Evi adalah simbol dari masa lalu desa. Dia menghabiskan waktunya menjaga kebun keluarga, menyiapkan makanan tradisional, dan mengajarkan anak-anaknya tentang cerita rakyat dan upacara adat. Baginya, desa Suka Makmur adalah tempat yang penuh makna dan warisan yang harus dijaga.
Di sisi lain, Rijal adalah wujud dari masa depan yang menjanjikan. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi di kota dan kembali ke desa dengan ide-ide segar untuk kemajuan. Baginya, pembangunan pabrik adalah langkah maju yang tidak boleh disia-siakan.
Evi dan Rijal menjadi wajah dari dua sisi yang saling bertentangan. Evi menyampaikan kekhawatirannya kepada warga yang hadir di gedung itu.
"Kita harus berhati-hati dengan rencana ini," kata Evi, berbicara dengan penuh semangat. "Pabrik mungkin membawa keuntungan, tetapi kita juga harus memikirkan dampaknya terhadap lingkungan dan budaya kita. Apa yang akan terjadi dengan sawah-sawah kita? Apa yang akan terjadi dengan upacara adat yang telah ada sejak lama?"
Rijal berdiri di belakangnya, mengangkat suaranya untuk membela rencana tersebut. "Saya memahami kekhawatiran Ibu Evi, tetapi kita juga harus melihat kenyataan. Desa kita butuh perubahan. Kita tidak bisa selamanya hidup dalam masa lalu. Pabrik ini akan membawa pekerjaan, pendidikan, dan fasilitas yang lebih baik untuk semua orang."
Perdebatan di aula desa semakin sengit. Beberapa warga mendukung Rijal karena mereka berharap bisa memiliki kehidupan yang lebih baik dan lebih makmur. Di sisi lain, ada warga yang merasa nyaman dengan cara hidup mereka yang sederhana dan takut akan kehilangan identitas mereka jika modernisasi diterima.
"Ibu Evi, Ibu tahu kita semua ingin yang terbaik untuk desa ini," kata Rijal dengan nada sabar. "Tetapi kita harus berpikir untuk masa depan anak-anak kita. Apa yang akan mereka lakukan jika kita tidak mengambil kesempatan ini?"
Evi membalas dengan nada penuh emosi. "Rijal, aku tahu niatmu baik, tetapi jangan lupakan bahwa masa depan juga harus melibatkan pelestarian nilai-nilai kita. Ada cara lain untuk maju tanpa harus menghancurkan apa yang telah ada."
Akibat perdebatan yang sangat sengit itu, mengakibatkan rapat ditunda sampai batas waktu tidak ditentukan oleh Pak Kurniawan. Sejak saat itu, Evi dan Rijal terus berkonflik dan mempengaruhi warga lainya sehingga dimasyarakat timbul 2 kelompok yang menerima dan yang menolak kehadiran pabrik itu.
Konflik antara Evi dan Rijal tidak hanya mempengaruhi mereka berdua, tetapi juga menciptakan ketegangan di antara warga desa. Keluarga-keluarga yang sebelumnya akrab kini mulai terpecah. Pertemuan-pertemuan desa yang biasanya penuh kebersamaan kini diwarnai oleh pertengkaran dan ketegangan.
Suatu hari, situasi mencapai puncaknya ketika seorang warga yang pro-pabrik, Pak Joko, merusak kebun milik Evi sebagai bentuk protes terhadap penolakannya. Evi yang sangat marah dan melepaskan amarahnya saat ada rapat di aula desa. Dia melepaskan amarahnya dengan mata berkaca-kaca menjelaskan kerusakan kebunnya