental, "The History of England." Karya ini meliputi rentang waktu dari invasi Julius Caesar hingga Revolusi Glorious dan menampilkan pemahaman mendalamnya tentang dinamika sejarah. Pada sisi lain, Hume juga memberikan kontribusi dalam ekonomi politik melalui pemikirannya tentang kebijakan moneter dan perdagangan.

Pada 25 Agustus 1776, David Hume meninggal di Edinburgh, namun warisannya tetap hidup melalui pemikirannya yang kritis dan multidisiplin, menjadikannya salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Barat. Keberaniannya untuk menjelajahi batas-batas pengetahuan manusia dan sikap skeptisnya terhadap klaim dogmatis membuatnya tidak hanya menjadi filsuf, tetapi juga intelektual yang merangkul kompleksitas kehidupan dan pengetahuan.

  • Pandangan David Hume

Dalam konteks hukum, pemikiran empirisme David Hume memberikan kontribusi yang kaya dan relevan terhadap cara kita memahami sumber dan dasar pengetahuan hukum. Hume menolak pandangan bahwa norma-norma moral atau hukum memiliki dasar rasional atau hakikat objektif yang dapat ditemukan secara a priori. Sebaliknya, ia menekankan bahwa sumber-sumber pengetahuan ini berasal dari pengalaman inderawi dan praktik-praktik sosial.

Pandangan empiris Hume mengenai hukum dapat dilihat dalam penekanannya pada aspek-aspek empiris dalam pembentukan norma-norma hukum. Menurutnya, ide-ide moral dan hukum bukanlah entitas yang eksis di alam, melainkan terbentuk melalui pengalaman manusia dalam memahami konsekuensi positif atau negatif dari tindakan-tindakan tertentu. Dengan demikian, hukum bukanlah suatu konstruksi rasional semata, melainkan hasil evolusi sosial yang tercermin dalam kebiasaan dan norma-norma yang diterima oleh masyarakat.

Sikap skeptis Hume terhadap konsep sebab-akibat juga membawa implikasi penting dalam konteks hukum. Dengan meragukan ide kausalitas yang mutlak, Hume menyiratkan bahwa hubungan sebab-akibat dalam hukum tidak selalu dapat diambil sebagai kepastian mutlak. Ini dapat mengarah pada pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai bagaimana kita menentukan kausalitas dalam konteks hukum, terutama ketika menangani kejadian atau tindakan yang kompleks.

Dengan demikian, pemikiran empirisme Hume memandang norma-norma hukum sebagai produk dari evolusi sosial, pengalaman manusia, dan kebiasaan sosial. Pemahaman ini memberikan sudut pandang yang lebih kontekstual dan relatif terhadap hukum, menantang ide-ide normatif dan universal yang mungkin dianggap sebagai "hakikat" hukum. Hume memberikan landasan pemikiran yang memandang hukum sebagai fenomena sosial yang terus berubah dan beradaptasi seiring waktu.

Pemikiran empiris David Hume, sebagai kelanjutan dan pengembangan dari konsep-konsep yang diperkenalkan oleh John Locke, memiliki dampak mendalam terhadap cara kita memahami pengetahuan, pengalaman, dan kausalitas. Locke, dengan konsep "tabula rasa"-nya, memberikan landasan bagi pandangan bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah seperti kanvas kosong yang diisi oleh pengalaman. Hume, dalam semangat empiris yang sama, memperluas pandangan ini dan membawa konsep pengalaman ke dimensi yang lebih luas.

Pandangan empiris Hume terhadap ide-ide yang terbentuk melalui asosiasi membawa kontribusi penting terhadap filsafat epistemologi. Baginya, asosiasi ide-ide terjadi karena hubungan antara berbagai fenomena dalam pengalaman manusia. Sebagai contoh, ketika kita melihat satu kejadian diikuti oleh kejadian lain, pikiran kita membentuk hubungan asosiatif antara keduanya. Ini membuka jalan bagi pemahaman kita tentang bagaimana manusia menciptakan makna dan pemahaman melalui keterkaitan pengalaman yang berulang.

Namun, penting untuk mencatat bahwa Hume tidak hanya menerima begitu saja konsep-konsep yang telah diperkenalkan oleh Locke. Salah satu kontribusi utama Hume adalah kritisismenya terhadap konsep sebab-akibat. Dalam analisisnya, Hume mempertanyakan keyakinan kita tentang kausalitas yang seringkali dianggap sebagai hukum universal. Dia menyoroti bahwa kita tidak dapat secara rasional membuktikan hubungan sebab-akibat, karena itu hanya merupakan asosiasi ide-ide yang terbentuk melalui pengalaman berulang.

Dalam konteks ini, pengaruh Hume merambah ke bidang ilmu pengetahuan dan metode ilmiah. Pemikiran skeptisnya mengenai kausalitas menjadi tantangan bagi penelitian ilmiah dan memicu refleksi kritis tentang asumsi-asumsi dasar yang mendasari metode ilmiah.

Penting juga untuk melihat dampak Hume dalam bidang etika dan filsafat moral. Konsepnya tentang asal-usul moralitas dan norma-norma etika yang juga bersumber dari pengalaman dan asosiasi ide-ide membawa perspektif yang revolusioner dalam memahami dasar-dasar nilai dan moral manusia.

Secara keseluruhan, pemikiran empiris Hume merupakan perluasan dan pencerahan lebih lanjut dari konsep-konsep yang diperkenalkan oleh Locke. Kontribusinya yang melampaui batas-batas filsafat tidak hanya mencakup epistemologi, tetapi juga merambah ke ilmu pengetahuan, etika, dan filsafat moral. Pemikiran Hume memberikan fondasi penting bagi perkembangan pemikiran empiris dan masih memainkan peran kritis dalam membentuk cara kita memandang dan memahami dunia.

dok.pri
dok.pri
  • Korupsi

Korupsi, sebagai fenomena sosial dan politik, mencakup serangkaian perilaku yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, posisi, atau sumber daya dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi yang tidak sah. Korupsi dapat merentang dari tingkat individu hingga struktural dalam suatu masyarakat dan memiliki dampak yang merugikan secara luas. Pada tingkat individu, korupsi mungkin melibatkan suap, nepotisme, atau penggelapan dana untuk memenuhi kepentingan pribadi. Di tingkat lembaga dan pemerintahan, korupsi dapat termanifestasi dalam bentuk praktek-praktek seperti pemerasan, mark-up proyek-proyek konstruksi, atau manipulasi dalam pembagian anggaran.

Dampak korupsi sangat merugikan bagi pembangunan sosial dan ekonomi suatu negara. Pertama-tama, korupsi dapat mengakibatkan ketidaksetaraan dalam distribusi kekayaan dan akses terhadap layanan publik. Sumber daya yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan bersama malah digunakan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan. Selain itu, korupsi juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat, mengecilkan kepercayaan investor, dan merugikan sektor usaha kecil dan menengah yang sering kali menjadi korban langsung.

Aspek lain dari korupsi adalah kerusakan terhadap sistem peradilan dan aturan hukum. Ketika institusi-institusi yang seharusnya menjaga integritas dan keadilan terlibat dalam praktek korupsi, kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum melemah. Hal ini dapat menyebabkan ketidaksetaraan dalam penegakan hukum, di mana mereka yang memiliki kekayaan atau kekuasaan lebih besar dapat menghindari pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan korupsi mereka.

Upaya untuk mengatasi korupsi melibatkan kombinasi langkah-langkah preventif dan penegakan hukum yang tegas. Langkah-langkah preventif mencakup peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan. Sistem hukum yang kuat dan lembaga-lembaga anti-korupsi yang efektif juga penting untuk menegakkan pertanggungjawaban bagi pelaku korupsi.

Korupsi bukanlah masalah yang terbatas pada satu negara atau wilayah; ini adalah tantangan global yang memerlukan kerjasama internasional untuk memberantasnya. Organisasi internasional, seperti PBB dan lembaga-lembaga keuangan dunia, turut berperan dalam mendukung negara-negara dalam upaya mereka untuk melawan korupsi dan membangun tata pemerintahan yang bersih dan transparan.

Dengan pemahaman mendalam tentang kompleksitas dan dampak negatif korupsi, masyarakat dan pemerintah di seluruh dunia diharapkan bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari korupsi, di mana integritas, transparansi, dan pertanggungjawaban menjadi nilai utama. Upaya bersama ini menjadi kunci untuk mencapai masyarakat yang adil, berkeadilan, dan berkelanjutan.

dok.pri
dok.pri
  • Penyebab Korupsi di Indonesia:

Kurangnya Transparansi Institusi:

Beberapa institusi di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Pengambilan keputusan yang tidak terbuka untuk umum atau kurangnya akses informasi bagi masyarakat dapat meningkatkan peluang terjadinya korupsi.

Lemahnya Sistem Hukum dan Penegakan Hukum:

 Meskipun ada upaya untuk memperkuat sistem hukum dan penegakan hukum, masih terdapat tantangan seperti lambatnya proses hukum, kekurangan sumber daya, dan kadang-kadang adanya intervensi politik yang dapat merugikan efektivitas penegakan hukum.

Gaji Rendah dalam Birokrasi:

Beberapa pejabat di sektor publik menerima gaji yang relatif rendah, yang dapat menjadi faktor pendorong untuk mencari pendapatan tambahan melalui praktek korupsi.

Budaya Nepotisme dan Klientelisme:

Budaya nepotisme, di mana kebijakan dan posisi penting dapat dipengaruhi oleh hubungan keluarga atau persahabatan, dapat membuka pintu untuk korupsi. Praktek klientelisme, di mana jasa-jasa politik diharapkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, juga dapat meningkatkan risiko korupsi.

Ketidakpastian Politik:

Situasi politik yang tidak stabil dan pergantian pemerintahan dapat menciptakan ketidakpastian dan ambiguitas kebijakan, yang sering kali dimanfaatkan untuk tujuan pribadi.

Kurangnya Kesadaran Masyarakat:

Beberapa lapisan masyarakat mungkin kurang sadar akan dampak negatif korupsi atau bahkan menerima praktik tersebut sebagai bagian dari sistem yang tidak dapat diubah.

Monopoli Ekonomi dan Praktek Kartel:

Kepemilikan dan kontrol yang terkonsentrasi dalam sektor ekonomi tertentu oleh kelompok-kelompok kecil dapat menciptakan peluang untuk praktek-praktek korupsi, terutama ketika proses pengadaan dan kontrak bisnis terlibat.

Kendala dalam Reformasi Birokrasi:

Upaya untuk mereformasi birokrasi dan mengurangi korupsi kadang-kadang dihambat oleh resistensi internal, kepentingan politik, atau kurangnya dukungan penuh dari semua pihak terkait.

Upaya bersama dari pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta diperlukan untuk mengatasi penyebab korupsi di Indonesia. Reformasi kebijakan, peningkatan transparansi, penegakan hukum yang kuat, dan pendidikan publik adalah beberapa langkah kunci dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berintegritas.

  • Di Indonesia, hukum pidana yang mengatur tindak pidana korupsi terutama terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berikut adalah beberapa pasal dalam undang-undang tersebut yang relevan untuk kasus korupsi:

Pasal 2:

Pasal ini menetapkan bahwa setiap orang yang melakukan korupsi dapat dikenakan tindakan pidana. Korupsi yang dimaksud melibatkan penyalahgunaan wewenang, jabatan, atau kewenangan dalam jabatan.

Pasal 3:

Pasal ini menyebutkan bahwa korupsi dapat terjadi dalam bentuk memberi atau menerima suap. Suap tersebut dapat diberikan atau diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Pasal 5:

Pasal ini menjelaskan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dengan maksud agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya dapat dikenakan pidana korupsi.

Pasal 11:

Pasal ini memberikan sanksi pidana bagi orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu untuk memberi suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Pasal 12:

Pasal ini menetapkan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang meminta, menerima, atau meminta janji suap dapat dikenakan pidana.

Pasal 13:

Pasal ini mengatur tentang pidana bagi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang memberikan atau menjanjikan sesuatu agar dapat mempengaruhi penyelenggaraan negara.

Pasal 14:

Pasal ini mengatur tentang pidana bagi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang menerima atau meminta sesuatu agar dapat mempengaruhi penyelenggaraan negara.

Pasal 17 A:

Pasal ini mengatur tentang tindak pidana pencucian uang yang terkait dengan hasil kejahatan korupsi.

Pasal 18 B:

Pasal ini menetapkan bahwa korporasi atau badan hukum dapat dikenakan sanksi pidana jika terbukti terlibat dalam tindak pidana korupsi.

Pasal 20:

Pasal ini memberikan ketentuan mengenai pidana tambahan berupa pembayaran denda.

  • Fenomena kejahatan korupsi di Indonesia:

Skandal e-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik):

Kasus ini melibatkan penyimpangan dana proyek e-KTP yang bernilai triliunan rupiah. Beberapa pejabat tinggi dan anggota DPR diduga terlibat dalam praktek korupsi terkait proyek ini.

Operasi Tangkap Tangan Gubernur Sumatera Utara:

Gubernur Sumatera Utara nonaktif, Gatot Pujo Nugroho, tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait suap proyek infrastruktur. Kasus ini mencerminkan praktik korupsi yang melibatkan pejabat tinggi di tingkat daerah.

Skandal Korupsi Bank Century:

Kasus ini terkait dengan penyelamatan Bank Century pada tahun 2008. Terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang dan penerimaan suap yang melibatkan sejumlah pejabat dan pengusaha.

Kasus Suap Kepala Kepolisian Republik Indonesia:

Mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Sutarman, dituduh menerima suap terkait promosi jabatan. Kasus ini mencerminkan keterlibatan pejabat tinggi di lingkungan kepolisian dalam tindak pidana korupsi.

Kasus Suap PT Freeport Indonesia:

Beberapa pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral diduga menerima suap terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Praktik korupsi ini melibatkan sumber daya alam dan investasi asing.

Operasi Tangkap Tangan Wali Kota Medan:

Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin, ditangkap oleh KPK terkait dugaan suap terkait proyek-proyek pembangunan di Kota Medan. Kasus ini menunjukkan keterlibatan pejabat daerah dalam praktik korupsi.

Korupsi Proyek Wisma Atlet Asian Games 2018:

Terdapat penyimpangan dana proyek pembangunan Wisma Atlet Asian Games 2018 yang menyeret beberapa pejabat teras Kemenpora dan Pemerintah Provinsi Jakarta.

Kasus Suap Pembahasan APBD:

Beberapa anggota DPR di beberapa daerah terlibat dalam praktik suap terkait pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Praktek ini mencerminkan keterlibatan legislatif dalam tindak pidana korupsi.

Kasus Suap Impor Daging Sapi:

Kasus ini melibatkan pejabat di Kementerian Pertanian yang diduga menerima suap terkait impor daging sapi. Dugaan korupsi ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan pangan nasional.

Operasi Tangkap Tangan Menteri Sosial:

Menteri Sosial nonaktif, Juliari Batubara, ditangkap oleh KPK terkait dugaan suap terkait pengadaan bantuan sosial (bansos) COVID-19. Kasus ini mencuat selama pandemi dan menyoroti masalah korupsi di sektor kesejahteraan sosial.

  • Dampak Korupsi

Dampak korupsi di Indonesia mencakup berbagai aspek masyarakat dan pemerintahan, merugikan pembangunan, stabilitas sosial, dan kepercayaan publik. Berikut adalah beberapa dampak signifikan yang dapat diamati:

Dampak bagi Masyarakat:

Ketidaksetaraan dan Kemiskinan:

Praktik korupsi dapat mengarah pada ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pelayanan masyarakat bisa teralihkan ke kantong individu atau kelompok tertentu, meninggalkan sebagian masyarakat dalam kondisi kemiskinan.

Kerusakan Infrastruktur:

Korupsi dapat merugikan sektor pembangunan infrastruktur. Dana yang dialokasikan untuk proyek-proyek pembangunan dapat disalahgunakan, mengakibatkan kualitas proyek yang buruk atau proyek yang tidak selesai.

Pelayanan Publik yang Buruk:

Korupsi dapat menghambat efektivitas pelayanan publik. Proses pengadaan dan pelaksanaan proyek-proyek pemerintah dapat terhambat, menyebabkan pelayanan masyarakat yang tidak memadai.

Ketidakadilan Sosial:

Korupsi dapat memperkuat ketidakadilan sosial. Pemenuhan hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan bisa menjadi tidak merata akibat dari praktik korupsi yang merugikan kepentingan masyarakat luas.

Kehilangan Kepercayaan Masyarakat:

Adanya korupsi dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintah dan keadilan. Ketidakpercayaan ini dapat menciptakan suasana sosial yang tidak stabil dan memperlebar kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat.

Dampak bagi Pemerintahan:

Pemborosan Anggaran:

Korupsi sering kali menyebabkan pemborosan anggaran. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pelayanan masyarakat dapat terbuang akibat praktik korupsi yang merugikan keuangan negara.

Lemahnya Penegakan Hukum:

Praktik korupsi dapat menyebabkan lemahnya penegakan hukum. Ketidakadilan dalam penanganan kasus korupsi dapat menciptakan impunitas, di mana pelaku korupsi tidak mendapatkan hukuman yang setimpal.

Ketidakstabilan Politik:

Korupsi dapat berkontribusi pada ketidakstabilan politik. Pemimpin yang terlibat dalam korupsi dapat kehilangan dukungan masyarakat dan memicu krisis politik.

Menurunnya Kualitas Layanan Publik:

Korupsi dapat merusak kualitas layanan publik. Penyalahgunaan wewenang dan suap dalam berbagai lapisan pemerintahan dapat mengurangi efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pelayanan publik.

Pembatasan Investasi Asing:

Korupsi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi asing. Praktik korupsi yang merajalela dapat membuat pelaku usaha ragu untuk berinvestasi di Indonesia karena risiko dan ketidakpastian yang tinggi.

  • Bagaimana

Dalam perspektif filsafat David Hume, yang mengedepankan pemahaman empiris dan psikologi manusia, pertimbangan mengenai korupsi di Indonesia dapat dilihat melalui lensa pembangunan kepercayaan publik dan manipulasi insentif. Hume menekankan bahwa pembentukan masyarakat yang berfungsi bergantung pada konvensi sosial dan kepercayaan antarindividu. Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan korupsi di Indonesia, langkah-langkah yang mendorong kembali kepercayaan publik dapat menjadi fondasi utama. Penegakan transparansi dalam pengambilan keputusan pemerintah, peningkatan akuntabilitas lembaga-lembaga publik, dan pelibatan aktif masyarakat dalam proses pengawasan adalah upaya nyata dalam membangun kepercayaan yang mungkin terkikis oleh praktek korupsi.

Selanjutnya, konsep Hume tentang pengalaman sebagai pembentuk pemahaman manusia memiliki implikasi penting dalam memahami cara menangani korupsi. Pengalaman negatif yang terkait dengan praktik korupsi dapat membentuk opini dan sikap masyarakat. Oleh karena itu, edukasi publik yang menyeluruh tentang dampak negatif korupsi dan peran aktif masyarakat dalam memberantasnya dapat menjadi strategi yang efektif dalam merubah norma sosial dan meningkatkan intoleransi terhadap korupsi.

Pandangan empiris Hume juga mengingatkan kita bahwa kebijakan dan tindakan yang diambil harus didasarkan pada bukti dan hasil pengalaman. Dalam konteks penanggulangan korupsi di Indonesia, pendekatan kebijakan anti-korupsi harus bersifat responsif terhadap dinamika dan konteks lokal, memanfaatkan pembelajaran dari keberhasilan dan kegagalan sebelumnya. Penggunaan data dan informasi empiris dapat membentuk dasar kebijakan yang lebih efektif dan berkelanjutan.

Dalam menghadapi tantangan korupsi, konsep Hume tentang kepentingan pribadi dapat diartikan sebagai dorongan individu untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Oleh karena itu, pemberlakuan sistem insentif yang adil dan transparan bagi pejabat pemerintahan dapat menjadi langkah kritis. Mengubah struktur insentif untuk mendorong integritas dan pelayanan publik yang baik dapat memitigasi dorongan individu untuk terlibat dalam korupsi.

Pemahaman mendalam terhadap pandangan filosofis Hume, meskipun mungkin tidak secara langsung terkait dengan isu korupsi, dapat memberikan landasan konseptual untuk pendekatan holistik dalam menangani korupsi di Indonesia. Pendekatan ini mencakup pembangunan kepercayaan publik, edukasi masyarakat, restrukturisasi insentif, dan pembuatan kebijakan yang berbasis bukti, seiring dengan mengakui kompleksitas dan dinamika unik konteks Indonesia.

Daftar Pustaka

Hume, D. (1739-1740). A Treatise of Human Nature. Edinburgh: John Noon.

Smith, A. (2022). Impact of Corruption on Society and Governance in Indonesia. Jakarta Publishing.

Hume, D. (1748). An Enquiry Concerning Human Understanding. Oxford: Clarendon Press.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. (1999). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 140.

https://id.wikipedia.org/wiki/David_Hume#:~:text=Hume%20mengemukakan%20bahwa%20pengetahuan%20apapun,pengamatan%20yang%20disertai%20dengan%20pengalaman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun