Mohon tunggu...
Awaluddin aceh
Awaluddin aceh Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit Senja di Ujung Sekolah

1 September 2024   10:36 Diperbarui: 1 September 2024   10:40 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber gambar: https://prabangkaranews.com)

Matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung sekolah yang sudah berusia puluhan tahun. Suara lonceng terakhir telah berbunyi sejak setengah jam yang lalu, tetapi Alana masih duduk di taman kecil di ujung lapangan. Dia memandang kosong ke arah langit senja yang mulai berubah warna, seolah mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikirannya.

"Alana!" terdengar suara lelaki memanggilnya dari kejauhan. Alana mengangkat wajahnya, menemukan Dion, teman sekelasnya, berlari kecil mendekatinya dengan napas yang sedikit terengah. "Aku sudah mencari ke mana-mana. Kamu tidak pulang?"

Alana tersenyum tipis, menepuk-nepuk rumput di sebelahnya, mengisyaratkan agar Dion duduk di sampingnya. "Aku hanya butuh waktu sendiri, Dion. Banyak hal yang harus kupikirkan."

Dion mengangguk mengerti. Mereka duduk berdua dalam diam, mendengarkan gemerisik angin yang menerpa dedaunan. Sesekali terdengar suara burung yang pulang ke sarangnya, menambah syahdu suasana senja di sekolah itu.

"Kamu memikirkan tentang beasiswa itu lagi?" Dion bertanya hati-hati. Dia tahu, beasiswa kuliah ke luar negeri adalah impian terbesar Alana, tetapi juga sumber kegelisahannya selama beberapa bulan terakhir.

Alana mengangguk pelan. "Aku takut, Dion. Takut kalau aku tidak cukup baik. Takut meninggalkan semua orang di sini. Dan..."

"Dan?" Dion mendorong Alana untuk melanjutkan.

"Dan aku takut kehilangan diriku sendiri," Alana mengakui. "Aku takut begitu sibuk mengejar impianku sampai lupa siapa aku sebenarnya."

Dion terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Alana. "Kamu tahu, aku pernah mendengar seseorang bilang, kita tidak pernah benar-benar kehilangan diri kita sendiri. Kita hanya berubah, bertumbuh, dan menemukan hal-hal baru tentang diri kita seiring waktu," Dion mencoba memberikan penghiburan.

"Tapi, bagaimana jika perubahan itu membuatku menjadi seseorang yang aku sendiri tidak kenal?" Alana menatap Dion dengan mata yang penuh dengan keraguan.

Dion tersenyum. "Mungkin itulah gunanya perjalanan, Lana. Kita berjalan bukan untuk menjadi orang lain, tapi untuk mengenal siapa kita sebenarnya di berbagai keadaan."

Matahari akhirnya benar-benar tenggelam, menyisakan warna jingga yang samar di langit. Alana menarik napas panjang, merasakan ketenangan perlahan merayapi hatinya. "Kamu benar, Dion. Mungkin aku terlalu khawatir tentang hal-hal yang bahkan belum terjadi."

Dion mengangguk. "Dan kamu juga harus ingat, Lana, di mana pun kamu berada, kamu akan selalu punya teman yang mendukungmu."

Kata-kata Dion membuat Alana tersenyum hangat. "Terima kasih, Dion. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."

Mereka duduk di sana, menikmati detik-detik terakhir senja yang mulai beralih ke malam. Di bawah langit yang perlahan berubah gelap, Alana merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

Toh, seperti langit senja yang selalu berubah setiap harinya, kehidupan juga penuh dengan perubahan yang tak terduga. Dan itu tidak apa-apa.

Malam akhirnya jatuh sempurna, mengiringi langkah Alana dan Dion yang beranjak pergi dari taman kecil itu, meninggalkan sepotong cerita tentang dua anak SMA yang sedang belajar menemukan diri mereka sendiri.

Hari-hari berlalu, dan Alana semakin dekat dengan tenggat waktu pendaftaran beasiswa kuliah ke luar negeri. Setiap hari, dia menyibukkan diri dengan berbagai persiapan, dari menulis esai hingga mengikuti tes yang diperlukan. Ketegangan dan kecemasan menjadi bagian dari rutinitasnya, namun dia merasa lebih percaya diri berkat dukungan Dion dan teman-teman lainnya.

Pada suatu sore, saat cuaca cerah dan langit tampak lebih biru dari biasanya, Alana mendapatkan kabar baik. Dia diterima dalam tahap wawancara beasiswa. Kabar ini datang seperti angin segar di tengah kesibukannya, dan dia merasa seolah batu besar yang mengganjal di hatinya mulai terangkat.

Dia segera membagikan berita tersebut kepada Dion, yang saat itu sedang duduk di kantin sekolah, menunggu waktu istirahat berakhir. Dion tampak sangat senang dan memeluk Alana dengan erat. "Kamu berhasil sampai ke tahap ini! Ini pencapaian besar, Lana."

Alana tersenyum bahagia, tetapi ada sedikit kegelisahan di matanya. "Tapi wawancara ini sangat penting, Dion. Ini mungkin penentu apakah aku bisa mendapatkan beasiswa ini atau tidak."

Dion meraih tangan Alana, memberinya dorongan moral. "Kamu sudah mempersiapkan dengan sangat baik. Aku yakin kamu akan melakukannya dengan luar biasa. Jangan lupa, kamu juga harus tetap menjadi dirimu sendiri."

Beberapa hari kemudian, hari wawancara tiba. Alana mengenakan pakaian formal yang sudah disiapkannya dengan hati-hati. Dia terlihat anggun dan percaya diri, meskipun perasaannya campur aduk. Dion dan beberapa teman sekelasnya datang untuk memberikan semangat sebelum dia masuk ke ruang wawancara.

Wawancara berlangsung cukup menegangkan, tetapi Alana berusaha menjawab setiap pertanyaan dengan jujur dan percaya diri. Dia berbicara tentang impiannya, alasan di balik keinginannya untuk belajar di luar negeri, dan bagaimana dia berharap bisa memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.

Ketika wawancara berakhir, Alana merasa lega. Meskipun dia tidak tahu apa hasilnya, dia merasa telah melakukan yang terbaik yang bisa dia lakukan. Dia keluar dari ruangan dengan senyuman lebar di wajahnya dan langsung disambut oleh Dion dan teman-teman lainnya.

"Gimana?" Dion bertanya penuh harap.

"Rasanya lega," jawab Alana. "Aku sudah melakukan yang terbaik. Sekarang kita hanya bisa menunggu hasilnya."

Waktu berlalu, dan beberapa minggu kemudian, hasil beasiswa akhirnya diumumkan. Alana menerima surat resmi yang menyatakan bahwa dia diterima dan mendapatkan beasiswa tersebut. Kegembiraan meledak dalam dirinya, dan dia segera menelepon Dion untuk berbagi berita bahagia.

Dion datang ke rumah Alana malam itu, membawa kue dan minuman untuk merayakan keberhasilan Alana. Mereka merayakannya dengan penuh sukacita, mengingat semua usaha dan dukungan yang telah mereka lewati bersama.

Namun, di tengah perayaan, Alana tidak bisa menghindari rasa campur aduk antara kebahagiaan dan kesedihan. "Aku sangat senang bisa mendapatkan kesempatan ini, tetapi aku juga merasa berat untuk meninggalkan semuanya di sini. Aku tahu ini adalah kesempatan yang luar biasa, tetapi..."

Dion menggenggam tangan Alana. "Aku mengerti, Lana. Ini adalah langkah besar dalam hidupmu, dan perubahan itu memang tidak mudah. Tapi ingatlah, kamu membawa banyak cinta dan dukungan dari sini. Tidak ada yang bisa menggantikan itu."

Alana tersenyum, merasa lebih tenang. "Terima kasih, Dion. Aku akan selalu mengingat semua kenangan indah ini, dan aku harap bisa membuat bangga semua orang yang telah mendukungku."

Hari keberangkatan Alana tiba, dan dia meninggalkan kota kecilnya dengan hati penuh harapan dan impian. Saat dia menoleh ke belakang, melihat teman-teman dan keluarganya yang melambaikan tangan, dia merasa bahwa dia tidak sendirian. Dia membawa bersama dirinya tidak hanya barang-barang, tetapi juga cinta, dukungan, dan kenangan-kenangan indah yang akan selalu memberinya kekuatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun