Hatiku terasa berat mendengar kata-katanya. Persahabatan. Sesuatu yang mungkin dulu kuanggap cukup, tetapi sekarang, aku tahu bahwa perasaanku lebih dari sekadar itu.
"Maya, aku menghargai apa yang kau katakan," kataku dengan suara tenang. "Tapi, jujur saja, saat ini aku masih butuh waktu. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diri, untuk benar-benar bisa menerima semua ini tanpa ada rasa sakit yang tersisa."
Maya mengangguk pelan. "Aku mengerti, Arman. Aku hanya berharap kau tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu jika kau butuh seseorang untuk berbicara."
Setelah percakapan itu, Maya meninggalkan kafe, meninggalkanku dalam keheningan yang menyesakkan. Aku menyadari bahwa meskipun kami berusaha, segalanya tidak akan pernah sama lagi. Aku tak bisa lagi berpura-pura bahwa persahabatan itu cukup, karena kenyataannya, aku masih mencintainya.
Beberapa bulan berikutnya, aku memutuskan untuk lebih fokus pada diriku sendiri. Aku mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan kampus, bergabung dengan beberapa organisasi, dan mencoba membuka diri pada orang-orang baru. Aku bahkan mulai berkencan dengan beberapa perempuan yang kukenal, berusaha menemukan kembali kebahagiaan yang pernah hilang.
Salah satu dari mereka adalah Laila, seorang perempuan yang memiliki senyum lembut dan hati yang tulus. Kami mulai saling mengenal dan menghabiskan waktu bersama. Bersama Laila, aku merasa ada harapan baru, sebuah perasaan bahwa mungkin aku bisa sembuh dan melanjutkan hidupku.
Namun, meskipun aku berusaha, bayang-bayang masa lalu itu tetap menghantui. Setiap kali aku mulai merasa bahagia dengan Laila, kenangan tentang Maya dan cinta segitiga itu kembali menyeruak, mengganggu pikiranku. Aku merasa bersalah, seolah-olah aku tidak bisa memberikan sepenuhnya hatiku kepada Laila, karena sebagian dari hatiku masih tertinggal di masa lalu.
Sampai suatu hari, aku bertemu dengan Fandi secara tak sengaja di kampus. Dia tampak tergesa-gesa, dan ada sesuatu yang berbeda dari wajahnya. Ketika dia melihatku, dia menghampiriku dengan ekspresi cemas.
"Arman, kita harus bicara," katanya tanpa basa-basi.
Aku mengangguk, meskipun hatiku berdebar keras. Kami duduk di bangku taman, dan untuk pertama kalinya, aku melihat Fandi yang biasanya tenang dan percaya diri, tampak begitu khawatir.
"Ada apa, Fandi?" tanyaku.