Mohon tunggu...
Awaluddin aceh
Awaluddin aceh Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dengan Musyawarah Semua Pasti Selesai

29 Agustus 2024   16:54 Diperbarui: 29 Agustus 2024   16:55 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber gambar: https://dp2kbp3a.tanahlautkab.go.id)

Di sebuah desa kecil bernama Desa Suka Makmur, kehidupan mengalir seperti sungai yang tenang. Terletak di kaki gunung yang hijau dan subur, desa ini dikenal dengan suasana damai dan harmoni antara warganya. Namun, kedamaian itu mulai goyang ketika berita tentang pembangunan pabrik datang ke telinga warga.

Berita itu berawal dari Pak Mursalin, Seorang penguasa muda dari kota yang datang ke balai desa untuk menjelaskan keinginannya membangun pabrik di desa Suka Makmur. Pak Kurniawan sebagai kepala desa, tidak langsung menerima atau menolak rencana Pak Mursalin itu. 

Pak Kurniawan meminta waktu kepada Pak Mursalin agar dia bermusyawarah dulu dengan warganya dan meminta kepada pengusaha muda itu agar datang dua hari lagi agar Pak Mursalin langsung menceritakan keinginannya di hadapan semua warga.

Dua hari yang dijanjikan pun tiba. Pak Kurniawan, kepala desa yang bijaksana, duduk di hadapan warganya di dalam gedung aula desa sambil menikmati secangkir kopi. Dia beserta staf dan warganya lagi menunggu kedatangan Pak Mursalin. 

Tidak lama kemudian, Pak Mursalin pun tiba dengan kendaraan pribadinya. Setelah memarkirkan mobilnya di halaman gedung aula tersebut, dia segera bergegas masuk ke dalam gedung itu. Dia bersalaman dengan Pak Kurniawan dan para staf desa. Tidak lama kemudian rapat segera dimulai. Setelah pembukaan oleh Pak Kurniawan, Selanjutnya rapat diserahkan kepada Pak Mursalin untuk menyampaikan keinginan dan rencanannya.

"Selamat pagi semuanya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk bertemu dengan saya," Kata Pak Mursalin memulai pembicaraannya. Pak Mursalin dengan ramah. Lalu dia berkata

"Saya ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting untuk desa ini."

Pak Mursalin menjelaskan rencananya untuk membangun sebuah pabrik di pinggir desa. "Pabrik ini akan menyediakan banyak lapangan kerja dan meningkatkan perekonomian desa. Ini kesempatan besar bagi Suka Makmur untuk maju."

Namun, kata-kata Pak Mursalin tidak serta-merta disambut dengan antusiasme. Beberapa warga desa mulai berbisik di antara mereka, menanyakan dampak dari rencana tersebut. Beberapa merasa khawatir akan perubahan yang datang bersama modernisasi.

Di tengah-tengah perdebatan yang berkembang, ada dua sosok yang sangat menonjol: Evi, seorang ibu muda yang sangat mencintai tradisi dan budaya desa, dan Rijal, seorang pemuda yang bersemangat untuk melihat desa berkembang dengan cara yang lebih modern.

Evi adalah simbol dari masa lalu desa. Dia menghabiskan waktunya menjaga kebun keluarga, menyiapkan makanan tradisional, dan mengajarkan anak-anaknya tentang cerita rakyat dan upacara adat. Baginya, desa Suka Makmur adalah tempat yang penuh makna dan warisan yang harus dijaga.

Di sisi lain, Rijal adalah wujud dari masa depan yang menjanjikan. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi di kota dan kembali ke desa dengan ide-ide segar untuk kemajuan. Baginya, pembangunan pabrik adalah langkah maju yang tidak boleh disia-siakan.

Evi dan Rijal menjadi wajah dari dua sisi yang saling bertentangan. Evi menyampaikan kekhawatirannya kepada warga yang hadir di gedung itu.

"Kita harus berhati-hati dengan rencana ini," kata Evi, berbicara dengan penuh semangat. "Pabrik mungkin membawa keuntungan, tetapi kita juga harus memikirkan dampaknya terhadap lingkungan dan budaya kita. Apa yang akan terjadi dengan sawah-sawah kita? Apa yang akan terjadi dengan upacara adat yang telah ada sejak lama?"

Rijal berdiri di belakangnya, mengangkat suaranya untuk membela rencana tersebut. "Saya memahami kekhawatiran Ibu Evi, tetapi kita juga harus melihat kenyataan. Desa kita butuh perubahan. Kita tidak bisa selamanya hidup dalam masa lalu. Pabrik ini akan membawa pekerjaan, pendidikan, dan fasilitas yang lebih baik untuk semua orang."

Perdebatan di aula desa semakin sengit. Beberapa warga mendukung Rijal karena mereka berharap bisa memiliki kehidupan yang lebih baik dan lebih makmur. Di sisi lain, ada warga yang merasa nyaman dengan cara hidup mereka yang sederhana dan takut akan kehilangan identitas mereka jika modernisasi diterima.

"Ibu Evi, Ibu tahu kita semua ingin yang terbaik untuk desa ini," kata Rijal dengan nada sabar. "Tetapi kita harus berpikir untuk masa depan anak-anak kita. Apa yang akan mereka lakukan jika kita tidak mengambil kesempatan ini?"

Evi membalas dengan nada penuh emosi. "Rijal, aku tahu niatmu baik, tetapi jangan lupakan bahwa masa depan juga harus melibatkan pelestarian nilai-nilai kita. Ada cara lain untuk maju tanpa harus menghancurkan apa yang telah ada."

Akibat perdebatan yang sangat sengit itu, mengakibatkan rapat ditunda sampai batas waktu tidak ditentukan oleh Pak Kurniawan. Sejak saat itu, Evi dan Rijal terus berkonflik dan mempengaruhi warga lainya sehingga dimasyarakat timbul 2 kelompok yang menerima dan yang menolak kehadiran pabrik itu.

Konflik antara Evi dan Rijal tidak hanya mempengaruhi mereka berdua, tetapi juga menciptakan ketegangan di antara warga desa. Keluarga-keluarga yang sebelumnya akrab kini mulai terpecah. Pertemuan-pertemuan desa yang biasanya penuh kebersamaan kini diwarnai oleh pertengkaran dan ketegangan.

Suatu hari, situasi mencapai puncaknya ketika seorang warga yang pro-pabrik, Pak Joko, merusak kebun milik Evi sebagai bentuk protes terhadap penolakannya. Evi yang sangat marah dan melepaskan amarahnya saat ada rapat di aula desa. Dia melepaskan amarahnya dengan mata berkaca-kaca menjelaskan kerusakan kebunnya

"Ini sudah melewati batas!" serunya. "Apakah kalian semua ingin melihat desa kita hancur hanya untuk mendapatkan sedikit uang?"

Warga desa mulai merasa cemas. Ketegangan semakin meningkat ketika beberapa orang mulai mengancam untuk keluar dari desa jika pembangunan pabrik tidak dilanjutkan, sementara yang lain menyarankan agar Evi dan Rijal menyelesaikan perselisihan mereka di luar pertemuan desa.

Pak Kurniawan, sebagai kepala desa yang bijaksana, memutuskan untuk berbicara

"Teman-teman," kata Pak Kurniawan, "kita semua berada di sini karena kita mencintai desa ini. Mari kita berhenti bertengkar dan mulai mencari cara agar semua orang bisa puas dengan keputusan kita."

Setelah berjam-jam berdiskusi, akhirnya sebuah kesepakatan dicapai. Pembangunan pabrik akan dilanjutkan, tetapi dengan beberapa syarat: pabrik harus memenuhi standar lingkungan yang ketat, dan ada komitmen dari pihak pengembang untuk mendukung pelestarian tradisi desa. Sebagian dari keuntungan pabrik akan dialokasikan untuk kegiatan budaya dan pelestarian situs-situs bersejarah.

Evi dan Rijal akhirnya bisa berbicara dengan lebih tenang. Evi mengakui bahwa perubahan memang tidak bisa dihindari, tetapi Rijal juga memahami bahwa tradisi dan budaya adalah bagian penting dari identitas desa.

Kompromi ini tidak menyelesaikan semua masalah, tetapi setidaknya memberikan jalan tengah bagi semua pihak yang terlibat. Pabrik dibangun dengan berbagai peraturan yang menjaga keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian tradisi. Desa Suka Makmur tetap melanjutkan kebiasaannya, dengan upacara adat dan perayaan yang tetap dijaga, sambil menyambut peluang baru yang datang dari pabrik.

Seiring berjalannya waktu, Desa Suka Makmur mulai menunjukkan perubahan yang perlahan-lahan membaik. Pabrik yang dibangun di pinggir desa mulai beroperasi, dan kehidupan baru mulai menyelimuti desa yang tenang itu. Namun, perubahan ini tidak datang tanpa tantangan. Evi masih sering berjalan-jalan di kebun dan mengurus tanaman-tanamannya, tapi kini ada suasana baru di matanya.

Dia melihat anak-anak desa yang dulu hanya bermain di halaman, kini mulai membantu orang tua mereka dengan pekerjaan di pabrik. Meskipun awalnya enggan, Evi mulai merasakan dampak positif dari kehadiran pabrik tersebut.

Suatu hari, Rijal mendatangi kebun Evi dengan niat baik. Dia membawa sekeranjang buah-buahan dari pabrik sebagai tanda terima kasih.

"Ibu Evi," katanya dengan senyum, "ini dari kami di pabrik. Kami ingin mengucapkan terima kasih atas semua pengertian dan kerjasamanya selama ini."

Evi menerima buah-buahan tersebut dengan senyum kecut. "Terima kasih, Rijal. Saya harap pabrik ini benar-benar membawa perubahan yang baik untuk desa kita."

Rijal mengangguk. "Kami akan memastikan bahwa semua komitmen yang telah disepakati dipenuhi. Kami juga ingin mendengarkan saran dari Ibu Evi tentang cara kami bisa lebih terlibat dalam pelestarian budaya desa."

Evi merasa terharu mendengar pernyataan Rijal. Dia mulai melihat Rijal bukan hanya sebagai pemuda yang ambisius, tetapi juga sebagai seseorang yang peduli dengan masa depan desa.

Beberapa minggu kemudian, Rijal dan Evi bersama-sama mengorganisir sebuah festival budaya di desa, sebuah acara yang tidak hanya merayakan tradisi tetapi juga memberikan kesempatan bagi masyarakat desa untuk berbagi cerita dan memamerkan keterampilan mereka. Festival ini berhasil menarik perhatian dari berbagai penjuru, bahkan dari kota besar, yang turut merayakan keunikan budaya Suka Makmur.

Di tengah perayaan festival, Pak Kurniawan berdiri di tepi lapangan, memandang kerumunan dengan penuh kebanggaan. Dia melihat bagaimana Evi dan Rijal, yang dulunya berseteru, kini berdiri berdampingan, merayakan hasil dari kompromi yang telah mereka capai.

"Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian semua," kata Pak Kurniawan dalam pidatonya. "Kita telah melewati banyak hal, dan hari ini kita bisa melihat bagaimana kita bisa menjaga tradisi sambil menyambut masa depan."

Festival ini bukan hanya merayakan budaya, tetapi juga merayakan pencapaian bersama dalam menghadapi konflik. Warga desa belajar bahwa mereka bisa tumbuh tanpa harus kehilangan jati diri mereka.

Sebulan setelah festival, Pak Mursalin kembali ke desa untuk mengevaluasi kemajuan proyek pabrik. Dia merasa senang melihat bagaimana masyarakat desa mulai menerima kehadiran pabrik dan bahkan memanfaatkan kesempatan yang ada.

"Saya tidak pernah membayangkan akan ada begitu banyak hal positif dari kerjasama ini," kata Pak Mursalin kepada Pak Kurniawan, Evi, dan Rijal. "Saya sangat bangga dengan apa yang telah kalian capai."

Pak Kurniawan tersenyum. "Kami semua telah belajar banyak. Terkadang, jalan menuju kemajuan tidaklah mudah, tetapi jika kita bisa berdialog dan mencari titik temu, hasilnya bisa sangat memuaskan."

Evi dan Rijal duduk bersama setelah pertemuan dengan Pak Mursalin. Mereka saling memandang dengan rasa hormat baru yang terbentuk di antara mereka.

"Kita memang berbeda, Rijal," kata Evi, "tetapi kita memiliki tujuan yang sama: kesejahteraan desa kita."

Rijal mengangguk. "Benar, Bu. Kadang-kadang kita perlu melalui konflik untuk benar-benar memahami satu sama lain. Aku sangat bersyukur karena kita bisa menemukan jalan tengah."

Seiring berjalannya waktu, Desa Suka Makmur menjadi simbol dari keseimbangan antara pelestarian budaya dan kemajuan modern. Pabrik yang ada tidak hanya menyediakan lapangan kerja, tetapi juga berkontribusi pada konservasi lingkungan dan mendukung kegiatan budaya.

Evi terus merawat kebunnya dan mengajarkan tradisi kepada generasi berikutnya, sementara Rijal terus berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup warga desa tanpa melupakan akar budaya mereka. Keduanya bekerja sama dalam berbagai inisiatif, dari pendidikan anak-anak hingga pelatihan keterampilan, dengan tujuan yang sama: membuat Desa Suka Makmur menjadi tempat yang lebih baik bagi semua orang.

Dengan adanya pabrik, banyak fasilitas baru dibangun, dan anak-anak desa mulai mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Namun, setiap upacara adat dan festival yang diadakan tetap menjadi bagian penting dari kehidupan desa, menjaga hubungan antara masa lalu dan masa depan.

Cerita Desa Suka Makmur mengajarkan bahwa konflik sosial tidak selamanya harus berakhir dengan perpecahan. Kadang-kadang, dengan dialog, pemahaman, dan kompromi, kita dapat menemukan cara untuk maju sambil menghargai apa yang telah ada. Desa ini menjadi contoh nyata bahwa dengan niat baik dan kerjasama, perubahan yang positif bisa dicapai tanpa harus mengorbankan identitas dan nilai-nilai yang kita cintai.

Konflik sosial yang terjadi di Desa Suka Makmur mengajarkan semua orang bahwa perubahan adalah bagian dari kehidupan, tetapi itu tidak harus datang dengan mengorbankan nilai-nilai yang sudah ada. Kadang-kadang, cara terbaik untuk menghadapi tantangan adalah dengan menemukan keseimbangan yang dapat diterima oleh semua pihak.

Dengan waktu, desa ini belajar untuk menghargai baik masa lalu maupun masa depan, dan Suka Makmur menjadi contoh bagi desa-desa lain tentang bagaimana menghadapi konflik dengan cara yang penuh pengertian dan kompromi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun