Cinta segitiga ini benar-benar menghancurkanku. Tetapi, dalam kehancuran itu, aku menemukan kekuatan untuk bangkit dan melanjutkan hidupku. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu indah, dan terkadang, cinta bisa menjadi sumber penderitaan yang paling dalam. Tetapi, aku juga belajar bahwa dari penderitaan itu, aku bisa tumbuh dan menjadi lebih kuat.
Meskipun hati ini hancur, aku tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Dan suatu hari nanti, aku yakin bahwa aku akan menemukan seseorang yang bisa mencintaiku dengan tulus, tanpa ada bayang-bayang cinta segitiga yang menghantui. Hingga saat itu tiba, aku akan terus berjuang untuk memperbaiki diri dan menemukan kebahagiaan sejati.
Hari-hari terus berlalu, dan meskipun aku berusaha mengubur semua kenangan tentang Maya, kenyataan selalu menemukan cara untuk menarikku kembali ke masa lalu. Setiap sudut kampus, setiap kafe yang pernah kami kunjungi bersama, seolah membawa kembali bayangan kebahagiaan yang kini terasa begitu jauh. Waktu seolah berhenti ketika aku harus melihat Maya dan Fandi bersama, tertawa dan berbagi cerita yang dulunya adalah milikku.
Suatu sore, setelah sekian lama menghindari tempat-tempat yang pernah menjadi saksi kebersamaan kami, aku memutuskan untuk pergi ke kafe favoritku. Aku duduk di sudut yang biasa kami tempati, memesan secangkir kopi, dan mencoba menikmati kesendirian. Namun, keheningan itu tak lama bertahan. Dari pintu masuk, aku melihat Maya berjalan masuk. Mata kami bertemu, dan meskipun aku mencoba menghindar, Maya tetap mendekatiku.
"Arman, boleh aku duduk?" tanyanya, dengan senyum yang masih sama seperti yang selalu kuingat.
Aku mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam dadaku. Maya duduk di depanku, dan sejenak kami terjebak dalam keheningan yang canggung.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya, memecah keheningan.
"Baik," jawabku singkat. "Kau sendiri?"
"Baik juga," katanya, meskipun ada kesedihan yang tersirat di matanya. "Arman, aku ingin minta maaf. Aku tahu ini tidak mudah bagimu, dan aku tidak bermaksud untuk menyakitimu."
Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Maya, aku sudah mencoba menerima kenyataan. Aku tahu kau dan Fandi bahagia bersama, dan aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mendukung apa pun keputusanmu."
Maya menundukkan kepalanya, tampak merenung sejenak sebelum akhirnya menatapku lagi. "Arman, aku tidak ingin kehilanganmu sebagai teman. Kau adalah salah satu orang terpenting dalam hidupku, dan meskipun keadaan berubah, aku berharap kita masih bisa berteman."